44. Putri Es

Sally berjingkat menghindar dari pecahan beling. "Ibu enggak apa-apa? Tunggu biar aku ambil sapu dulu," ujarnya.

Amara menahan Sally. Ia sadar hari semakin siang dan adiknya itu harus berangkat bekerja.

"Biar Mbak, Sall. Kamu berangkatlah bekerja," kata Amara.

"Tapi, Mbak ..."

"Sudah, sana!" tegas Amara.

Sally lantas menuruti titah Amara. Ia pun mengucap pamit pada Sulis, meski tak digubris. Sepeninggal adiknya, Amara bergegas menuntun Sulis menuju ke tempat yang jauh dari ceceran beling.

"Bu?"

Sulis duduk di atas bangku kayu dengan tubuh melemas. Ia mendongak untuk memandang Amara lekat. "Apa maksud Sally dengan mengurus perceraian, Mar? Siapa yang mau bercerai?"

"Bu, sebenarnya rumah tanggaku tidak sedang baik-baik saja," aku Amara. Ia mengambil tempat di sisi sang ibu.

Bibir Sulis gemetar menahan tangis. Wanita itu bagaikan disambar petir.

"Setiap rumah tangga pasti punya masalah. Kamu jangan menganut pola pikir praktis; sedikit-sedikit minta cerai!" hardik Sulis.

Amara sudah menduga Sulis pasti tak merestui keputusannya.

"Aku sudah bertahan sebisaku, Bu. Bagaimana jika bercerai memang satu-satunya pilihan yang tersedia untukku?" sahut Amara.

Sulis melotot tajam. "Jaga bicaramu, Mar! Untung bapak tidak ada di rumah, kalau ia dengar, bapak bisa mati berdiri!"

"Bu, tolong dengarkan aku dulu ..."

Sulis gesit memotong, "Kamu lupa kalau kamu itu beruntung karena diperistri Nak Bastian? Dia berasal dari keluarga berada; punya pekerjaan membanggakan, menyediakanmu rumah mewah, membiayai hidupmu sehari-hari! Kamu mau cari apa lagi, Mara?!"

"Mas Bastian memperlakukanku kasar, Bu!" ungkap Amara frustrasi.

"Itu karena kamu kurang sabar menghadapi suamimu!" bentak Sulis. "Sifat lelaki berbeda-beda dan sebagai istri kamu seharusnya punya kesabaran seluas samudra!"

"Ibu," desah Amara pilu. "Coba dengar dulu perkataanku. Apa sebagai manusia aku harus selalu ikhlas menerima segala penindasan yang menimpaku? Apa Ibu tidak kasihan padaku, anak kandungmu?"

Sulis menggeleng. "Sebelum memikirkan perasaanmu, Ibu terlebih dahulu memikirkan perasaan Nak Bastian. Selama lima tahun pernikahan, kamu belum bisa memberikannya keturunan. Itu membuat Ibu malu, Mar. Kami semua malu sama keluarganya Bastian."

"Astaga, Bu?" Amara beringsut bangkit meninggalkan Sulis. Tangisnya pecah karena tak menyangka ibunya akan mengatakan hal yang begitu menyakitkan. "Tega sekali Ibu sama aku!"

"Mara!" kejar Sulis. Ia menahan lengan putri sulungnya. "Ingat kondisi bapak, Mar. Dia sering sakit! Darah tinggi bapak suka kambuh kalau lagi banyak pikiran. Tahu kalau kamu berniat berpisah dengan Nak Bastian akan membunuh bapakmu!"

"Aku juga berhak bahagia, Bu," sahut Amara tersedu.

"Bahagia yang seperti apa? Ketika seorang wanita memutuskan menikah, maka hidupnya memang untuk mengabdi pada suami dan anaknya. Kamu hanya punya Bastian - maka Bastianlah tempatmu mengabdi, Mara. Jangan berpikiran seperti ABG, ingin mengejar kebahagiaan segala," sergah Sulis. "Bahagia itu berhasil mempertahankan rumah tangga hingga ajal menjemput!"

"Bu, aku ini anak Ibu, tanpa bertanya apa saja yang Mas Bastian sudah lakukan padaku; Ibu tetap memintaku bertahan?" balas Amara.

Sulis mengacungkan telunjuknya ke arah Amara. "Nak Bastian adalah pilihanmu, Mar. Setialah pada janjimu di depan Tuhan!"

"Ibu seharusnya berkata begitu ke Mas Bastian, karena dialah yang melanggar janjinya di depan Tuhan. Dia berselingkuh!" ungkap Amara setengah menjerit.

Rahang Sulis mengeras. Ia memalingkan wajah demi menyembunyikan hati yang terguncang.

"Tenangkan dirimu selama berada di sini, Mar. Lalu kembalilah pulang untuk meminta maaf pada suamimu," ucap Sulis tegas. "Jangan sampai bapak tahu soal ini."

Ia lalu meninggalkan Amara yang terkulai sendirian.

Sulis dan Salman memang orang tua yang konvensional. Mereka juga sangat memegang tradisi yang kolot. Bagi keduanya, menikah hanya satu kali. Kalau pun seorang wanita harus menjanda, itu karena maut yang memisahkan.

Keluarga mereka bisa mati karena malu jika Amara nekad bercerai. Di mata Sulis; Bastian adalah menantu kebanggaan. Satu-satunya hal baik yang bisa ia elu-elukan pada para tetangga di kampung.

Apa pun yang terjadi - tidak ada kata cerai dalam silsilah keluarga mereka.

***

Keenan membuka pintu kamar Julie, di dalam putrinya sedang belajar ditemani Febi. Lelaki itu pun melangkah masuk sambil tersenyum.

"Daddy sudah pulang, Julie," ucap Febi.

Julie hanya melirik sepintas. Bibir bocah enam tahun itu mengerucut sinis. Ia seolah tak peduli dan tetap melanjutkan kegiatan mewarnainya.

"Malam, Julie." Keenan mengusap puncak kepala sang putri. "Sedang mewarnai apa?"

Julie tak menjawab.

Keenan mengintip. "Oh, mewarnai Princess Elsa rupanya. Mau Dad bantu atau temani?"

Febi mengambil inisiatif untuk pergi meninggalkan Keenan dan Julie berduaan. Ia pun keluar dan menutup pintunya rapat.

Julie tetap membisu.

Keenan menghela napas. "Julie masih kesal?" tanyanya.

Gadis kecil itu semakin cemberut dan menekan pensil warnanya kuat-kuat. Akibat ulahnya, kertas gambar Julie malah menjadi koyak. Ia pun sontak menangis kencang demi melampiaskan emosi.

"Kertas Julie sobek!" erang Julie kencang.

Keenan sadar penyebab Julie menangis bukan karena kertas yang rusak, melainkan Amara. Julie selalu berubah menjadi anak yang cengeng, pembuat onar, dan gemar marah tiap kali mengalami kesedihan atau kekecewaan.

"Semua gara-gara Daddy!" Julie melempar buku mewarnainya penuh amarah.

Keenan mendengkus dan berlutut di depan putrinya. Ia memegang kedua bahu Julie erat-erat.

"Berhenti membuat masalah demi mencari perhatian, Julie!" bentak Keenan.

Julie terkesiap. Ia dan Keenan saling berpandangan. Kedua pelupuk Julie penuh air menggenang. Bibir gadis kecil itu pun masih bergetar.

"Kamu tidak bisa melampiaskan kesedihan dengan marah-marah dan bersikap seenaknya! Daddy tidak pernah mengajari Julie untuk menjadi seseorang yang egois dan tempramental! Daddy juga tidak suka kalau Julie berani melawan Daddy!" Keenan lalu menyentak badan anaknya cukup keras. "Paham?!"

Bulir air mata Julie tumpah. Kali ini ia menangis dalam senyap.

Hati Keenan seketika tersadar. Ia merasa bersalah telah membentak putri kecilnya. Ia meminta Julie menjadi anak penyabar, sementara ia sendiri menunjukkan kemarahan. Keenan lantas merengkuh Julie dalam pelukan penuh sesal. "Maafkan, Daddy, Julie," desahnya.

"Julie kangen Miss Amara, Dad ..." isak Julie. "Miss tidak say goodbye sama Julie. Apa karena Julie suka marah-marah makanya semua pergi? Mommy ... Miss Amara ..."

"Sshhh!" Keenan mendekap Julie lebih rapat. "Mereka pergi bukan karena Julie." Ia melepaskan rengkuhan dan meraih buku yang Julie tadi lempar. "Seperti Princess Elsa, kadang mereka pergi karena kemauannya sendiri. Julie masih ingat Frozen, kan? Princess Elsa meninggalkan istana karena dia ingin tinggal sendirian, bukan karena dia membenci Anna."

Julie mengangguk.

"Miss Amara mau tinggal sendirian, Dad?"

"Mungkin," jawab Keenan.

"Di mana?" cecar Julie lagi.

"Miss Amara pergi ke Rembang; pulang kembali ke kampung halamannya," terang Keenan.

Julie lantas mengambil sapu tangan pemberian Amara. "Jadi ini hadiah perpisahan Miss untuk Julie?"

"Bisa jadi, Sayang." Keenan menyorot Julie lembut.

Julie hening. Ekspresinya mengialkan bahwa bocah itu sedang berpikir keras. "Tapi, Dad ..." sanggahnya. "Elsa sebenarnya nggak mau tinggal sendirian di kastil es. Dia kesepian."

Kedua sudut bibir Keenan tertarik ke atas hingga membentuk garis melengkung. Putrinya memang kritis dan cerdas.

"Jadi?" selidik Keenan.

"Anna menyusul Elsa, kan, Dad?" jawab Julie. "Mungkin Miss Amara juga menunggu Julie datang menyusul."

"Itu tebakan Julie?"

Julie lagi-lagi mengangguk cepat. "Kita susul Miss Amara, yuk, Dad. Julie mau jadi Anna!" katanya antusias.

"Kalau begitu Daddy si Kristoff, ya?"

Julie menggeleng dan terkikik. "Daddy itu Sven!" godanya. Sven adalah reinderr atau rusa kutup peliharaan Kristoff.

"Bocah nakal!" Keenan mencubit gemas hidung Julie.

"Dad, ayo kita susul Miss Amara," rengek Julie. "Ya?"

"Bagaimana kalau Miss tidak mau kita temui, Julie?" Keenan menggendong Julie dan memangkunya.

"Kita bisa pulang," sahut Julie santai.

Seutas senyum kembali terkembang pada bibir Keenan. Ia dan Julie pun saling memandang cukup lama.

"Baiklah. Besok kita berdua akan membolos demi menyusul Miss Amara." Sebelum putrinya berteriak girang, Keenan pun kembali memperingatkan, "Eit! Hanya untuk kali ini, okay?"

"Okay, Daddy!" Julie serta merta mengalungkan kedua lengan pada leher Keenan. Ia memeluk sang ayah penuh suka cita.

Duileeeh, yang mau disusul duren brewoook ... Unchhhh

Forbidden Desire sudah tamat di karyakarsa. Silakan cek ke sana untuk baca lebih cepat 🖤 dukungan kalian berarti banget buat Ayana beli jajan 🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top