36. Kebohongan Lain

Wijaya terpaksa menginjak tanah basah sisa hujan demi berlari ke mobilnya. Cuaca Surabaya sedang tak menentu - sebentar panas sebentar hujan. Seperti hari ini.

Lelaki itu mendengkus sembari melihat sepatu boots-nya yang kotor.

Wijaya lantas menutup pintu kendaraan dan menempelkan ponsel pada telinga. "Halo, Pak Keenan." Ia lantas berdeham untuk menetralisir parau akibat kedinginan. "Begini, soal kasus pembobolan rumah Bapak Bastian - tidak ada laporan mengenai kejadian itu, Pak. Dia tidak pernah datang mengunjungi kantor polisi. Dugaan saya, Pak Bastian berbohong."

***

Amara mengulum senyum. Ia merangkai kumpulan tangkai mawar pada vas kaca. Memindahkan bunga-bunga cantik pemberian Bastian agar tidak layu.

Setelah pertengkaran hebat tempo lalu, sikap Bastian memang berubah. Kehidupan rumah tangga mereka lebih harmonis dan hangat. Persis seperti saat awal menikah. Luciana benar - Bastian memang menyesal karena telah memukulinya. Ia membalas semua salah dengan menjadi suami baik sekaligus penyayang. Setidaknya itu yang Amara pikirkan.

"Kenapa di taruh di vas, sih, Sayang?" Bastian mengecup pipi Amara. Ia sudah rapi untuk berangkat ke kantor. "Kalau itu layu, aku akan belikan bunga-bunga yang lain."

Amara bergelayut manja memeluk pinggang Bastian. "Jangan, ah, Mas. Sudah cukup kamu membelikanku bunga."

"Terus kamu maunya kubelikan apa? Mau makan di restoran mewah nanti malam? Atau bagaimana?" tawar Bastian.

"Tidak usah, Mas." Amara menatap Bastian penuh kasih. "Cukup kamu selalu ada di sisiku saja."

"Ya, pastilah." Bastian mencubit gemas pipi Amara. "Emang aku mau ke mana kalau nggak sama-sama kamu."

Sudah satu minggu berlalu semenjak kunjungan Keenan dan Julie ke rumah. Memar dan bekas kebiruan Amara sudah memudar - hampir sembuh. Fisik wanita juga sudah siap untuk mengajar lagi. Namun, hatinya yang belum.

Bastian meletakkan tas kerja dan ponsel ke atas meja makan. Ia pun duduk untuk menyantap sarapan yang disiapkan Amara. "Oh, ya, kapan kamu ngajar lagi, Mar?" tanyanya.

"Minggu depan mungkin." Amara memalingkan wajah.

"Iya, bagus. Lebih baik jangan kelamaan cuti. Kasihan Julie," ucap Bastian. "Lagian, semenjak kamu jadi gurunya, perlakuan Pak Keenan padaku sangat baik. Dia bahkan menyebut kita sebagai keluarganya."

"Ehm." Amara mengangguk.

Bastian lalu menoleh kiri kanan demi mencari sesuatu.

"My God!" decih Bastian. "Aku lupa tabletku di kamar. Untung inget!"

"Aku ambilkan, Mas." Amara beringsut bangun.

Bastian menahan sang istri. "Nggak usah, Sayang. Aku ambil sendiri saja."

Amara urung pergi. Ia mengekori punggung Bastian yang menaiki tangga menuju lantai atas. Bibir wanita itu tersungging. Bahagia rasanya memiliki rumah tangga seharmonis sekarang.

Ting.

Ponsel Bastian yang terletak di hadapan Amara mendadak berdenting. Sebuah notifikasi pesan.

Amara jarang - tak pernah bahkan - mengecek atau meminjam ponsel Bastian. Namun entah kenapa kali ini ia sangat penasaran melihat siapa pengirim pesan kepada suaminya. Mata Amara melirik sepintas. Tampak pop up pesan muncul di layar.

[ Layanan Short-Time. Besok jam 12 di hotel majapahit sesuai yang Bapak minta. Je ]

Jantung Amara bergemuruh. Besok adalah hari Sabtu dan Bastian seharusnya libur. Apakah ia ada urusan pekerjaan? Mewajibkannya meeting di hotel? Tapi Bastian tidak bilang apa pun. Lalu ... Short-Time? Apa maksudnya?

Derap langkah Bastian terdengar mendekat. Amara buru-buru meraih mug berisi teh hangat dan meminumnya.

"Ketemu, Mas?" Amara tersenyum.

Bastian mengangkat tabletnya. "Ketemu, dong." Ia lalu kembali duduk dan melanjutkan makan.

"Mas." Amara berdeham. "Besok kamu ada rencana apa? Jalan, yuk. Nonton gitu ...?"

Bastian mengernyitkan dahi. Ia tampak sedang menimbang-nimbang. Lelaki itu lalu mengambil ponsel dan meliriknya sekilas. Ada tarikan tipis terbentuk di bibir Bastian.

"Minggu aja, ya. Besok aku ada lembur, Sayang. Biasa - menjelang awal bulan selalu ada target baru."

Amara mengangguk. "Boleh. Minggu aja, ya. Wah aku udah nggak sabar jalan-jalan ke mal sama kamu. Sudah lama, bukan?"

"Iya. Maaf, ya, Sayang."

"Nggak apa-apa. Kamu, kan sibuk, Mas. Aku maklum," sahut Amara. "Ngomong-ngomong ... lemburnya di kantor?"

"Iyalah," jawab Bastian. "Emang mau di mana lagi."

Gigi Amara bergemeretak. Ia sebisa mungkin bersikap tenang. "Mau kubuatkan camilan buat kamu nikmati bersama teman-teman kantor?" tawarnya.

"Nggak usah repot, Sayang. Kita ada anggaran buat makan, kok. Mending kamu istirahat supaya nggak terlalu capek, ya."

"Iya."

Amara tak lagi mampu meneruskan sarapan. Ia yakin Bastian masih menyembunyikan sesuatu.

***

Amara teringat dulu memiliki teman yang ibunya merupakan korban kekerasan dalam rumah tangga. Teman semasa masih duduk di bangku perkuliahan. Tak hanya sang ibu, temannya pun kadang menjadi sasaran amukkan si ayah.

Amara pernah bertanya mengapa ibunya tetap bertahan. Bukankah sebaiknya bercerai saja?

Sang teman berkata tingkah laku ayahnya selalu berubah lebih romantis setelah melakukan kekerasan. Menyesal - meminta maaf - lalu orang tuanya pun kembali akur. Namun itu seperti fase berulang yang berputar-putar tiada henti. Bak lingkaran setan.

Amara tak menyangka kini ia terjebak dalam lingkaran setan yang sama. Sebisa mungkin Amara menghalau semua ketakutan dan cemas. Tidak. Bastian memang menyesal. Suaminya sungguh-sungguh meminta maaf atas segala perbuatannya.

Layanan Short-Time. Besok jam 12 di hotel majapahit sesuai yang Bapak minta. Je

Bisa saja pesan itu merupakan bagian dari kepentingan pekerjaan Bastian di kantor. Amara tak seharusnya terus menerus menyimpan kecurigaan.

Tapi 'short-time'? Amara tidak dungu. Itu adalah istilah dari hubungan berdurasi pendek yang biasa ditawarkan oleh pekerja seks komersial.

***

"Mas," bisik Amara yang menyandarkan kepala pada dada Bastian. "Kamu besok lembur sampai jam berapa?"

"Sore mungkin, Mar. Kenapa?" Bastian fokus memainkan ponsel - ia terlihat mengetik balasan surel kantor.

"Aku pengen relaksasi di spa, boleh nggak?"

"Bolehlah. Nanti aku transfer ke rekeningmu," kata Bastian.

"Cuman aku takut saat kamu pulang aku masih belum selesai. Spa, kan, biasanya lama. Apa lagi kalau treatment seluruh badan."

Bastian mengecup puncak kepala Amara. "Tidak apa-apa. Kamu me time aja. Kalau aku pulang duluan, ya, nggak masalah."

"Sungguh?"

"Iya, Sayang." Bastian kembali mengalihkan atensi pada gawainya.

Amara tetap menempel di tubuh sang suami. Ia bukan sedang bersikap manja melainkan penasaran dengan kata sandi ponsel Bastian. Hanya ada satu cara menuntaskan semua kegalauan - yaitu memeriksa telepon genggam suaminya untuk mencari tahu siapa itu Je.

Sial bagi Amara karena Bastian ternyata enggan memainkan ponsel lagi. Ia mematikan layar dan bersiap tidur. Bastian lantas meletakkan ponsel pada nakas.

Amara tak kehabisan akal, ia mengambil gawainya sendiri dan mengirim sebuah video lucu ke akun Bastian. "Mas kamu udah lihat DM yang kukirim?" pancingnya.

Bastian menggeleng. Ia merebahkan kepala di bantal. "Belum."

"Lihat, dong. Lucu banget!"

"Besok aja, ya. Aku ngantuk." Bastian memejamkan mata.

"Ayo, dong, Mas. Lihat bentar, aku nggak mau ngakak sendirian," desak Amara.

"Mana lihat dari ponselmu," pinta Bastian.

Amara terkesiap. "Aku kirim banyak video. Coba kita lihat lewat hape-mu aja." Ia memanjangkan tangan untuk meraih ponsel Bastian. Wanita itu lalu menyodorkannya.

Bastian terlihat sedikit kesal. Namun ia menerima pemberian Amara. Lelaki itu lantas menyalakan layar dan mengusap kombinasi pattern lock.

Amara menajamkan pandangan - mengingat pola password pada gawai Bastian. Ia bersyukur suaminya tak menggunakan fitur sidik jari.

"Mana? Kamu cuma kirim satu, Mar?" sungut Bastian.

"Oh iya-ya?" Amara terbelalak. "Kayaknya aku lupa. Tapi lucu, kan?"

"Biasa aja!" Bastian bersungut-sungut mengembalikan ponsel ke atas meja. Ia lalu menarik selimut dan membelakangi sang istri.

Amara ikut berbaring. Pelan-pelan ia mengembuskan napas lega karena Bastian sama sekali tidak curiga. Sekarang Amara hanya perlu menunggu sampai suaminya tertidur lelap.

***

Saat yang dinanti Amara pun datang - Bastian terdengar mendengkur pelan. Tetapi Amara belum berani mengambil resiko, ia terbatuk-batuk untuk mengecek tingkat kesadaran suaminya. Dan Bastian tetap pulas. Wanita itu juga membalikkan badan kiri-kanan secara kencang. Bastian tetap bergeming.

Amara lantas menuruni kasur dan berjingkat menuju nakas di sisi Bastian. Jantung Amara berdebar bukan main.

Ia membuka kunci layar ponsel Bastian dengan hati-hati. Amara bergegas mengecek kotak pesan sang suami. Netranya terbelalak. Pesan dari 'Je' sudah dihapus. Hilang tak berjejak.

Untuk apa Bastian menghapus pesan itu? Bahkan riwayat pesan tidak penting dari tukang galon perumahan mereka saja masih bertengger di sana. Jelas ada sesuatu!

Amara enggan menyerah, ia membuka kontak untuk mencari nomor si Je. Jemarinya mengetik inisial J pada layar. Syukurlah Amara berhasil menemukannya. Nomor itu tersimpan dengan nama 'Je - Sesil'. Ia pun gesit menyimpan nomor tadi pada ponsel miliknya.

Setelah memastikan semua beres, Amara kemudian mengembalikan gawai Bastian pada tempat semula.

Besok - ia akan tahu kebenaran sesungguhnya.

FORBIDDEN DESIRE sudah tamat di Karyakarsa. Silakan melipir ke sana buat kasih dukungan ke Ayana 🖤🖤🖤

Thank you . Jangan lupa votes dan kasih komen kalian yang banyak ya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top