BAB 1. The Housewife

Gratis baca sampai bab 20 di karyakarsa dan Bestory. Yang ingin baca lebih cepat bisa ke sana karena sudah tamat.

Bunyi ketukan pisau bertumbuk dengan talenan kayu saat Amara memotong wortel menjadi bagian kecil-kecil. Sesekali wanita berambut panjang itu memeriksa air di dalam panci yang perlahan memunculkan gelembung-gelembung, pertanda telah mendidih. Dengan segera, Amara memasukkan sayur-mayur yang telah ia potong rapi. Setelah mengaduknya sejenak, ia kembali menutup panci dan mengerjakan hal lain. Kali ini menumis dada ayam yang sudah bercampur dengan racikan bumbu. Amara begitu sibuk sejak pagi buta.

Begitu matanya terbuka, ia tak ada waktu untuk merenung mengumpulkan nyawa, apalagi bersantai. Amara harus menyiapkan pakaian dan kebutuhan suaminya, Bastian. Bastian juga tidak mau menyantap sarapan ala kadarnya. Lelaki itu menganut pola makan sehat, empat sehat - lima sempurna. Paling tidak, di meja makan harus ada lauk yang kaya protein, sayuran, dan buah.

Bastian bekerja menjadi Manajer Marketing di sebuah Perusahaan Penerbitan dan Percetakan Buku. Lelaki itu selalu sibuk, seakan seluruh waktunya dihabiskan untuk bekerja. Tidak jarang Amara merasa kesepian dan bosan dengan aktifitasnya yang selalu monoton.

Jam dinding terus berdetik, tanpa terasa waktu sudah menunjukkan pukul enam pagi. Amara segera menata meja makan sebelum Bastian bangun.

"Maaaaraaa," suara Bastian membuat Amara tersentak.

"Iya, sebentar," sahut Amara. Wanita itu buru-buru menuju kamar untuk menghampiri suaminya.

Di dalam kamar, netra Amara melihat sosok Bastian yang berkacak pinggang berdiri di depan pintu bathroom. "Kenapa, Mas?" tanya Amara.
Bastian menoleh, kedua manik mata lelaki itu memandangi Amara dari atas ke bawah. Istrinya nampak kumal, apa dia tidak mandi dulu setelah bangun tidur?! Pikir Bastian dalam hati.

"Ambilin handuk bersih, dong. Handuk yang ini sudah bau!" titah Bastian.

Amara menghela napas, lalu mengangguk.

Padahal Bastian bisa saja mengambil handuk bersih sendiri di kamar belakang, tetapi ia lebih memilih untuk menyuruh istrinya yang sedang kerepotan.

Tidak selang beberapa lama, Amara kembali membawa handuk bersih untuk Bastian.

"Ini, Mas," ia menyodorkan handuk.

"Mar, kamu itu bangun tidur, kenapa enggak mandi dulu, sih? Sekedar cuci muka dan merapikan diri gitu, lho," decak Bastian. Lagi-lagi ia menilik penampilan istrinya. "Penampilan kucel banget, mataku yang lihat tuh sakit, tahu enggak?"

Amara berdeham. "Maunya juga gitu, Mas. Tapi kalau aku mandi dulu, bakalan terlambat menyiapkan sarapan buat kamu."

"Ah, alasan. Masakanmu juga gitu-gitu aja, memang dasarnya kamu yang malas merawat diri." Bastian menggelengkan kepala. Ia membuka pintu bathroom dan pergi mandi.

Amara menengok pantulan diri di depan cermin --- seorang wanita berdaster dengan rambut berantakan dan wajah mengilap karena keringat. Mungkin betul kata Bastian, ia benar-benar sudah kehilangan pesona. Tetapi, seharusnya sang suami tidak perlu mengatakannya dengan kalimat ketus seperti tadi.

Amara mendadak mengenang sikap Bastian yang dulu. Lelaki itu begitu manis dan romantis. Bastian memperlakukan Amara laksana wanita paling cantik sedunia. Hal itulah yang meyakinkan Amara untuk menerima pinangan Bastian saat umurnya menginjak 25 tahun. Padahal, saat itu, karier Amara dibidang advertising sedang gemilang. Namun, wanita itu mantap memecah fokus karena menikah.

Dua tahun berlalu, tapi Amara dan Bastian tidak kunjung mendapat momongan. Kata Bastian, Amara pasti terlalu lelah dan stres bekerja, jadi ia sulit hamil. Lelaki itu lantas meminta Amara resign dari pekerjaan.

Sebagai istri penurut --- Amara pun mengiakan. Meskipun jauh di lubuk hatinya, wanita itu sedikit tak ikhlas.

Sekarang setelah lima tahun perkawinan, buah hati yang dinanti tidak kunjung hadir. Wajar saja, sikap Bastian berubah dingin dan acuh. Suaminya itu pasti memendam kekecewaan. Akibat hal tersebut, Amara selalu menyalahkan diri sendiri karena tak sempurna sebagai seorang istri.

"Mas, kamu hari ini pulang jam berapa?" tanya Amara ketika mereka sedang menyantap sarapan di meja makan.

Mata Bastian tak berpaling dari tablet. "Enggak tahu."

"Kalau pulangnya ngga larut, kita nonton, yuk. Sudah lama kita enggak pergi berdua. Gimana?" iba Amara penuh harap.

Bastian bangkit dari duduk, ia melirik jam di tangan kiri. "Aku berangkat dulu, deh." Lelaki bertubuh tinggi itu melesat menuju pintu utama rumah. Walaupun ia sudah menghilang, wangi parfumnya masih tertinggal.

Amara bergegas mengekori. Ia menahan Bastian yang hendak membuka pintu mobil. "Mas, gimana?" Manik mata cokelatnya membulat.

"Gimana apa? Soal apa?" dahi Bastian berkernyit.

"Soal nonton nanti malam?" ulang Amara.

"Oh, soal itu. Iya lihat nanti sajalah. Tapi mungkin aku enggak bisa. Banyak target yang belum tercapai di kantor. Lagi pula, kalau pun aku pulang awal, aku pengen tidur dan istirahat di rumah. Bukannya nge-mal."

Mimik wajah Amara berubah sendu. "Kita sudah lama enggak kencan, Mas. Sesekali jalan, 'kan, enggak ada salahnya. Ayolah, Mas," bujuknya.

Bastian berdecak. "Jangan suka maksa ya, Mara. Kamu mana tahu rasanya kelelahan karena seharian bekerja di kantor. Beda sama kamu yang tiap hari bisa enak-enakkan, kerjaanku, tuh, banyak." Sambil bersungut ia masuk ke dalam mobil dan segera tancap gas.

Amara mematung terdiam ketika mobil Bastian meninggalkan carport di depan garasi.

Seharusnya --- ia membiasakan diri dengan semua perkataan sinis sang suami, tapi mana bisa? Meski belajar tak acuh, kalimat yang meluncur dari bibir Bastian selalu berhasil membuat hatinya remuk.

Amara pun berjalan masuk.

Matanya melirik ke arah tumpukan piring kotor sisa sarapan tadi. Ah, enak-enakan apanya? Hati Amara sedang gundah. Ia lantas melenggang meninggalkan dapur karena enggan bebersih.

Wanita itu menaiki tangga dan berjalan menyusuri koridor paling ujung rumah. Ia pun membuka pintu ruangan favoritnya. Kamar melukis.

Melukis membantunya tenang dan melupakan sejenak seluruh problematika hidup. Bibir Amara tersungging. Ia memandang pada kanvas yang terletak di easel¹ kayu. Wanita itu pun duduk dan mulai mencampur cat minyak di palet². Jemarinya dengan lihai menyapukan kuas di atas kanvas --- nyaris tanpa ragu. Saat sedang berkonsentrasi, Amara tiba-tiba mendengar suara pintu utama dibuka.

"Assalamualaikum. Mara ...?"

Senyum Amara lagi-lagi memudar. Berganti dengan dengkusan berat. Ibu mertuanya, Luciana, datang.

***

Bastian melangkahkan kaki dengan mantap. Ia sudah tiba di perusahaan tempatnya bekerja --- PT. Ibrahim Media Group.

Gedung pencakar langit dengan tinggi menjulang itu terletak di tengah kota Surabaya. Pantulan biru langit pada deretan kaca-kaca yang berjajar membuat penampilan gedung terkesan megah. Para staf sudah memenuhi lobi, sebagian masih menunggu di depan pintu elevator. Berbeda dengan Bastian yang sudah tiba di ruangannya.

Saat lelaki itu datang --- seorang wanita berpakaian serba ketat dan minim segera menghampiri.


"Pagi, Pak," sapanya. "Seperti biasa, ya, Pak Bastian hari ini juga terlihat sangat rapi dan tampan." Ia mengerling genit.

Bastian menarik kedua sudut bibir. "Pagi, Fir," sahutnya. "Hari ini kita ada rapat dengan Pak Keenan, 'kan?"

Firda mengangguk, "Betul, Pak. Sepertinya pak Keenan memutuskan menetap di Surabaya selama sementara ini. Beliau mau melihat laporan dari divisi marketing."

Bastian mengusap dagu.

Dalam hati ia sedang gusar luar biasa. Sang CEO baru, Keenan Alkala Ibrahim, memutuskan pindah dari kantor pusat di Jakarta. Tanpa basa-basi, Keenan mengungkap bahwa cabang Surabaya dinilai stagnan tanpa kemajuan yang signifikan. Hal itu seolah menyinggung kinerja Bastian sebagai seorang manajer pemasaran.

Meskipun demikian, Keenan tetap bosnya - anak dari pemilik perusahaan - kehadiran Keenan akan dimanfaatkan sebaik mungkin oleh Bastian untuk menjilat si bos. Entah bagaimana pun caranya! Bastian adalah lelaki ambisius, ia sudah lama mengincar posisi Vice President Marketing. Bastian yakin, ia pasti akan mendapatkan posisi itu jika mampu membuat Keenan akrab dengannya.

"Nah, itu Pak Keenan," ujar Firda melirik.

Ruangan Bastian yang terdiri dari sekat kaca, memudahkannya mengamati pergerakan di luar. Bola mata lelaki itu pun mencari sosok sang CEO. Ia lalu menangkap seorang lelaki bertubuh tegap dan tinggi berjalan penuh karismarik. Tubuh atletis lelaki itu dibalut setelan jas berwarna charcoal grey. Wajahnya macho karena dihiasi kumis dan berewok tipis --- sangat maskulin. Ditambah sorot setajam elang yang dibingkai oleh kedua alis lebat.

Bastian seketika menelan saliva.

Baik penampilan mau pun aura Keenan Alkala Ibrahim sangat berwibawa sekaligus mengintimidasi. Atmosfer dingin lantas menyeruak menyelimuti tatkala CEO itu datang. Beberapa staf tampak canggung menyapa kala berpapasan. Mereka semua bak mati kutu. Termasuk Bastian --- kepercayaan dirinya yang teramat tinggi pun mendadak ciut.


¹ Easel : alat penyangga berkaki tiga untuk mendudukkan kanvas untuk melukis maupun memajang karya dalam pameran.

² Palet : papan/lempengan tempat menaruh dan mencampurkan cat. Palet biasa dibuat dari kayu, plastik, keramik, atau bahan lain yang keras, tidak mudah bereaksi, dan tidak berpori.

----

Follow IG @aayana_ann
Follow akun WP ini sebelum lanjut baca. Thank You 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top