50. Pulang

FIRDA
[istri Mas udah pulang?]

[belum]

FIRDA
[kenapa g tdr sini?]

[mama lagi sakit, aku harus nemenin dia k dokter sekaligus jaga]

FIRDA
[smg Mama cpt pulih. C u besok, Mas]

[ok]

***

Keenan dan Adiharjo duduk bersama di gazebo belakang rumah. Meski pun seluruh rambut ayah Keenan itu sebagian memutih, pesona karismatik dan wibawanya masih terpancar. Kerutan pada wajah justru membuat senyum Adiharjo makin tampak bijak.

“Dari mana kamu? Kata Santi kamu pergi dari kemarin,” tanya Adiharjo.

Keenan berdeham. "Ajak Julie jalan-jalan."

“Kenapa berdua saja tanpa pengasuhnya? Jangan membiasakan keluar sendiri sambil bawa Julie sendirian. Wibawamu bisa turun di mata orang,” ujar Adiharjo.

“Iya, Pi.” Keenan enggan membantah agar urusan tidak makin panjang.

Adiharjo menyodorkan kotak cerutu pada Keenan. "Dari Cuba."

Keenan mengangguk seraya menerima pemberian ayahnya. Ia mengambil sebatang lalu menghirup aromanya. Setelah itu memotong ujungnya dengan cigar cutter.

Adiharjo kemudian membantu Keenan menyalakan cerutu. Lelaki paruh baya itu mengulum senyum.

“Kamu tahu, ‘kan, kalau bisnis keluarga Ibrahim sudah menggurita di seluruh Asia. Semua tidak terlepas dari usaha kakek Papi saat memulai merintis usahanya. Sekarang, sebagai penerus — kita hanya perlu mempertahankan sekaligus memperluas bisnis," ujar Adiharjo.

Keenan merasakan rasa tembakau memenuhi rongga pengecap. Cara terbaik menikmati cigar adalah dengan menahan sebelum mengembuskan asapnya lewat mulut. Berbeda dengan rokok yang bisa dikeluarkan lewat hidung demi menyesap sensasi lebih. Aroma cerutu jelas lebih kuat karena berbahan 100 persen tembakau tanpa campuran.

Adiharjo kembali melanjutkan, "Kamu tahu apa yang akan menyempurnakannya?”

Keenan menoleh dan menatap Adiharjo lekat.

"Kuasa." Adiharjo mengulum senyum.

“Lalu?” tanya Keenan. "Keluarga Ibrahim sudah memiliki kuasa itu, bukan?"

Adiharjo menggeleng. "Belum sepenuhnya, Keenan," ujarnya. "Papi sudah lama bersahabat dengan Rasyid Alghozali. Putra dari Rahmat Ghozali ketua umum partai Abu."

Keenan terus mendengarkan.

"Rasyid Alghozali akan maju dalam pencalonan Walikota Surabaya dan ia berniat mengusungmu sebagai wakilnya," tutup Adiharjo.

Keenan mengernyih. “Pi, aku tidak tertarik terjun ke dunia politik. Ini keputusan besar dan seharusnya Papi berkonsultasi dulu kepadaku.”

“Menerima tawaran Rasyid Alghozali adalah pembuka jalan untuk melangkah ke pemilihan Presiden, Keenan,” sahut Adiharjo santai. "Kamu tahu, kan, Papi akan mencalonkan diri sebagai Presiden periode mendatang."

"Itu adalah keinginan Papi, bukan obsesiku," sanggah Keenan.

"Semua berkaitan, Keenan. Bisnis kita akan mendapatkan kemudahan dalam regulasi, selain itu kita juga akan kebal hukum."

Keenan mendecih. “Pi, kita tidak bisa mencampur aduk kepentingan bisnis dengan politik." Ia tak lagi bisa menikmati aroma cerutu akibat obrolan berat dengan ayahnya. "Menjadi pengusaha seperti sekarang pun; nama kita sudah cukup dikenal, tidak perlu harus menjadi politisi segala."

"Kamu harus membuka jalan untuk Papi, Keenan. Menjadi Wakil Walikota akan melambungkan nama keluarga Ibrahim. Dan lagi, Papi sudah mengucurkan dana tidak sedikit pada Partai Abu." Intonasi Adiharjo mulai meninggi.

Keenan menghela napas berat.

Adiharjo kembali melanjutkan, “Kamu harus menerima peluang ini karena anak Papi cuma kamu seorang. Hanya kamu yang bisa Papi andalkan. Dengan penampilanmu yang rupawan dan nama besar Papi, tidak sulit mendapatkan suara dari rakyat, khususnya generasi muda.”

Keenan seketika bungkam.

Terlahir menjadi anak dari Adiharjo Ibrahim bukan hanya mendapatkan kemudahan dan segala macam privilage. Tetapi, juga memiliki banyak tanggung jawab yang harus ia emban di pundak demi memuaskan ambisi ayahnya.

"Kamu harus segera mundur dari perusahaan. Kita akan mencari CEO penggantimu saat rapat direksi nanti. Fokuslah berkarir di politik. Kamu paham, kan?"

Keenan berdiri. "Semua butuh waktu untuk kucerna, Pi." Ia pun bersiap melengos meninggalkan Adiharjo. "Maaf, tapi ... aku sangat lelah dan akan istirahat sebentar di kamar. Permisi."

Keenan pun berjalan menjauh dengan pikiran berkecamuk. Segalanya terlalu melelahkan. Baik fisik dan mental lelaki itu, lelah.

***

Luciana menyambut kedatangan Amara sembari tersenyum sumringah. Ia merangkul menantunya penuh kehangatan.

"Mar, kamu ngapain, to, kabur segala?" bisik Luciana.

"Mana Mas Bastian, Ma?" Amara berbalik tanya.

"Di atas. Dia tidur kayaknya," jawab Luciana. "Mama akan di sini sampai hubungan kalian membaik. Jadi, jangan pernah berpikir untuk kabur lagi, ya."

"Iya," ucap Amara lemas. Ia menaiki tangga untuk meletakkan kembali pakaian dalam kamar. "Aku masuk kamar dulu, Ma."

"Iya." Luciana mengangguk. "Minta maaf sama Bastian, ya. Mengalahlah demi kemenangan. Mama akan tunggu sini."

"Iya."

Langkah demi langkah Amara lemas — entah hinaan apa lagi yang akan Bastian lontarkan padanya.

Secara pelan, Amara membuka pintu, lampu kamar tampak remang karena Bastian hanya menyalakan lampu tidur pada nakas di sisi ranjang.

Amara berdeham. "Mas ..."

Bastian yang berbaring di kasur menggeliat dan menoleh. Lelaki itu menyeringai penuh kemenangan.

"Gimana? Menyerah, kan, sama kehidupan di kampung?" sindir Bastian.

Amara menekan ego dan mengambil sisi di samping Bastian. "Aku minta maaf karena pergi dari rumah. Tapi pengkhianatanmu juga tak bisa dibenarkan. Aku harap kamu tak akan melakukan kesalahan yang sama berkali-kali, Mas."

"Jangan cerewet," bentak Bastian. "Pulang-pulang udah ngomel."

Amara tertunduk. Ia sudah menebak bahwa respon Bastian bakal ketus padanya.

"Andai kamu berdiam diri sembari menerima semua dengan lapang dada; hubungan rumah tangga kita akan romantis dan adem ayem seperti kemarin. Nggak perlu huru-hara! Tapi emang kamu terlalu egois, Mar!"

"Baiklah. Aku mengaku salah. Tolong maafkan aku, Mas." Amara pun terpaksa mengalah.

Bastian merebahkan kepala pada bantal. Ia lantas mengulum senyum kemenangan.

***

Ponsel Bastian terus berdenting. Ia yang baru saja keluar dari kamar mandi pun terbirit-birit untuk mengecek gawainya. Itu pasti dari kantor. Dan pasti berita penting.

Netra Bastian serius membaca pesan dari Firda.

FIRDA
[Mas bilang Pak Keenan setuju menjadikanmu VP Marketing yang baru? Tapi kenapa beliau meminta HRD mengeluarkan iklan lowongan posisi VP Marketing untuk umum?]

Gigi Bastian bergemeretak. Emosi pun membuncah pada ubun-ubun lelaki itu.

Forbidden Desire sudah tamat di Karyakarsa. Langsung aja cari akun Ayana Ann buat baca jalur cepat 🖤🖤🖤



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top