49. Merasa Bersalah
Cairan bening itu meleleh dari sudut mata Amara. Ia mengurung diri di dalam kamar selepas makan siang bersama Keenan dan Julie. Hati wanita itu remuk oleh kelakuannya sendiri.
"Julie mau melawan om yang bawa mommy pergi ..."
Kalimat Julie yang dulu pernah diucap mendadak menggaung dalam benak Amara. Mengungkap segala jawaban dari teka-teki yang disimpan rapat oleh lelaki misterius seperti Keenan. Alasan kuat mengapa ia melarang Julie bertemu dengan ibu kandungnya sendiri.
Bukan karena egoistik.
Bukan juga karena ingin menyiksa sang mantan istri.
Melainkan demi melindungi mental putri si mata wayangnya. Apa yang dilakukan Nadira sungguh diluar nalar. Tega sekali menggoreskan luka batin kepada darah daging sendiri.
Tapi siapa Amara, ia tak berhak menghakimi. Ia sendiri juga sama - wanita sok tahu yang bisanya cuma menyakiti hati orang lain.
Untuk segala yang Keenan pernah lakukan baginya dan keluarganya, Amara tergolong tidak tahu diri. Ia bahkan terlalu malu untuk meminta maaf pada Keenan. Andai saja ia bisa mengulang waktu dan menjaga mulut beracunnya ... tapi itu mustahil.
Ponsel Amara tiba-tiba berdenting. Nama si pemanggil yang tampak pada layar seketika membuat netra wanita itu melotot. Luciana.
***
"Kamu itu dari mana, Bas?"
Luciana melempar sembarangan tas selempang yang ia bawa. Raut wanita paruh baya itu geram sekaligus menyimpan kemarahan.
Bastian menggaruk kasar rambut lurusnya. Ia juga sama kesalnya. "Nggak dari mana-mana, Ma. Kenapa, sih, memangnya?" sahutnya.
"Nggak dari mana-mana, kok, tidak pulang?! Mama dari kemarin bolak-balik ke sini, tapi kamu tidak ada. Ditelvon juga nggak angkat!" sentak Luciana. "Istrimu minggat kamu malah ngeluyur nggak karuan. Mama, kan, sudah bilang, susul Amara!"
"Mama ini kenapa? Buat apa aku mesti nyusul istri nggak becus macam dia? Dia yang kabur sendiri, kok. Aku sebagai suami sudah melakukan yang terbaik buat dia. Enak aja harus jemput dia di Rembang. Bisa besar kepala nanti si Amara itu!"
Luciana kian melotot. Bastian tidak boleh sampai bercerai dengan Amara. Hanya menantunya itu yang tahu rahasia seputar kesuburan Bastian. Perempuan lain, mana mau terima? Yang ada Bastian akan jadi bahan cemooh. Rahasianya akan terbongkar ke seluruh keluarga besar dan Luciana juga yang kena imbas malu. Selama ini Amaralah bahan bulan-bulanan mereka - seorang menantu mandul yang secara ikhlas tetap dipertahankan oleh Bastian. Dan Luciana ingin mempertahankan nama baiknya. Titik.
"Paling tidak kamu hubungi dia, dong, Bas. Kalau dia tidak kembali bagaimana?" tandas Luciana.
"Ya, biar saja tidak kembali, Ma. Bukankah Mama yang bilang kalau sebaiknya aku nikah lagi?" kata Bastian santai. "Mungkin inilah saatnya."
Luciana belingsatan. "Nikah lagi apa?! Kamu kira gampang menemukan wanita manut seperti Amara? Disuruh apa-apa mengiakan, dilarang ini itu pun tak melawan. Semua urusan rumah tangga dikerjakan beres dan tuntas."
"Cari pembantu juga bisa, Ma," sanggah Bastian.
Luciana menghampiri Bastian dan menatapnya lekat. "Bilang sama Mama kalau kamu tidak main wanita di belakang Amara? Kamu janji sama Mama kalau pelacur yang kapan hari itu pertama dan terakhir!"
"Nggak ada," kata Bastian berpaling.
"Ya sudah, kalau begitu cepatlah kamu ajak Amara berbaikan. Sekedar telepon minta dia pulang ... atau watsap, kek, Bas!"
"Mama apaan, sih? Kenapa tiba-tiba jadi bela dia? Perubahan sikap Mama berbeda 180 derajat!" sungut Bastian sewot.
Luciana salah tingkah.
"Mama ..." Ia terbata-bata. "Mama cuma mau kamu dipandang sebagai lelaki yang bertanggung jawab dan disegani oleh keluarga besar kita, Bas."
"Alah. Itu nggak penting, Ma!" sergah Bastian.
"Pentinglah, Bas! Tidak hanya keluarga kita, di kantor juga kamu bakal mendapatkan penilaian berbeda. Pasti banyak yang akan menaruh hormat padamu." Luciana tersenyum. "Lelaki tampan yang tetap setia pada istri mandul. Mama sarankan kalian adopsi anak. Cari yang lucu. Supaya rumah tangga kalian lebih terasa lengkap."
Bastian gantian keki. "Mama yang bilang tidak setuju soal adopsi. Mama bilang anak-anak itu tidak jelas asal usulnya. Sekarang Mama beda lagi. Heran aku."
Luciana mendengkus. Ia meraih tas dan mengambil ponsel.
"Wes! Mama pegel ngandani kamu! Pokoknya, selama Mama masih idup, kamu jangan pernah mikir mau cerai atau kawin lagi! Camkan itu!" Luciana menempelkan ponsel ke telinga. "Udah, Mama mau telepon Amara, minta dia balik. Selama dia belum pulang, Mama akan menginap di sini. Awas kamu tidak pulang lagi, Bas!"
(*Ngandani : kasih tahu)
Bastian mendecih. Ia memilih pergi ke lantai atas ketimbang kembali mendengarkan omelan Luciana.
***
Amara memasukkan pakaian ke dalam duffle bag. Sorot matanya kosong sekaligus nanar - terasa berat hati kembali ke pelukan Bastian.
"Mbak," ucap Sally yang sadar akan kegetiran saudarinya. "Apa keputusanmu?"
"Kembali pulang, Sall. Mencoba memperbaiki pernikahan sekali lagi. Lama-lama di sini akan membuat bapak curiga. Mertuaku juga kemarin telepon dan memintaku kembali. Banyak dukungan untuk mempertahankan, jadi kurasa itu adalah sinyal dari Tuhan untukku."
"Yakin?" tanya Sally.
Amara mengangguk dan tersenyum. "Yakin, Sall. Aku kenal Mas Bastian, dia itu lelaki yang baik hati, kok. Perlakuannya juga romantis. Hanya saja kadang kala Mas Bastian tak bisa mengontrol emosi. Masing-masing orang, kan, punya kekurangan, sama sepertiku. Ya ... kita sebagai pasangan harus menerima, kan ...?" katanya.
"Selingkuh dan KDRT bukan kekurangan, Mbak. Itu termasuk kejahatan. Sampai ada hukumnya segala," sanggah Sally.
"Sudahlah, Sall. Yang lalu biarlah berlalu," ucap Amara getir sendiri.
Sally mendekat dan memelankan suara. "Mas Bastian selingkuh dua kali. Itu sepengetahuan, Mbak. Yang Mbak tidak tahu, bagaimana?"
"Yang Mbak tidak tahu - ya sudah. Berarti memang Tuhan tidak menakdirkan Mbak untuk tahu," sahut Amara. "Hidup itu simpel. Buat apa cari tahu apa yang semestinya tidak perlu kita tahu."
Sally melotot. "Ya perlulah, Mbak! Ini namanya pengkhianatan dalam perkawinan. Sebagai istri memang wajib cari tahu kalau suaminya tiba-tiba berperilaku aneh. Kalau diam saja, bodoh namanya!"
"Sudah, Sall. Sudah." Amara enggan melanjutkan perdebatan. Ia sudah tahu tapi memutuskan untuk membohongi diri sendiri.
Amara juga bukan wanita suci. Ia pernah bermain api dengan Keenan di belakang suaminya. Kali ini Amara ingin memulai semua dari awal. Anggap saja mereka semua impas.
Amara lantas tersenyum. "Sall, kamu akan mengantar Mbak ke terminal, kan?"
"Kenapa? Mbak takut diantar bapak karena nanti ketahuan naik bus ekonomi?" ketus Sally.
"Sall ..."
"Karena KTP-Mbak disita suamimu yang kejam itu! Sampai mau beli tiket bus saja tidak bisa akibat tidak ada identitas diri."
"Sall, sudah." Amara mengelus lengan Sally. "Mbak hanya butuh doa dan dukunganmu. Cuma kamu yang mengerti Mbak. Cuma kamu yang ngerti permasalahan Mbak. Mbak betul-betul mengandalkanmu."
Sally mendengkus. Ia pun melunak dan tak lagi membantah Amara.
***
Santi menyambut kepulangan Keenan dan Julie. Sementara di belakang, Febi menyusul dan menggandeng Julie yang tampak kelelahan untuk segera beristirahat di kamar.
"Saya siapkan makan malam, Pak?" tawar Santi.
Keenan menggeleng. "Aku mau ke kamar saja."
"Pak," cegah Santi. "Maaf, tapi ..."
"Kenapa?" selidik Keenan seraya menghentikan langkah.
Pertanyaan Keenan terjawab; sosok lelaki dengan pembawaan tenang sekaligus berwibawa muncul dari selasar. Ia tersenyum tipis menampilkan gurat-gurat karismatik.
"Sudah pulang, Keenan?"
Keenan terperangah. "Papi?" sahutnya. "Kenapa tidak bilang mau datang ke mari?"
"Papi sengaja. Ambil penerbangan pertama menggunakan private jet," kata Adiharjo. Ia merangkul sang putra kesayangan. "Ada yang Papi ingin bahas denganmu, Keenan."
"Soal apa, Pi?"
"Soal bergabungnya kamu di dunia politik. Tentang karir barumu sebagai calon Wakil Walikota Surabaya."
FORBIDDEN DESIRE SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA 🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top