38. Tunduk

"Apa yang kamu lakukan padaku adalah kekerasan, Mas." Amara mengusap cairan merah yang mengalir dari lubang hidung. "Kamu yang salah tapi kamu yang lebih mengamuk."

"Itu karena kamu tidak menurut padaku, Mar. Kamu selalu memprovokasiku!" dalih Bastian. "Aku ini sudah berusaha jadi suami baik buat kamu. Lelaki lain kalau tahu istrinya mandul pasti sudah kawin lagi."

"Silakan menikah lagi!" bentak Amara. Ia perlahan-lahan bangkit dan menegakkan badan. "Bukan cari wanita panggilan!" Air matanya menetes deras. "Apa aku pernah menolak saat kamu ajak berhubungan intim, Mas? Apa aku pernah mengabaikanmu tiap kali kamu pulang? Jangan beralasan aku mandul lalu membenarkan kamu menyewa wanita panggilan. Apa kamu bermaksud punya anak dari salah satu pelacur itu, huh?"

Bastian menarik lengan Amara dan menyeretnya mendekat. "Kamu jadi istri yang legowo, dong, Mar. Yang ikhlas. Jangan terlalu banyak menuntut. Terlalu banyak protes!"

Amara terisak. Tenggorokannya tercekat hingga tak bisa melontarkan kata-kata. Bastian keterlaluan. Ia sama sekali tak pernah menghargai semua yang telah Amara lakukan.

"Lihatlah! Hidungmu berdarah karena ulahmu sendiri. Kamu terlalu kasar jadi istri. Andai kamu membicarakannya baik-baik, aku pasti akan menjawab dengan baik." Bastian mendudukkan Amara di ranjang. Ia menyisipkan helai rambut Amara ke belakang telinga untuk menelisik wajah sang istri. Lelaki itu menyeringai - tidak ada yang memar, cuma mimisan biasa.

Bastian lalu mengambil tisu dan menyeka hidung Amara. Namun Amara memilih membuang muka.

Bastian menghela napas seolah dialah yang teraniaya. "Mar, aku ini lelaki. Wajarlah khilaf. Aku juga nggak akan main pelacur lagi. Mereka cuma pemuas rasa penasaranku. Tetap pada akhirnya aku kembali ke kamu. Jadi kamu jangan ada macam-macam. Nggak usah inisiatif melaporkan pertikaian kita sebagai KDRT. Kita ini bertengkar biasa - layaknya suami istri pada umumnya."

"Jadi kamu masih menganggap kamu ini tidak salah?" tanya Amara sembilu.

"Ya, salah. Namanya manusia memang tempat salah. Yang penting aku, kan, sudah janji nggak akan mengulangi."

Amara menyorot Bastian dingin. "Aku ingin pulang ke Rembang malam ini juga."

"Udahlah, Mar. Nggak usah ngaco ..." Bastian mendengkus seraya berkacak pinggang. "Aku udah minta maaf, lo. Kamu arogan banget ngalah-ngalahin malaikat."

Amara berdiri dari duduk dan kembali memasukkan pakaian ke dalam koper. "Aku bilang aku akan pulang ke Rembang, Mas. Titik."

"Kamu ini, ya ..." Bastian kembali gelap mata. Emosinya berkumpul di ubun-ubun tatkala sang istri membantah titahnya. Ia pun menjambak rambut Amara dan melemparnya ke ranjang. Bastian lantas mencekik leher Amara. "Masih mau melawan?!"

Amara meronta seraya berusaha melepas cengkeraman Bastian. Ia menendang-nendang sembari mencakar lengan sang suami. Tetapi sia-sia.

"Masih mau lawan?!" gertak Bastian melotot.

Mata Amara memerah karena sesak. Urat-urat pada wajahnya bermunculan seakan akan meledak. Ia pun menggelengkan kepala.

"Berhenti membantahku! Paham?"

Amara mengangguk takut.

Bastian menyeringai dan melepaskan cekikan. Ia langsung mengecup kening Amara penuh kasih sayang. "Gitu, dong, Sayang."

Napas Amara tersenggal-senggal. Ia pasrah ketika Bastian memeluk tubuhnya erat-erat. Kemudian membelai rambutnya seolah tak terjadi apa-apa. Kengerian menjalar meliputi sekujur tubuh Amara. Wanita itu tak lagi mampu membedakan mana khayalan dan realita.

Sedetik yang lalu Bastian hampir merenggut nyawa Amara. Lalu sekarang sang suami berubah mendekapnya mesra.

***

Amara mengaduk makaroni keju pada wajan dengan tatapan kosong. Bastian tiba-tiba memintanya keluar dari kamar untuk memasak mac & cheese. Amara sebenarnya enggan melakukan itu - lebih tepatnya tak ada tenaga. Namun ketakutannya pada Bastian memaksa untuk menurut.

Tabungan Amara memang sangat sedikit. Tak sampai lima juta. Itu pun ia kumpulkan dari hasil mengajar privat Julie. Meski begitu, nominal tersebut lebih dari cukup untuk Amara bertahan selama tinggal di Rembang. Amara tak lagi mampu tinggal satu atap dengan Bastian. Terlalu banyak kebohongan - terlalu banyak pengkhianatan.

Walau pun Amara sangsi kedua orang tuanya bakal mendukung keputusan untuk bercerai. Salman dan Sulis sangat memuja Bastian. Bagi mereka, Bastian adalah menantu sempurna. Idaman.

Apa lagi orang tua Amara masih tergolong kolot dan sangat menentang perceraian.

"Udah mateng, Mar?"

Amara mendadak tersentak. "Su-sudah." Ia buru-buru mematikan kompor dan memindahkan makaroni pada piring.

Bastian mengamati gerak-gerik Amara seperti elang pemangsa. Ia menyimpan seringai karena merasa sudah bisa mengendalikan istrinya.

"Besok jadi nonton?" tanya Bastian santai.

"Te-terserah, Mas," jawab Amara terbata. Ia meletakkan piring makanan ke hadapan sang suami. "Silakan."

"Thank you, Mara." Bastian mengambil sendok dan melahap makaroninya lahap.

Amara tertunduk. "Mas, aku naik ke kamar duluan, ya. Mau istirahat," katanya.

"Ya, nanti aku susul."

Amara lantas melangkah menuju lantai atas. Ia tidak benar-benar ingin tidur, melainkan melanjutkan packing. Nanti malam saat Bastian terlelap wanita itu akan pergi.

Sesampai di kamar, Amara pun membuka laci untuk mencari ijazah dan surat-surat berharganya. Ia berulang kali membongkar tumpukan buku dan map tetapi nihil. Amara yakin menyimpan semua di sana.

Ia lalu mencari dompet dan memeriksanya. Dugaan Amara benar - kartu tanda pengenalnya juga hilang.

Amara lantas terkulai di lantai sambil menahan getar tangis. Bastian selangkah di depannya. Bastian menang.

FORBIDDEN DESIRE sudah tamat di KARYAKARSA. Silakan cek di sana untuk baca jalur cepat sampai selesai.

Salam sayang!

Ayana Ann— Cucu Raja Salman


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top