53. Hilang Rasa
"Kamu tahu apa yang membuatmu tak menarik, Amara?" Bastian mengimpit tubuh sang istri. "Kamu tak pernah menikmati setiap permainan kita. Itu membuatku kehilangan selera padamu."
Air mata Amara menetes. Ia memalingkan muka untuk menghindar dari tatapan Bastian.
"Kamu seharusnya menikmati semuanya, bersikap layaknya seorang pelacur bayaran demi suamimu." Bastian membuka lebar kedua paha Amara dan menusuk paksa kejantanannya ke dalam. "Jadi jangan tanya kenapa aku harus membayar mahal pada pelacur-pelacur itu. Mereka semua memuaskan; baik dalam keagresifan, mau pun visual."
Rasa nyeri bercampur sakit tak tertahankan menjalari tubuh Amara.
Sementara Bastian mulai memaju - mundurkan pinggul dalam mimpitan dinding-dinding rapat Amara.
"Bergairahlah, Amara. Jangan kecewakan aku." Bastian menepuk pipi istrinya yang basah oleh air mata. "Menyedihkan melihatmu justru menangis dalam kenikmatan surgawi."
Tindakan itu membuat Amara makin terisak. Ia justru ingin persetubuhan mereka segera berakhir. Apa yang Bastian lakukan bak sedang mempermalukannya sebagai manusia. Baik fisik dan raganya sakit bukan main. Bukan hanya makna konotatif semata, tapi itulah realitanya.
Semula Amara pikir ia ingin Bastian lebih sering menyentuhnya; tetapi sekarang wanita itu paham, bukan itu yang ia inginkan. Ia ingin suaminya memberikan kasih sayang, pengertian, dan cinta.
Entah berapa lama Bastian memompa tubuh Amara dalam berbagai macam posisi. Terlalu frustrasi untuk melawan — Amara pun mendesah palsu agar suaminya lekas klimaks. Tetapi itu justru membuat Bastian semakin ganas dalam permainan, seolah sedang melatih agar Amara terbiasa diperlakukan bak wanita tuna susila.
"Sekarang kamu paham, kan, bagaimana cara memuaskan lelaki, huh?" geram Bastian.
Amara mengangguk. Ia menopang tubuh bagian atas menggunakan dua lengan, sementara Bastian terus menghunjam dari posisi belakang.
Sodokan Bastian makin keras dan tak terkendali. "Ingat-ingatlah ini. Okay? Jangan kecewakan aku."
Amara kembali mengangguk.
Tak lama, Bastian pun mengejan dan menyentak pinggulnya dalam. Ia membiarkan cairan kental miliknya memenuhi kewanitaan Amara yang memerah.
Lelaki itu lantas tersenggal dan menjatuhkan tubuh ke atas ranjang. Ia menoleh. "Kamu benar-benar sudah paham, Amara?" tanyanya lagi. "Cara memuaskan lelaki agar tidak mengecewakan."
"Ya," sahut Amara tertunduk - ia merasa dipermalukan.
Bastian menyeringai. "Bagus."
Sebuah rencana sudah tersusun rapi dalam otak Bastian. Selera masing-masing orang memang berbeda; dan selera seorang Keenan Alkala Ibrahim tergolong aneh. Tertarik dengan wanita payah macam Amara? Bastian merasa bosnya perlu memeriksakan fetish anehnya. Tapi, ah masa bodoh. Bastian sudah bilang, bukan? Ia akan melakukan apa saja demi menunaikan ambisinya.
***
Amara menuruni tangga sambil menenteng tote-bag sage green-nya. Ia tampil segar dengan kemeja polos berwarna dusty pink yang dipadankan celana jeans.
"Mau ke mana, Mar?" tanya Luciana. Ia masih betah menjadi pengawas dalam rumah tangga anak dan menantunya.
"Mau ngajar les, Ma," sahut Amara.
Luciana melirik jam. "Oh, emang sore-sore gini, ya, berangkatnya?" tanyanya.
"Iya," kata Amara sambil menyalami punggung tangan mertuanya. "Kenapa, Ma?"
"Nggak apa-apa. Soalnya Mama nanti mau keluar, ada acara arisan. Kalau bisa kamu gantilah jam kursusmu, jadi pas Bastian pulang, kamu ada di rumah. Dia ada yang layanin."
Amara mengangguk. "Ya, Ma. Nanti aku diskusikan sama Mas Bastian." Ia lantas membuka pintu dan bersiap pergi. "Aku berangkat."
"Ya." Luciana tak acuh dan kembali mengalihkan atensi pada tayangan gosip di televisi.
Langkah Amara sedikit gamang ketika membuka pintu mobil. Ia harus memberanikan diri meminta maaf pada Keenan. Tempo lalu Amara sudah menyakiti lelaki itu dengan tebakan ngawurnya.
TIN. Suara klakson dari depan gerbang rumah mengagetkan Amara. Netra wanita itu terbelalak ketika mendapati Bastian sudah menunggu di luar.
"Lo, Mas? Sudah pulang?" tanya Amara. Ia melebarkan pintu pagar agar kendaraan Bastian bisa masuk.
"Nggak usah buka gerbangnya!" cegah Bastian. "Kamu mau berangkat ngajar, kan? Aku anter."
Amara berkernyit. "Mas mau antar aku?" tanyanya.
"Iya. Buruan naik. Aku ada urusan di sekitar sana makanya sekalian berangkat sama kamu."
"Oh ..." Amara mengulum senyum. Ada sedikit bungah dalam hati karena perhatian Bastian padanya. Sungguh jarang.
Bastian pun melesat ketika Amara sudah duduk di samping kursi kemudi. Lelaki itu punya rencana yang tak tertebak oleh Amara. Suatu rencana yang Bastian pikir akan memuluskan semua obsesinya.
***
Ponsel Keenan berdenting tatkala ia bersiap pulang. Lelaki itu lantas membuka pintu Rubicon dan duduk. Setelah merasa nyaman, Keenan lantas membaca pesan yang tadi masuk.
BASTIAN
[Saya sungguh-sungguh soal dedikasi saya untuk perusahaan. Amara menunggu di Four Points kamar 010.]
Keenan mengerutkan dahi; Bastian pasti tidak waras, atau mabuk. Ia lantas melempar ponsel ke jok sebelah secara sembarangan. Kemudian Keenan bergegas tancap gas meninggalkan lahan parkir untuk pulang.
***
Sementara itu, Amara yang duduk dalam satu mobil dengan suaminya mulai kebingungan. Bastian mengambil arah yang berlainan dari jalan kediaman Keenan berada. Wanita itu pun mulai cemas seraya memeriksa waktu pada jam tangan.
"Mas? Kamu lewat mana, sih? Aku nanti telat, lo."
Bastian menyeringai. "Bentar-bentar, Mar. Kita mampir dulu ke Four Points buat ketemu sama klien. Bentar doang, sumpah."
"Mas kenapa nggak bilang? Kasihan Julie pasti menungguku," sanggah Amara.
Bastian lantas menyodorkan sebotol minuman perasa jeruk pada Amara. "Minum dulu, deh, Mar. Biar tenang."
Amara mengembuskan napas panjang. Ia menerima pemberian Bastian dan meneguknya sedikit.
"Aku telepon Bu Santi, deh, izin datang terlambat," kata Amara.
Bastian sigap mencegah. "Nggak usah, Mar. Aku nggak lama. Nanti aku yang sekalian bilang ke Pak Keenan." Ia kembali menuntun Amara untuk meminum minumannya. "Abisin dulu. Bentar lagi kita sampai."
Kendaraan itu lantas berbelok memasuki halaman hotel. Ia segera turun dan meminta layanan valet. Ulahnya kembali membuat Amara terbelalak.
"Mas, kok, valet? Aku bisa tunggu di parkiran, kan?"
Bastian membukakan Amara pintu. "Kamu ikut turun, yuk. Aku pengen ditemenin."
"Huh?" Amara penuh kebingungan.
Bastian menggandeng tangan Amara. "Ayolah, buruan."
Ketika Amara terpaksa turun, Bastian masih sempat mengambil botol minuman yang diletakkan pada kompartemen drink holder.
Tangan Bastian erat menggandeng Amara. Ia membawa istrinya masuk ke dalam elevator dan segera menekan tombol angka lantai tujuan.
"Aku nggak apa-apa ikut?" tanya Amara tanpa curiga.
"Nggak apa," sahut Bastian singkat. Ia lantas menyodorkan botol minuman pada Amara. "Abisin, Mar. Nggak enak nanti dilihat klien bawa-bawa minuman."
Amara menatap penuh tanya. "Lo, ini tadi sudah aku taruh di mobil? Mas bawa lagi?"
"Iya, kebawa. Buruan minum."
"Aduh, kenyang, Mas," tolak Amara.
Bastian mendecih. "Tinggal dikit juga. Minum yang banyaklah, Sayang. Itu bibirmu kelihatan pecah-pecah karena kurang cairan."
Amara pun menuruti anjuran Bastian. Lagi-lagi ia mengulum senyum karena Bastian kembali memberikan perhatian kecil. Setelah menghabiskan minuman tadi, Amara pun membuang botolnya ke dalam tempat sampah. Mereka berdua berjalan bersama menyusuri lorong hotel; setibanya di depan kamar 010, Bastian lantas menempelkan cardlock.
"Mas? Kamu kok punya kuncinya?"
"Yuk, masuk," kata Bastian tersenyum.
Amara semakin curiga, selain itu kepalanya terasa agak pening. "Mas? Ini apa-apaan?!" tanyanya.
Bastian menarik lengan Amara ke dalam. Ia lalu mendudukkan sang istri ke atas ranjang hotel.
"Sayang," ucap Bastian. "Kamu kemarin bilang akan melakukan apa pun untukku, kan? Sekarang adalah saatnya kamu membuktikan itu."
"Maksud Mas?" Pandangan Amara mulai berkunang-kunang.
"Pak Keenan punya ketertarikan aneh padamu. Ini demi memperlancar karirku, okay? Tidak akan terasa apa pun, kok. Yang penting kamu jangan nekad melawan atau beringas seperti anjing kampung."
"M-Mas?!"
Amara mulai limbung. Entah kenapa semua berubah samar dan gelap. Ia tak lagi bisa melihat sosok suaminya, hanya satu kalimat terakhir yang Amara dengar sebelum akhirnya tak sadarkan diri.
"Kemarin kita sudah belajar, kan, Sayang. Ingat-ingat permainan kita kemarin dan terapkan hari ini ..."
Darls, kelakuan Bastian emang diluar nurulsss! Udah ketebak nggak rencana dia apa? Hmm, jangan ditiru, ya, Dek, ya! Hahaha
Forbidden Desire udah tamat di KARYAKARSA. Silakan mampir ke sana kalau penasaran sama endingnya! Versi Wattpad slow update, okay!!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top