43. Taktik
Bastian memasuki ruangan Keenan tanpa banyak kata.
Meski sudah puluhan kali berada di sana, ia masih saja menyimpan kagum dengan kemewahannya. Ruang kerja yang didominasi oleh kaca jendela lebar hingga memaksimalkan pencahayaan alami dari luar. Lukisan serta ornamen bernilai seni tinggi tergantung menghiasi — Bastian menduga furniture itu bernilai mahal — meski ia sama sekali tak mengerti soal seni. Sementara; di samping lampu kerja berpegangan ukiran kayu, terpajang pigura berisi foto Julie.
"Silakan." Keenan meminta Bastian duduk pada sofa yang terletak di tengah ruangan.
Bastian pun menjatuhkan bokong dengan nyaman.
"Jadi, Miss Amara pergi?" selidik Keenan hati-hati. Ia berjalan menuju coffee machine dan membuat dua cangkir kopi.
Bastian memasang raut sendu. "Saya sungkan menceritakan masalah pribadi kepada Bapak," ujarnya.
Keenan mendecih dalam hati. Ya. Dia juga tak terlalu peduli dengan masalah pribadi Bastian. Namun jika itu menyangkut Amara; akan lain soal.
Jika pengunduran diri Amara adalah untuk menjauhinya, mengapa wanita itu juga lari dari Bastian? Pertanyaan yang cukup mengganggu Keenan karena ia mulai menyimpulkan bahwa bukan dirinyalah penyebab wanita itu resign. Melainkan hal lain. Bisa jadi Bastianlah masalahnya!
"Ah, begitu." Keenan meletakkan cangkir berisi kopi panas ke atas meja kaca di depan Bastian. "Ya, saya mengerti. It's okay, memang ada beberapa permasalahan yang sebaiknya tidak dibicarakan dengan sembarang orang." Ia mempersilakan Bastian meneguk minumannya. "Silakan, Pak."
Bastian tersungging. "Terima kasih, Pak. Suatu kehormatan untuk saya bisa meminum kopi buatan bos besar."
"Jangan bicara begitu, Pak," decih Keenan. "Waktu operasional kantor belum mulai. Dan kita hanya dua lelaki yang sedang mengobrol santai. Tinggalkan sejenak urusan pekerjaan."
Bastian makin sumringah. "Kalau begitu saya setuju."
Keenan meniup cairan kopinya pelan. Ia melirik Bastian diam-diam bak seekor serigala yang hendak menerkam mangsanya. Sebisa mungkin membiarkan lelaki itu bercerita terlebih dahulu tanpa menimbulkan kecurigaan berlebihan.
Mengingat tabiat Bastian yang banyak bicara — Keenan yakin sebentar lagi ia akan mendapatkan keinginannya.
"Berat membicarakan masalah pribadi dengan orang lain yang tak mengerti," kata Bastian memecah sunyi. "Tetapi saya rasa, saya bisa bicara dengan Bapak Keenan. Saya yakin Bapak paham dengan apa yang saya rasakan sekarang."
I got you! Keenan menyembunyikan seringai.
"Saya berharap bisa sedikit membantu, atau paling tidak menjadi pendengar yang baik," sahut Keenan.
"Terima kasih, Pak. Semua sangat berarti bagi saya." Bastian menghela napas. "Amara meninggalkan saya, dia bilang pergi ke Rembang. Pulang ke kampung halamannya. Tapi saya sama sekali tak percaya."
Kedua alis Keenan bertautan. "Kenapa?"
"Saya yakin istri saya berselingkuh," dengkus Bastian.
Keenan menelan saliva. Amara berselingkuh? Satu-satunya lelaki yang selama ini mengejar Amara adalah dirinya. Apa Bastian sedang membicarakan Keenan? Tetapi bagi Keenan hubungannya dengan Amara bukan perselingkuhan — melainkan penolakan mentah-mentah dari seorang istri yang begitu setia pada suaminya.
Bastian kembali melanjutkan, "Selama lima tahun kami tak kunjung diberikan anak karena Amara memiliki masalah kesuburan. Tetapi sebagai suami saya tak pernah mengeluh. Malahan, saya melakukan segala cara demi mempertahankan keutuhan rumah tangga. Salah satunya membujuk Amara agar mau menjadi guru les Julie."
"Pak Bastian, tahu, bukan, kalau anak bukan satu-satunya tujuan pernikahan," tukas Keenan.
"Ya saya tahu, saya tidak masalah dengan itu. Saya malah terus menerima kekurangan dia, meski banyak keluarga yang menyarankan saya untuk menikah lagi atau menceraikan Amara. Namun saya tak melakukan itu," terang Bastian.
Keenan mengangguk. "Saya salut dengan keputusan Bapak," pujinya.
"Tapi saya malah menerima pengkhianatan, Pak." Bastian tertunduk mengulas kekecewaan.
"Soal perselingkuhan ini, apakah Bapak yakin?" selidik Keenan.
"Tentu saja, Pak Keenan. Saking takutnya saya kehilangan Amara, saya sampai menyimpan dokumen pentingnya termasuk KTP-nya, dia tahu itu. Dan dia malah bilang tak peduli karena lebih memilih pergi meninggalkan saya. Mengabaikan tanggung jawabnya juga sebagai guru Julie," jabar Bastian.
"Ehm ..." Keenan menggumam pelan.
Pernyataan dari Bastian justru memunculkan sejuta pertanyaan baru bagi Keenan. Semua terdengar ganjil. Keenan mungkin bukan suami Amara Senja, tetapi ia tahu wanita seperti apa dia.
Amara bukan seseorang yang nekad pergi demi lelaki lain.
Bastian pernah berbohong soal pembobolan rumahnya. Besar kemungkinan lelaki ini kembali berdusta lagi sekarang.
"Saat ini pekerjaan adalah penyemangat saya untuk bertahan," lanjut Bastian. "Oleh karena itu, semisal Bapak Keenan mempercayakan posisi Vice President Marketing kepada saya, saya akan memberikan yang terbaik bagi perusahaan."
Oh, jadi ini alasannya. Alasan Bastian mengarang drama fiksi mengenai rumah tangganya adalah demi mendapatkan simpati. Keenan pun tersenyum penuh arti.
"We'll see, Pak Bastian. Tetapi saya tahu kalau Bapak memang punya dedikasi besar pada perusahaan ini," ujar Keenan.
Tak lama setelah mereka berbincang, Mirna, sekretaris Keenan pun mengetuk pintu dan masuk. "Pagi, Pak Keenan," sapanya. Ia terkejut melihat ada Bastian di sana. "Pagi, Pak Bastian."
Bastian pun bangun dari duduk — sadar sudah saatnya kembali ke ruangannya. "Baiklah, tampaknya saya harus kembali."
Keenan mengangguk.
"Terima kasih sudah meluangkan waktu Bapak untuk saya," ucap Bastian. "Ini sangat berarti."
"Sama-sama. Saya harap permasalahan Bapak menemukan jalan keluarnya." Keenan pun mengantarkan Bastian hingga ke ambang pintu.
Sedikit demi sedikit kepingan puzzle yang Keenan kumpulkan mulai membentuk gambar utuh. Sebuah jawaban atas segala enigma akan hidup Amara.
Keenan tak sangka demi seorang wanita ia akan berubah menjadi lelaki licik yang penuh intrik. Menikam Bastian dalam diam sembari berpura-pura menjadi kawan. Tetapi siapa lagi yang bakal membebaskan Amara dari kungkungan nestapa kalau bukan dirinya? Toh Keenan melakukannya bukan demi nafsu semata. Melainkan dorongan nurani yang mengalahkan batas logika.
Suatu dalam diri Keenan yakin; Bastian adalah lelaki yang berbahaya.
***
"Mbak, aku berangkat, ya." Sally mengecup punggung tangan Amara. Ia lalu menatap saudarinya dengan sorot mengiba. "Apa Mas Bastian sudah menghubungi Mbak?" tanyanya.
Amara menggeleng.
Raut Sally berubah gusar, semalam ia dan Amara tak tidur karena menangis bersama-sama. Amara akhirnya menceritakan semua rahasia yang ia pendam. Termasuk perselingkuhan dan kekerasan yang Bastian lakukan padanya.
Dada Sally serasa terbakar karena emosi. Tetapi ia pun tak bisa melakukan apa pun demi membalas sakit hati. Andai Salman atau Sulis tahu, orang tuanya pasti sudah jatuh pingsan.
Betul kata Amara, orang tua mereka memang terlalu mendewakan Bastian. Sally menduga Salman dan Sulis akan lebih membela Bastian ketimbang putri kandungnya sendiri. Ia sudah hafal tabiat orang tuanya. Sedari kecil Amara dan Sally selalu dididik mengalah. Tidak menutup kemungkinan sekarang pun sama.
"Jangan sampai bapak sama ibu tahu, ya, Sall."
Sally mendengkus. "Mau sampai kapan, Mbak? Apa Mbak punya rencana kembali lagi ke Surabaya? Kembali memaafkan Mas Bastian setelah apa yang ia lakukan?"
"Mbak memang perlu kembali. Kepergian ini demi mendinginkan suasana panas di antara kami berdua. Siapa tahu Mas Bastian akan merenungkan semua dan mencari Mbak lagi," kata Amara.
"Orang seperti Mas Bastian tidak akan pernah berubah. Sudah watak dia jadi lelaki kasar dan egois. Aku tidak terima dia memperlakukan Mbak seperti budak. Kalau Mbak mau kembali ke sana, aku akan ikut. Aku harus menemani Mbak Mara."
"Jangan, Sall," sanggah Amara. "Ingat kamu di sini punya pekerjaan baru yang menuntut tanggung jawabmu."
"Kalau begitu Mbak harus terbuka sama Bapak dan Ibu tentang perlakuan Mas Bastian," kata Sally.
"Mbak mengkhawatirkan kondisi mereka, terutama Bapak. Bapak, kan, punya riwayat darah tinggi, Sall."
Sally kemudian mengusap lengan Amara lembut. "Salah satu alasan Mbak ke Surabaya adalah untuk mengambil lagi dokumen-dokumen yang Mas Bastian sembunyikan. Titik. Dan alasan lainnya adalah untuk mengurus gugatan perceraian."
PRANG. Suara piring yang terjatuh ke atas ubin sontak membuat Amara dan Sally tersentak kaget. Mereka berdua menoleh dan menemukan Sulis yang berdiri dengan tubuh gemetaran. Ternyata sang ibu telah menguping pembicaraan sedari tadi.
"Bu!" seru Sally.
Amara menghambur menghampiri Sulis. "Ibu tidak apa-apa?" Ia memeriksa tangan dan kaki ibunya — khawatir ada pecahan beling yang melukai.
"Amara ..." Mata Sulis mulai menggenang. "Apa maksud Sally tadi? Perceraian apa ...?"
FORBIDDEN DESIRE SUDAH TAMAT DI KARYAKARSA !!!
Silakan cek di sana untuk baca lebih cepat, ya! Dukungan kalian berarti banget buat Ayana beli jajan. Thank You So Muchhh
-Ayana Ann
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top