46. Ramah Tamah

Keenan menghampiri Salman dengan penuh kesopanan, ia meminta Julie mengikuti tindakannya.

"Siang, Pak," ucap Keenan. "Perkenalkan saya Keenan, dan ini putri saya Julie."

Salman membungkuk dan tersenyum lebar ke arah Julie. "Aduh cantik sekali. Namanya Julie?"

"Iya, Pak." Julie mencium punggung tangan Salman.

"Jangan panggil 'Pak', to, Cah Ayu. Panggil Mbah Kakung saja," kata Salman. Ia lalu beralih kepada Keenan. "Pak Keenan ini ...?"

"Ehm, Julie adalah murid Bu Amara. Dia rindu dengan Bu Amara jadi saya mengantarnya ke mari," terang Keenan.

Mata Salman terbelalak. "Amara jadi guru? Saya baru tahu, lho."

"Guru les, Pak."

"Oh ... guru les ..." gumam Salman mengangguk. "Jadi lupa memperkenalkan diri, saya Salman Pak Keenan. Bapaknya Amara."

Keenan tersungging. "Sebaiknya panggil Keenan saja, Pak Salman."

Saat mereka saling berkenalan; Amara pun muncul dari balik tirai, ia sudah berganti pakaian dan membawa nampan berisi minuman.

"Pak, sudah pulang, to," sambut Amara.

"Nduk, kamu tak bilang sama Bapak kalau kamu sekarang mengajar les," protes Salman.

"I-iya, Pak." Amara tertunduk seraya meletakkan suguhan bagi Keenan dan Julie.

"Tapi Miss Amara bilang udah nggak mau ngajar Julie lagi, Mbah Kakung," seru Julie.

"Lho? Kenapa? Betul begitu, to?"

Amara tergugu. Ia bingung bagaimana menjelaskan semua pada Julie sekaligus Salman.

"Tidak, bukan begitu, kok," sela Keenan. Ia sadar Amara tampak gelisah. "Miss Amara bukan tidak mau mengajar lagi. Tapi sedang cuti sesaat alias mengambil libur."

Julie berkernyit. "Huh?" Ia menggaruk-garuk kepala yang tidak gatal — berharap bisa menghilangkan kebingungan. "Kalau Miss Amara cuma libur, kenapa Daddy ajak aku ke sini?"

Sekarang gantian Keenan yang kelabakan. "Hmm, soal itu ..."

"Ayo diminum dulu, Pak Keenan." Amara bergegas mengganti topik pembicaraan. Ia lalu menoleh ke arah Salman. "Pak Keenan ini bosnya Mas Bastian di kantor, Pak. Beliau yang meminta saya untuk mengajar putrinya Julie."

"Astaga? Bosnya Nak Bastian?!" Salman kembali terperanjat. Ia menelisik Keenan dari atas ke bawah. "Tidak sangka saya bakalan dikunjungi orang besar. Monggo-monggo, diminum dulu, maaf seadanya, nggeh."

"Terima kasih, Pak Salman. Ini sudah lebih dari cukup." Keenan mengambil gelas berisi teh hangat yang disuguhkan Amara. Sesekali ia mencuri pandang ke arah wanita itu.

Keenan sadar kedatangannya pasti menimbulkan keganjilan. Alasan mengunjungi lahan proyek sekalian menemani Julie mampir bukanlah dalih yang kuat. Kalau dipikir lagi, untuk apa seseorang seperti Keenan mengecek lahan proyek segala? Itu, kan, sudah ditangani oleh kontraktor. Tapi sudahlah, semua sudah terjadi dan dia sudah di sana.

"Maaf, ya, Pak Keenan, rumah kami sederhana," kata Salman memecah lamunan Keenan.

"Sama sekali tidak, Pak. Suasananya nyaman." Keenan kembali mengulas tawa. "Pak Salman bisa panggil saya Keenan saja."

"Oh, iya-ya, lupa," kekeh Salman. "Saya sungkan panggil nama saja. Bapak, kan, bosnya menantu saya."

"Di sini saya cuma seorang ayah yang menemani putrinya main ke rumah gurunya, Pak," ujar Keenan.

Salman pun mengangguk. "Baiklah kalau begitu, Nak Keenan." Ia memandangi Julie lekat. "Julie kelas berapa?"

"Tahun depan SD," sahut Julie.

"Berarti masih TK besar, ya? Tidak lelah tadi perjalanan ke sini?" tanya Salman.

"Nggak. Tadi pemandangannya bagus, banyak pantai. Tapi kata Daddy, nggak boleh berhenti." Julie mengerucutkan bibir.

Salman mendadak bingung. "Kok panggil ayah dengan nama saja, to, Cah Ayu? Kurang sopan, lo."

"Pak, 'Daddy' itu artinya ayah," bisik Amara.

Tawa Salman seketika pecah. "Aduh, maafkan Mbah Kakung, ya, Julie. Maklum, katrok!"

"Mbah Kakung katrok!" Julie ikut cekikikan. Ia lalu memandangi sekitar rumah seraya bergelayut di sekitar Amara. "Miss ini Miss waktu kecil, ya?"

"Iya. Yang di sebelahnya adik Miss Amara, namanya Tante Sally," terang Amara.

Julie berkernyit. "Tante Sally pegang mainan apa?"

Salman ikut memperhatikan. "Itu kapal-kapalan yang Mbah Kakung buat sendiri dari bambu."

"Wih? Mbah Kakung bisa bikin mainan?" selidik Julie.

"Bisa. Cah Ayu mau Mbah Kakung bikinkan juga?" tawar Salman antusias.

"Maulah." Julie berpindah pangkuan ke Salman. Dalam semenit ia sudah bermanja-pada pada lelaki tua itu.

Pemandangan yang lagi-lagi membuat hati Keenan mencelus. Bahkan anaknya itu tak mudah akrab dengan kakek kandungnya sendiri, Adiharjo.

"Boleh, Dad?" tanya Julie.

"Asal tidak merepotkan Mbah Kakung," jawab Keenan.

Salman sumringah dan bangkit dari duduk. Ia menggandeng Julie ke halaman sambil terus berkisah tentang kepiawaiannya membuat mainan tradisional.

Suasana di dalam rumah mendadak hening dan canggung ketika Salman dan Julie keluar. Amara bungkam seribu bahasa, Keenan juga.

Tak tahan, Keenan pun memecah kebisuan. "Kamu akan kembali, kan, Amara?" tanyanya.

Amara masih bergeming.

"Kutebak, keluargamu tidak tahu kalau rumah tanggamu bermasalah," kata Keenan.

Amara terenyak. "Ru-rumah tanggaku ber—? Apa maksud Bapak?"

"Jangan berpura-pura di depanku. Aku tahu kamu pergi karena lari dari Bastian bukan dariku."

"Kepercayaan diri Bapak sangat mengerikan!" decih Amara.

"Jadi katakan kalau aku salah; kalau rumah tanggamu baik-baik saja, kenapa kamu di sini sendirian? Sementara suamimu bicara hal buruk tentang kepergianmu padaku?" tukas Keenan.

Amara berkaca-kaca. "Mas Bastian mengatakan hal buruk tentangku?"

"Aku tidak akan menahannya lagi, Amara! Jika Bastian bukan suami yang baik, kamu seharusnya tak mempertahankannya." Keenan mendengkus. "Dan satu lagi, jangan bilang kalau Bastian yang telah memukulimu. Kalau dia pelakunya, sepatutnya kamu melaporkannya ke polisi."

"Jangan ikut campur!" desis Amara. Ia melirik ke arah halaman untuk memastikan Salman dan Julie tak mendengarkan perkataan Keenan.

"Mana bisa aku tidak ikut campur kalau nyawamu jadi taruhan!" bantah Keenan. "Bastian sama sekali tidak menunjukkan rasa bersalah, Amara. Tega sekali dia membiarkanmu sendirian di sini?"

"Apa yang terjadi dalam rumah tangga saya bukan urusan Bapak," sungut Amara.

"Urusanku karena Bastian telah melibatkanku juga. Semua ceritanya tentangmu membuatku muak. Berhentilah buta hati dan mempertahankan rumah tangga toxic dengannya!"

"Aku mencintai suamiku!" Amara membentak sambil menyorot Keenan tajam.

Apa yang terlontar dari bibir Amara seolah menusuk tepat di jantung Keenan. Membelah bagian rawan itu hingga berkeping-keping. Ia memang lelaki tak tahu diri — mengharap cinta dari seorang wanita yang telah dimiliki orang lain.

Amara kembali melanjutkan, "Untuk semua yang telah terjadi dalam rumah tangga kami, aku tetap mencintai Mas Bastian. Kalau pun kembali ke Surabaya itu juga untuk memperbaiki rumah tangga kami."

"Aku tahu kamu adalah wanita yang pintar, Amara. Kamu pasti pernah mendengar soal empat fase dalam sebuah hubungan KDRT. Seharusnya kamu waspada jika Bastian berubah romantis setelah ia memukulimu. Itu cuma fatamorgana semu karena kamu sudah terjerat dalam siklus honeymoon!" ujar Keenan.

Amara memalingkan muka. Ia tahu hal itu, tetapi ia selalu mengelak diri sendiri untuk mengakui.

"Dia akan menjeratmu hingga kamu memutuskan untuk bertahan dan tetap bertahan. Hingga pada akhirnya sudah terlambat untuk lari."

"Sudahlah!" bentak Amara. "Bukan urusan Bapak!"

Keenan menghela napas panjang. Ia menatap Amara lembut. "Aku tidak mau terjadi sesuatu padamu. Aku tidak berharap kamu akan menjadi milikku, Amara. Aku hanya ingin kamu punya hidup yang tenang dan layak."

Bibir Amara bergetar. Ia melengos demi menghindari beradu mata dengan Keenan. Wanita itu tak ingin Keenan melihat raut tangisnya.

"Saya akan siapkan makan siang, sebentar lagi ibu dan adik pulang dari bekerja. Silakan beristirahat sembari saya di dapur," tutup Amara.

"Amara, jangan menghindar ..."

Amara bergegas menyela, "Kalau Bapak mau, Bapak bisa makan siang bersama kami. Cuma makanan seadanya." Ia pun lantas pergi meninggalkan Keenan. Menerobos tirai untuk berlari ke dapur demi menyembunyikan kepedihan hati.

***

Sore yang menenangkan pun menyapa Rembang. Udara pesisir pantai yang tadinya lembab dan panas mulai berganti angin sepoi-sepoi. Gelak tawa Julie memenuhi seisi halaman rumah — menghangatkan segala sepi. Salman berhasil membuat kapal-kapalan dari bambu yang diberi roda kecil. Mainan tersebut kemudian ditarik dengan tali dan dibawa berlari mengitari halaman.

Dari jendela dapur, sesekali Sulis mengintip ke luar. Ia berdecak.

"Masih muda sekali bosnya Nak Bastian, Mar," ucap Sulis.

Amara tampak tak acuh. "Iya, Bu," sahutnya.

"Istrinya mana?"

"Sudah bercerai," jawab Amara singkat.

Sulis mengangguk-anggukkan kepala. "Orang kota mudah sekali bercerai. Padahal ada anak sekecil itu, lucu lagi. Ibu ndak habis pikir apa lagi yang dicari," gumamnya. "Ibu tidak mau kamu seperti itu. Pokoknya kamu harus segera pulang dan minta maaf sama Nak Bastian. Paham kamu, Mara?"

"Mas Bastian yang selingkuh kenapa aku yang harus minta maaf?" kata Amara ketus.

"Dia selingkuh karena kamu tidak bisa memberinya anak! Kamu kurang memenuhi kebutuhan dia. Harusnya kamu intropeksi diri, bukannya minggat," sergah Sulis.

Amara menuang kuah sayur sambil menyembunyikan emosi berkecamuk.

"Tanpa Ibu suruh pun, aku memang akan kembali pulang. Tapi yang aku inginkan sedikit dukungan dan pengertian dari Ibu. Bukannya cercaan seperti itu. Sebagai istri, aku sudah melakukan semua yang terbaik buat Mas Bastian, Bu. Hanya Tuhan yang tahu!" geram Amara.

Ia lalu membawa mangkuk tadi ke luar dari dapur. Membiarkan Sulis tenggelam dalam penyesalan terdalam. Apa gunanya menjadi seorang ibu jika membela anak perempuannya saja tak sanggup.

***

Berbagai makanan terhidang di ruang depan; mulai dari ikan bakar, telur dadar, tempe dan tahu goreng, lalu lalapan sayur. Menu yang cukup mewah bagi keluarga Amara yang terbiasa hidup sederhana.

Sulis mengeluarkan piring-piring makan simpanannya; kumpulan piring yang hanya dikeluarkan tiap ada arisan atau hajatan tertentu. Alat makan cekung bermotif bunga bermaterial kaca.

Julie terlihat kurang begitu tertarik dengan masakan-masakan buatan Sulis dan Amara. Semua bukan favoritnya, tidak ada ayam goreng. Namun mata gadis kecil itu akhirnya terbelalak ketika Sally mengeluarkan mangkuk besar berisi mie goreng. Aroma semerbak makanan instan itu pun mengalahkan aneka masakan yang sudah dibuat susah payah di dapur.

"Dad, ada mie," bisik Julie.

Keenan mengangguk sambil mengulum senyum. Maklum saja; putri kecilnya memang tidak diperbolehkan mengonsumsi junk food. Jadi mie instan seolah makanan mewah untuk Julie. Kali ini Keenan tak akan melarang putrinya — sesekali tiada salahnya, kan?

"Sall, ambilkan gelas sama teko minuman di belakang," titah Sulis.

Amara bangun dari duduk. "Biar aku saja," katanya.

Meski Amara sudah berangkat ke dapur, Sally tetap mengekori. Ia menahan lengan kakaknya begitu tiba di ambang dapur.

"Mbak!" seru Sally.

"Apa?" Amara tak acuh menuang air ke dalam teko plastik.

"Tak kira sing jenenge Pak Keenan iku wes tuek, Mbak*!" Ia melotot. "Ternyata masih muda dan ngguwanteng gitu. Astaga, Mbak! Aku barusan mau pingsan pas kami saling tatap-tatapan."
(*Kukira yang namanya Pak Keenan itu sudah tua, Mbak)

Amara hanya mengulas senyum kecut.

"Pak Keenan ini, to, yang membantu aku mendapatkan pekerjaan seperti sekarang? Haruskah aku bilang makasi ke dia, Mbak?" buru Sally.

"Tidak usah. Kalau Bapak atau Ibu dengar, nanti malah panjang urusannya. Nanti Ibu dan Bapak semakin merasa utang budi sama Pak Keenan. Biar aku saja yang menyampaikan rasa terima kasihmu padanya," sanggah Amara.

"Yawes," gumam Sally. "Tapi betulan, lo, kok dia baik banget sama keluarga kita? Pakai nyusul Mbak ke sini segala lagi."

"Ya karena Julie rindu sama aku, Sall. Dan lagi Pak Keenan sekalian melihat proyeknya yang ada di Rembang katanya," ujar Amara.

Sally menggeleng. Ia kembali menahan tangan Amara. "Mbak, apa jangan-jangan ada hubungan spesial antara Mbak dan Pak Keenan?"

FORBIDDEN DESIRE sudah tamat di Karyakarsa. Silakan cek ke san untuk baca lebih cepat 🖤🖤🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top