40. Mantan
Amara menutup pintu jati ruang perpustakaan, membiarkan dirinya terkurung bersama lelaki yang telah mengacaukan pikirannya. Mata Amara memerah - bukan tangis karena terharu atau bentuk terima kasih. Melainkan kekesalan dan sakit hati karena merasa disepelekan sebagai manusia.
"Soal Julie? Apa terjadi sesuatu?" tanya Keenan memecah sunyi.
"Sally." Ekspresi Amara geram.
Keenan menangkap ketidak-sukaan dari sorot wanita pujaannya. Ia sudah tertangkap basah. Musnah sudah harapan menjadi pahlawan rahasia.
"Sally?"
"Adik saya Sally. Apa betul Bapak campur tangan dalam urusan pekerjaannya? Bapak bersedia menanam investasi pada PT Kertas Jaya agar Sally diterima di sana? Menempatkan dia di posisi yang jauh dari kualifikasinya?" buru Amara.
Keenan memalingkan muka. Tak ia sangka ada seseorang bermulut bocor. Padahal ia sudah mewanti-wanti agar semua tertutup rapat menjadi rahasia.
Keenan mati kutu. Ia tak mampu memberikan sanggahan kepada Amara.
"Apa maksudnya?" buru Amara. "Apakah Bapak berharap bisa mengendalikan saya menggunakan uang dan kekuasaan yang Bapak punya?"
"Kamu salah paham!" sanggah Keenan.
"Lalu apa?"
"Kalau aku berniat mengendalikanmu, aku akan memamerkan semua padamu. Tapi aku tak melakukan itu, bukan?"
"Bapak hanya belum melakukannya! Bapak Keenan menunggu saat yang tepat, kan? Apa yang Bapak harapkan dari saya? Saya ini sudah menikah!" Amara setengah berteriak. Kedua alis wanita itu bertautan dengan mata menyala. Urat-urat pada lehernya pun menyembul penuh amarah.
"Aku sama sekali tak meminta apa pun dari kamu! Aku hanya ..." Keenan tergagu - tak lagi mampu meneruskan kalimat.
"Hanya apa?" desak Amara. "Hanya ingin menunjukkan seberapa berkuasanya Bapak?"
"Hanya ingin membuatmu bahagia!" sentak Keenan.
Mereka berdua saling beradu pandang. Keenan sadar betapa bencinya Amara pada dirinya. Tatapan wanita itu mengandung kedengkian. Keenan bukan lagi pahlawan, melainkan penjahat bagi Amara.
"Jangan bilang kalau mesin cuci itu juga ulahmu, Pak ..." Amara memundurkan langkah untuk menciptakan jarak lebih jauh. "Apa Bapak sangat mengasihani saya? Apa ini bentuk acara amal untuk kalangan kaya seperti Bapak?"
Keenan menggeleng dan berusaha mendekat. "Kamu salah, Amara! Tolong jangan mengambil kesimpulan sendiri."
"Saya tidak butuh ini semua!" Amara membuka pintu dan bersiap pergi.
"Amara!" Keenan mendorong daun pintu agar Amara urung keluar. "Aku tulus padamu!"
"Pilihlah wanita lain!"
"Amara!" Keenan menarik tubuh mungil Amara ke dalam pelukan. Ia mendekap wanitanya erat - tak peduli jika kelak api neraka jahanam akan melalap habis tubuhnya. Seorang lelaki penggoda istri orang.
"Lepas!" Amara meronta sambil menangis.
"Biar saja! Aku tak ingin kamu pergi. Aku tak sangka akan ada seseorang yang membocorkan ikut campurku pada Sally, adikmu. Sungguh, demi Tuhan! Aku tak ingin kamu tahu. Aku memang brengsek karena menguntit semua tentangmu, tentang keluargamu. Aku memang gila! Seorang lelaki yang jatuh cinta dan menderita karenanya."
"Lepas!" amuk Amara. "Jatuh cinta? Bapak bercanda, kan?"
"Kamu adalah wanita paling mengagumkan yang pernah kukenal. Aku tak berniat menghancurkan rumah tanggamu. Aku hanya ingin melakukan sesuatu untukmu. Cuma itu."
Aroma mint dari tubuh Keenan menusuk hidung Amara. Dekapan sehangat pelukan Julie tadi. Ayah dan anak sama - sama-sama menjebak hati Amara.
Keenan kembali melanjutkan, "Katakan padaku kalau bukan Bastian yang memukulimu. Mengakulah padaku."
"A-apa ...?"
"Bastian berbohong padaku, ia tak benar-benar melaporkan tindak penganiayaan yang dilakukan para pembobol rumah kalian," tukas Keenan. "Semua tidak ada, kan? Cuma skenario rancangan suamimu. Apa yang ia sembunyikan? Siapa yang tega memukulimu, Amara?"
"Lepaskan ..." Tenggorokan Amara mulai tercekat karena tangis. Semua kepiluan mendadak menyerang batinnya.
Pedih akibat perselingkuhan dan kekerasan yang ia terima. Baik fisik mau pun raga Amara ... hancur.
"Katakan padaku ..." Keenan tak lagi mendapatkan perlawanan dari Amara. Wanita itu bergeming dalam rangkulan.
"Untuk apa? Bukan urusan Bapak."
"Urusanku, karena hatiku telah memilih ikut denganmu. Dan ketika ada yang menyakitimu, aku tak akan mampu tenang."
Amara mendorong tubuh Keenan perlahan. Ia tertunduk. "Pak, saya sudah menikah. Ingatlah itu."
"Aku tahu. Aku tak memintamu untuk memilihku, Amara. Tapi jika seseorang yang seharusnya melindungimu justru menyakitimu, mana mungkin aku berpaku tangan?!" bantah Keenan.
"Berhentilah ikut campur lagi." Amara memandang Keenan dengan mata menggenang. "Aku sangat menyayangi Julie, tidak bohong. Dan jika Bapak terus menerus bersikap begini, aku tak lagi bisa meneruskan ini. Aku tak lagi bisa menjadi guru Julie."
Rahang Keenan mengeras.
"Aku pun tak bisa mengontrol ke mana perasaanku akan pergi. Namun kenyataannya hatiku memilihmu."
"Pak-"
Keenan buru-buru menyela. "Aku sudah bilang kalau aku tak berniat mengacaukan rumah tanggamu. Aku ikut bahagia jika Bastian merupakan suami yang baik untukmu. Tapi camkan ini, Amara. Aku akan membunuhnya jika dia berani menyia-nyiakanmu."
Amara menggeleng seraya terisak. Ia pun melengos dan membuka pintu. Wanita itu tak lagi bisa berlama-lama bersama Keenan. Ia sudah tak lagi percaya pada siapa pun.
***
Amara memandangi sapu tangan yang berisikan sulaman Julie. Sebuah bentuk hati dan bunga yang seolah terpatri juga pada relung Amara. Air mata wanita itu pun menggulir bebas pada pipi. Kemudian menitik jatuh dari dagunya.
"Mbak?"
Sapaan dari kernet Bus membuyarkan lamunan Amara. Ia bergegas membuka tas dan mengambil uang seratus ribu. Kemudian Amara menyerahkannya pada si kernet.
"Ke mana ini?" tanya kernet.
"Rembang, Pak."
Setelah pulang dari mengajar Julie, Amara pun pulang untuk mengambil pakaian. Ia membulatkan tekad ke Rembang - kembali pada keluarganya.
Tanpa KTP, ia bisa menaiki bus ekonomi dari terminal Bungurasih. Memang tanpa AC dan sedikit penuh sesak. Tapi Amara tak peduli.
Surabaya telah menorehkan luka di batin wanita itu. Tidak, bukan Surabaya, melainkan Bastian. Terlalu banyak kesakitan yang tak sanggup Amara jalani. Kehadiran Keenan pun turut andil mengacaukan hati Amara. Ia merasa sama jahatnya seperti Bastian. Amara diam-diam juga berkhianat. Ia juga menyimpan rahasia.
Satu-satunya pilihan hanya pergi.
Bayangan Julie berkelindan pada memori otak Amara. Senyum bocah mungil itu ketika menyorot Amara. Suara Julie, bahkan ekspresi marah muridnya itu. Amara sadar ketiadaannya akan menyakiti Julie.
Wanita itu lantas meremat sapu tangan bertanda sulam dari sang putri CEO erat. Maaf, Julie.
***
Pada salah satu unit apartemen mewah yang berlokasi di SCBD, Jakarta Pusat, Nadira terbangun dari tidur dengan kondisi pengar. Ada dua orang lelaki muda tidur di ranjang yang sama dengannya.
"Lo semua belum pada pergi?" sentak Nadira sambil memakai pakaian dalam yang berserakan.
Salah seorang lelaki yang berambut ash-gray menggeliat dan memegang kepalanya. Ia meringis. "Nanti dulu deh, Beb. Ini, 'kan masih pagi. Gue masih pusing banget."
Nadira melempar pakaian si lelaki. "Pagi pala lo! Ini sudah hampir sore!" Ia menunjuk jam pada dinding. "Bangunin si Kevin, suruh buruan minggat juga."
"Sadis banget sih, Nad. Semalam padahal enggak gitu."
"Semalam kita mabuk dan sekarang gue udah keinget lagi sama realitas!" sungut Nadira. "Lo tahu, kan, akhir-akhir ini gue sepi job. Nggak ada tawaran syuting serial atau pun iklan. Kalau gini terus, gue bakal kere."
Si lelaki berambut ash-gray meringis. "Kenapa pusing? Minta duitlah sama mantan suami lo yang tajir melintir itu!"
"Dia sudah kasih gue lebih dari cukup ketika cerai. Kita sudah enggak ada urusan lagi. Begitu yang tertulis di perjanjian." Nadira mendengkus.
"Alah. Perjanjian apaan? Selama masih ada anak, sampai kapan pun kalian masih terhubung."
Nadira terdiam. Perkataan membenarkan perkataan lelaki itu. "Iya juga, sih. Terakhir gue denger, Keenan pindah ke Surabaya juga demi memberikan Julie suasana baru. Sudah pasti dia kangen Mommy-nya, kan?"
"Iyalah! Anak lo pasti masih ngerengek cari-cari lo. Apa lagi, lo juga cerita kalau mantan lo itu bucin parah. Manfaatin aja. Duit dia banyak. Sekedar kasih lo, nggak bakal bikin dia miskin kales! Lo yang bego, kenapa nggak minta berapa persen dari sahamnya waktu cerai?"
"Ya nggak bisa! Kita waktu itu ada perjanjian pra-nikah. Dan gue yang jelas-jelas ketahuan selingkuh. Masih syukur Keenan kasih gue duit waktu itu." Nadira mengenang-kenang kesilapannya.
Si lelaki berambut ash-gray terkikik. "Nad ... Nad, emang lonya aja yang keterlaluan. Udah punya suami tajir masih aja bertingkah."
"Kehidupan bersama Keenan itu monoton. Boring!" Nadira mengempaskan badan ke atas ranjang.
"Emang lo aja yang hyper!" Lelaki itu beralih mencumbu pusar dan bagian dada Nadira.
Nadira menyeringai. Puluhan rencana mendadak memenuhi benak. Tidak ada perjanjian apa pun yang mampu memisahkan ikatan ibu dan anak. Ia bisa memanfaatkan Julie.
Lagi pula Nadira tahu betul sifat mantan suaminya. Lelaki itu begitu memuja Nadira - memberikan apa pun untuknya. Keenan pasti akan luluh dan bersedia menerima kedatangannya kembali. Tapi untuk kali ini Nadira harus berhati-hati. Ia tak boleh ceroboh lagi.
"Lo bener, Fik. Gue emang harus nyusul Keenan lagi. Nemuin Julie." Nadira mendesah berat ketika Fiko melepaskan celana dalamnya.
Lelaki itu lantas melebarkan kedua kaki Nadira. Menyerang bagian tersembunyi di antara paha menggunakan cumbuan lidahnya. Nadira pun memejam seraya mengerang nikmat. Pokoknya - ia harus meminta rujuk pada Keenan. Titik.
FORBIDDEN DESIRE sudah tamat di Karyakarsa. Silakan cek ke sana untuk baca lebih cepat 🖤🖤🖤
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top