42. Tanpa Amara

Amara dan Sally berbaring pada ranjang yang sama di dalam kamar. Waktu begitu larut ketika Amara dan Sally akhirnya memutuskan untuk tidur. Pembicaraan dan pelepasan rindu bersama Salman dan Sulis seolah tak kunjung habis. Beruntung Salman menyudahi obrolan agar putri sulungnya bisa beristirahat.

"Mbak," bisik Sally.

Amara memiringkan badan menghadap ke arah adiknya.

Dengan suara pelan, Sally pun melanjutkan, "Jadi siapa Bapak Keenan itu? Orang yang membantuku mendapatkan pekerjaan. Apa semua ini permintaannya Mas Bastian?" cecarnya.

"Pak Keenan ... memang bosnya Mas Bastian di kantor, Sall."

Mata Sally membulat. "Jadi betul Mas Bastian yang minta tolong ke bosnya supaya aku dikasih kerjaan sebagai asisten manajer?"

"Soal itu ..." Amara mendesah berat.

"Mbak kenal Bapak Keenan?" tanya Sally lagi.

"Aku mengajar les anaknya, namanya Julie," sahut Amara.

Sally berdecak keheranan. "Wah, rupanya Mbak dan Mas Bastian akrab dengan Pak Keenan itu. Dia sepertinya orang yang cukup berkuasa, Mbak. Pantas saja semuanya pada iri dan ngomongin aku di belakang."

"Kamu merasa tidak nyaman, Sall?" selidik Amara.

"Tadinya gitu, waktu aku tidak tahu." Sally terkikik. "Tapi setelah mengerti semuanya, aku justru merasa bangga. Punya kenalan bos besar."

Amara memandangi Sally penuh kebingungan.

"Zaman sekarang punya koneksi itu penting. Nah, koneksiku tak tanggung-tanggung, bos besar, lho, Mbak," kelakar Sally.

Amara menggelengkan kepala. "Jangan mengandalkan orang lain, Sall. Kamu harus tunjukkan kamu layak. Jangan sampai kamu mempermalukan orang yang menolong kamu mendapatkan posisi itu."

"Tentu saja, Mbak. Kalau soal itu aku sudah pasti akan berusaha keras. Aku juga kepingin kasih kehidupan yang enak buat bapak dan ibu."

Amara menggenggam jemari Sally. "Makasi, ya, Sall. Kamu malah harus mengemban tanggung jawab yang harusnya Mbak penuhi," ucapnya.

"Ih, Mbak ini apa-apaan, to? Jangan ngomong begitu. Bapak dan Ibu tidak minta apa-apa sama Mbak. Melihat Mbak bahagia dengan Mas Bastian saja mereka sudah bersyukur."

Raut Amara berubah lebih sendu. Ia mengembuskan napas panjang demi menghalau beban pikirannya.

Seolah menyadari hal tersebut, Sally kembali mencecar Amara. "Mbak? Onok opo? Ada yang Mbak rahasiakan dari kami?"

"Tidak ada, Sall." Amara berpaling.

"Kita dulu ada apa-apa selalu cerita, sekarang kenapa rahasia-rahasiaan segala?" buru Sally. "Mbak mungkin bisa sembunyikan semua dari Ibu dan Bapak. Tapi jujur, sudah lama perasaanku tak enak soal rumah tanggamu, Mbak."

"Bicara apa, to, kamu, Sall? Tidak ada apa-apa. Sungguh," kelit Amara.

Sally menelan saliva. Untuk beberapa detik ia terdiam. Dan wanita muda itu memutuskan membongkar semuanya.

"Ini kejadian sudah lama, Mbak. Aku tidak bilang pada siapa-siapa sampai hari ini," aku Sally. "Aku pernah telepon Mas Bastian karena bapak mengeluh kangen sama dia. Pas aku hubungi, Mas Bastian ngangkat dan malah marah-marah. Katanya, orang kampung sepertiku jangan berani telepon dia lagi. Dia sibuk kerja dan nggak ada waktu buat ngomong sama kami. Mas Bastian juga bilang jangan ngarep uang dari dia. Padahal aku tidak pernah sedikit pun minta uang sama Mas Bastian."

Amara terperangah. "Ya Tuhan, Sall." Ia begitu sakit hati atas perlakuan kasar Bastian pada keluarganya.

"Aku simpan rapat kejadian itu agar jangan sampai Bapak atau Ibu tahu. Mereka pasti kaget kalau dengar," ujar Sally. "Aku mencoba berbaik sangka — mungkin — Mas Bastian lagi ada masalah di kantor atau stres pekerjaan."

"Maaf, ya, Sall," ucap Amara berlinang air mata.

"Kenapa Mbak minta maaf? Mbak tidak salah."

"Tetap saja, Mbak ..."

Sally bergegas menyela, "Sekarang aku makin yakin kalau ada yang tidak beres dengan pernikahanmu, Mbak. Mbak datang ke mari sendirian tanpa ditemani suami. Sudah begitu ..." Kalimatnya tersendat. Ia lalu menelan pedih yang bercokol pada dadanya. "Penampilan Mbak terlalu sederhana untuk ukuran seorang istri manajer."

Amara terhenyak. Sementara Sally sekuat tenaga mengatur agar isaknya tak pecah.

"Aku sedih lihat Mbak Amara datang ke mari dengan tas lusuh. Satu pun tidak ada perhiasan menghias badanmu, kecuali cincin kawin. Mbak, temanku yang buruh saja punya lebih banyak perhiasan dibanding Mbak."

"Sall ..."

Sally tak lagi mampu membendung tangis. Ia sesegukan di samping Amara. "Mbak, kami pikir hidupmu bahagia di sana. Tapi aku selalu merasa ada yg tidak beres. Ada apa, Mbak?"

Amara menegakkan kepala. Mata wanita itu menerawang jauh seolah mengenang-kenang peristiwa menyakitkan yang telah berlalu.

"Mbak takut menceritakan yang sebenarnya pada Ibu dan Bapak. Apa lagi saat melihat cara Bapak ketika membanggakan Mas Bastian tadi. Mbak makin ragu," ujar Amara. "Rumah tangga Mbak memang sangat bermasalah. Dan Mbak ragu bisa kembali membenahinya."

***

Keenan berusaha menenangkan Julie yang tantrum di atas kasur kamar. Bocah enam tahun itu bereaksi sama seperti saat ia menemukan Nadira sudah pergi dari rumah. Berteriak - menangis, tanpa mau mendengarkan sang ayah.

Tadinya Julie menyusul Keenan ke ruang kerja demi memberikan hadiah buatannya. Sapu tangan bersulam inisial nama Keenan. Namun Julie justru terpaksa mendengar kenyataan pahit bahwa hari itu merupakan kali terakhir ia bertemu Amara.

"Pokoknya Julie nggak mau!" teriak Julie histeris.

"Julie, dengarkan Daddy bicara. Mau sampai kapan kamu menangis seperti ini?" kata Keenan frustrasi.

"Sampai Miss Amara datang lagi menemui Julie!"

"Guru lain banyak, Julie. Daddy bisa cari pengganti Miss Amara untukmu."

Tangis Julie makin kencang. "Miss Amara nggak bilang apa-apa sama Julie! Miss Amara bohong. Daddy juga bohong!" amuknya.

"Daddy bohong apa, Sayang?"

"Daddy pasti abis marahin Miss Amara seperti Daddy dulu marahin Mommy! Daddy sudah janji nggak akan marah-marah lagi. Daddy bohong! Julie benci Daddy!"

Keenan mengatur napas. Ia hampir kehilangan kesabaran jika mendengar nama Nadira kembali disebut.

Untuk kali ini — semua memang salahnya.

Amara jelas muak karena terpaksa bertemu dengan Keenan tiap selesai mengajar Julie. Salah Keenan karena tak bisa mengendalikan perasaan. Salahnya juga karena tak berhati-hati soal Sally dan bantuan kecilnya yang lain.

Keenan pun keluar dari kamar dan meminta Febi masuk menggantikannya. Governess yang sedari tadi menunggu di depan pintu pun bergegas mematuhi titah sang bos.

"Bujuk Julie untuk beristirahat," kata Keenan.

Febi mengangguk. "Baik, Pak."

Keenan bukan tak mau menemani Julie kala sang putri sedang bersedih. Tetapi semua yang ia lakukan akan percuma jika Julie memang memilih menutup hati.

Lelaki itu lalu mengeluarkan sapu tangan yang tadi dijatuhkan oleh putrinya. Sebuah inisial nama panjangnya yang disulam rapi — pasti oleh Amara.

"... jika Bapak terus menerus bersikap begini, aku tak lagi bisa meneruskan ini. Aku tak lagi bisa menjadi guru Julie."

Keenan mana sangka, Amara akhirnya memilih mengakhiri segalanya sekarang. Setelah semua kasih sayang yang ia kucurkan pada Julie, Keenan seolah enggan percaya Amara pergi. Ah, tapi memang begitulah wanita — datang menawarkan cinta lalu menghilang dan meninggalkan luka mendalam.

***

Bastian menahan pintu elevator yang hampir tertutup saat Keenan hendak masuk. Suasana kantor lumayan lengang karena jam masih menunjukkan waktu yang sangat pagi.

"Terima kasih," ucap Keenan tersenyum tipis.

Bastian mengangguk penuh kesopanan.

"Datang lebih awal, Pak?" tanya Keenan berbasa-basi.

Bastian meringis pahit. "Iya, Pak. Saya mencoba menjernihkan pikiran," jawabnya.

"Menjernihkan pikiran di kantor?" Keenan terkekeh.

Bastian berdeham.

"Ehm, maaf sebelumnya, Pak," kata Bastian. "Saya menduga Amara sudah menyampaikan pada Bapak seputar pengunduran dirinya."

"Ya, saya sudah terima itu," gumam Keenan. "Sayang sekali tetapi saya tak punya hak memaksakan Bu Amara untuk tetap bertahan."

"Saya pun sudah berusaha mengajaknya bicara, tetapi ia bersikeras mundur," imbuh Bastian. "Terjadi sesuatu dalam rumah tangga kami dan Amara memutuskan pergi dari rumah."

Keenan menoleh seraya terbelalak. "Maksud Bapak?" burunya.

"Ah. Maafkan saya karena membicarakan masalah pribadi." Bastian tertunduk seraya mengulas senyum pahit.

"Ada apa, Pak Bastian?" selidik Keenan. Ia mana sangka jika Amara ternyata angkat kaki dari rumahnya sendiri. Semua sangat membingungkan.

TING. Pintu lift terbuka di lantai tempat Keenan seharusnya turun.

"Silakan, Pak." Bastian kembali menahan pintu untuk sang CEO.

Merasa belum menemukan jawaban dari penasaran, Keenan pun mengajak Bastian agar mengikutinya.

"Masih terlalu pagi untuk memulai pekerjaan, bukan?" ucap Keenan. "Mari ke ruangan saya, Pak. Kita bisa ngopi sambil mengobrol."

Bastian sumringah. Ada berbagai strategi baru yang sudah ia siapkan demi menarik simpati Keenan. Salah satunya — membuat dirinya seolah korban.

Bastian luput akan satu hal; tentang perasaan Keenan yang memandang Amara lebih dari sekedar guru bagi putrinya, Julie. Sebuah fakta tersembunyi yang bakal membongkar segala kebusukan Bastian selama ini.

Bastian sedang menggali kuburannya sendiri.

Darlings! Terima kasih banyak untuk komentar² baik hati kalian untuk Forbidden Desire, ya! Aku terharu bangett, walaupun banyak yang kelewat aku balas 1 per satu 🖤🖤🖤

Kisah ini sudah tamat di Karyakarsa 🖤 Bagi kalian yang nggak sabar ingin baca lebih cepat, bisa cek ke sana, ya!

Ikuti juga works Ayana yang lain, KINKY, SUGARBABY, F3TISH, POLY, etc. Nggak kalah seru dan hotzzz-nya!

Salam sayang — Ayana Ann

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top