45. Berkunjung

Pada hari ketiganya di Rembang, Amara memutuskan ikut membantu Sulis menggarami ikan di TPI Tasik Agung. Salem dan tongkol merupakan dua jenis ikan yang biasa dijadikan pindang. Ketika rata-rata lelaki menjadi nelayan, maka ibu-ibu di sekitar sana memilih bekerja di tempat pembuatan ikan pindang.

Sulis dan Amara sama-sama hening. Kemarahan masih tersimpan dalam batin Sulis.

“Mbak Amara, kenapa ikut menggarami ikan? Apa tidak takut kalau nanti kukunya kotor dan tubuhnya bau ikan?" celetuk salah satu pekerja.

"Betul itu. Nanti kulitmu yang putih juga jadi gelap gara-gara terkena teriknya matahari pelabuhan!" imbuh yang lainnya.

Salah seorang pekerja yang duduk di dekat Sulis pun menyenggol. "Seharusnya putrinya dilarang ikut ke sini, Bu Sulis. Niat liburan malah diajak bikin pindang," kekehnya.

Sulis bergeming. Ia memusatkan atensi pada tumpukkan ikan yang hendak digarami. Tangannya gesit membalur ikan dengan garam. Kemudian meletakkannya dalam keranjang anyaman dari bambu yang disebut 'tetek'.

"Tidak apa-apa," sahut Amara. "Memang saya yang ingin ikut ke mari dan membantu Ibu."

"Oh begitu ..." Para pekerja kompak mengangguk.

"Tapi kenapa datang sendirian, Mbak Amara? Mas Bastiannya ke mana? Kok tidak ikut? Seingat Ibu, terakhir ke mari waktu awal pernikahan, ya."

Wanita di dekat Sulis ikut menimpali, "Betul itu. Sudah lama sekali terakhir kali kami melihat bojomu, Mbak. Tapi Ibu masih ingat wajah dan perawakan Mas Bastian itu. Ngguanteng tenan mirip pemain sinetron," tawanya.

"Ya jelas ganteng, to, Bu!" sahut yang lain. "Mbak Amara saja uayu ngene, kok! Betul-betul serasi."

Amara memaksakan senyum. Di lain sisi, Sulis semakin tidak nyaman. Kalau dulu, ia bakal bangga ketika ada yang memuji atau membahas anak dan mantunya. Sekarang lain soal. Fakta bahwa Amara berniat menggugat cerai Bastian menjadikan segala sanjungan serasa tikaman belati.

Sulis pun berdeham seraya melirik Amara tajam. “Mara, kamu sebaiknya pulang. Temani bapak di rumah," titahnya. Jengah mendengar pembahasan pekerja lain tentang rumah tangga Amara.

“Barusan aku ketemu Pak Salman di pelelangan ikan, Bu," sahut salah seorang wanita berkerudung ungu tua.

"Nah, berarti Mbak Amara tetap di sini saja. Aku masih penasaran dan ingin mengobrol banyak dengan Mbak Amara."

"Coba ditelepon video suaminya. Supaya kita semua bisa menyapa."

Sulis gelisah sendiri. “Pulang saja, Mar.”

"Lha kenapa, to, Bu Sulis?"

Sulis enggan menjawab keingin-tahuan mereka. Ia kembali mengarahkan pelototan tajam ke arah putri sulungnya. "Pulang, Nduk!"

Amara pun beranjak bangun demi menuruti perintah ibunya. Ia masih mengulas tarikan melengkung pada bibir sebelum bergegas pergi.

"Ibu-Ibu, saya pamit dulu. Nanti saya sampaikan salam ke Mas Bastian."

Mereka semua sumringah, kecuali Sulis.

***

Amara melangkah meninggalkan tempat pemindangan. Ia menerobos sengatan matahari sambil menenteng besek pindang pemberian para pekerja tadi. Kemudian ia melewati pelabuhan — tempat pelelangan ikan Tasik Agung.

Aroma amis dari sisa-sisa tangkapan nelayan menusuk indera penciuman Amara. Menurutnya tempat itu lumayan sepi, pasti karena banyak nelayan yang libur melaut akibat terkendala ombak. Jadi tidak banyak orang berkerumun untuk melakukan transaksi.

Hari sudah siang dan matahari sudah tinggi.

Sesampainya di rumah; Amara duduk di bangku kayu pada halaman. Rimbunnya pohon mangga menjadikan angin laut terasa lebih sejuk dan menenangkan. Amara terdiam sejenak — melamun sambil menikmati waktu.

Biasanya jam segini ia akan sibuk memasak, lalu setelahnya bersiap berangkat memberi les pada Julie. Ya, Julie.

Amara tersenyum pahit seraya menerawang jauh. Ia memang wanita jahat, meninggalkan bocah manis itu tanpa berpamitan. Amara juga sadar caranya menyampaikan pengunduran diri kurang sopan, melalui pesan singkat. Keenan mungkin tersinggung; lelaki itu tak membalas pesannya.

Atau mungkin ketertarikan Keenan padanya sudah luntur. Bukankah memang ia hanya iseng semata mendekati Amara. Bosan atau bingung menghabiskan uangnya bagaimana. Orang kaya terkadang suka bersikap aneh.

Di dunia ini, Amara memang sendiri. Tak memiliki siapa pun sekaligus apa pun.

Tanpa sadar, air mata menitik membasahi pipi Amara. Bahkan Bastian, suami yang ia cintai, mengabaikan ketiadaannya. Sungguh ironi. Cara Bastian mendiamkan Amara justru membuatnya berpikir dirinyalah sumber dari segala masalah. Penolakan Sulis kian menambah sesak yang bergejolak pada batin Amara.

Amara dipaksa kembali.

KRAK. Bunyi pintu pagar yang tiba-tiba terbuka membuat Amara terperanjat. Ia menoleh dan berpikir itu mungkin Salman yang baru saja pulang dari pelabuhan. Tetapi Amara salah, itu bukan ayahnya. Melainkan seorang lelaki bertubuh jangkung yang kehadirannya tidak pernah Amara bayangkan.

"A-apa ...?" Amara pikir ia sedang bermimpi.

Keenan berdiri di ambang pagar seraya menyorot Amara melalui iris pekatnya. Bibir lelaki itu sedikit tersenyum. Membiarkan angin laut mengantar wangi tubuhnya yang beraroma mint.

Di belakang sosok Keenan, kepala Julie mengintip malu-malu. Seakan-akan bocah cilik itu baru pertama kali bertemu Amara.

"Pak Keenan? Julie?" Amara menghampiri dengan langkah gamang. Ini nyata. Ia tak sedang bermimpi apa lagi halusinasi.

Keenan tersungging lebar, menampakkan dua lesung pada pipi. "Selamat siang, Miss. Aku harap kehadiran kami tak mengganggu," ucapnya. Ia lalu menuntun tangan Julie. "Hei, kenapa sembunyi? Itu Miss Amara."

"Julie ..." bisik Amara. Suara wanita itu bergetar dan serak karena haru. Ia lalu berjongkok untuk menyamakan tinggi dengan Julie.

Julie masih bersembunyi di balik tubuh Keenan. "Hai, Miss," sapanya canggung. Meski begitu mata gadis kecil itu mulai berkaca-kaca.

Tangis Amara pecah. "Julie!" Ia melebarkan tangan demi menuntut sebuah pelukan. Dan Julie menyambut dekapan itu. Menghambur dalam rengkuhan Amara yang terisak. "Julie jauh-jauh ke sini untuk menemui Miss?"

"He'em!" timpal Julie. Bibir merah mudanya melengkung ke bawah karena tersedu-sedu.

Perasaan Keenan bergejolak berantakan saat melihat Julie memeluk Amara begitu erat. Ia sadar bahwa Amara bukan lagi sekedar guru bagi putrinya. Wanita itu mampu mengisi kekosongan dari ketiadaan figur ibu dalam hidup Julie.

Jika ikatan keluarga terbentuk berdasarkan hubungan darah, maka Amara dan Julie terikat karena cinta.

"Ayo, mari masuk. Di sini panas," ajak Amara. Ia berjalan mendahului Keenan sambil menggandeng Julie. "Jadi Julie tidak masuk sekolah?"

Julie mengangguk. "Daddy bilang tidak apa-apa bolos sesekali."

"Kebetulan aku harus melihat tanah proyek yang berada di dekat sini. Sekalian saja mengajak Julie mampir untuk menyapamu, Miss," dalih Keenan.

Amara melirik Keenan sekelibat. "Sampai alamat rumah saya di Rembang pun, Bapak tahu," sindirnya.

"Lupa, ya, kalau aku pernah mengutus orang mengirimkan mesin cuci ke mari," balas Keenan.

Amara mendengkus. Ia ingin marah, tetapi entah kenapa hatinya malah berbunga dikunjungi Keenan dan Julie.

Wanita itu lantas mempersilakan Keenan dan Julie duduk di atas karpet sederhana. "Silakan duduk dulu. Akan saya ambilkan minuman di belakang."

Julie berkernyit.

"Dad, Miss tidak punya kursi?" bisiknya.

"Sssh!" Keenan memperingatkan sang putri.

Amara mengulum senyum, komentar Julie tak membuatnya tersinggung. Bocah kecil itu memang selalu penuh pertanyaan yang kadang membuat kewalahan. Ia berjalan masuk ke dalam untuk mengambilkan suguhan bagi Keenan dan Julie.

Setibanya di dapur, Amara refleks mengendus tubuhnya. Ia, kan, baru saja pulang dari tempat pemindangan. Belum lagi cuaca panas membuat badannya berkeringat dan lengket. Wanita itu lantas mendecih sendiri. Amara urung membuat minuman. Sebaliknya ia buru-buru berbelok ke kamar mandi untuk menyegarkan diri.

Malu jika Keenan melihatnya seberantakan ini.

***

Keenan pun berdiri untuk mengamati sekeliling. Rumah masa kecil Amara memang sangat sederhana. Tiap ruangannya disekat oleh tirai menjuntai sampai lantai — interior yang baru kali ini dilihat oleh Keenan.

Pada dinding, dipajang foto-foto lama yang cukup menarik untuk dipandangi satu per satu. Tampak dua bocah perempuan pada salah satu potret yang tergantung. Bibir Keenan mengembang — ia yakin itu pasti Amara dan Sally semasa kecil. Netra lelaki itu lalu berpindah ke bingkai lain, gambar keluarga yang diabadikan ketika Amara wisuda. Senyum Keenan lagi-lagi melebar; Amara masih sama cantiknya seperti dulu.

Namun tarikan bibir itu memudar kala Keenan menemukan foto pernikahan Bastian dan Amara. Dua pengantin dalam potret itu mengenakan pakaian adat Jawa dan tertawa begitu lebar. Terlihat bahagia.

Keenan pun mendecih. Alah, apa yang ditampakkan di depan kamera kadang tak sejalan dengan realita. Untuk apa ia cemburu segala? Parahnya ia tiada hak buat cemburu segala.

"Lho, ada tamu?" Seorang lelaki penuh uban berdiri di ambang pintu. Rautnya kebingungan. "Ini siapa, ya?" tanya Salman.

Keenan menoleh salah tingkah. Ia lupa kalau di sini Amara tak tinggal sendirian.

Forbidden Desire sudah tamat di Karyakarsa. Bagi kalian yang gak sabar menanti atau pengen traktir Ayana beli jajan, boleh mampir, ya! Thank You buat comment, vote, love, mau pun dukungan kalian semua.

Salam sayang! Ayana Ann 🖤🖤🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top