35. Kecurigaan

Amara membuang muka.

"Benar bukan?" buru Keenan lagi. "Ada apa dengan wajahmu?"

"Apa maksud Bapak? Saya jatuh dari tangga. Berulang kali berguling menghantam anakannya," jawab Amara.

"Lalu kenapa menyembunyikannya dengan riasan segala? Kenapa tidak ada bekas memar pada tanganmu sama sekali?" Keenan mendesak dengan mata berkilat.

"Terima kasih untuk perhatiannya, Pak. Terima kasih sudah menjenguk saya. Saya akan kembali mengajar minggu depan." Amara enggan melanjutkan pembicaraan.

Keenan mendengkus dan berlalu pergi. Ia berpikir bisa menemukan pernyataan lain dari Bastian.

Di lantai bawah, Keenan menemukan Julie sedang asyik makan biskuit di dapur. Sementara Bastian tampak menemani putri kecilnya itu. Lelaki itu ramah dan mampu mengakrabkan diri dengan Julie. Pemandangan berbeda saat ia mabuk.

"Pak Bastian, maaf saya dan Julie jadi merepotkan," sapa Keenan.

"Oh, Pak?" Bastian menegakkan punggung. "Sama sekali tak merepotkan. Benar kata Amara, Julie adalah anak yang pintar dan kritis. Dia banyak melontarkan pertanyaan yang cerdas kepada saya tadi."

"Benarkah?" gumam Keenan tersenyum. Ia lalu terdiam untuk mengambil jeda. Menatap Bastian dengan tatapan mengintimidasi. "Soal Bu Amara, dia tak seperti orang yang terjatuh dari tangga."

Bastian mendadak gelagapan. "Amara mengatakan sesuatu?" tanyanya.

"Tidak." Keenan menggeleng. "Cuma asumsi saya pribadi."

"Istri saya memang terpeleset dari tangga. Saya rasa kepalanya yang menghantam ubin duluan."

"Bukan dipukuli?" sela Keenan.

Bastian terkesiap. Ia memalingkan muka dan menghindari kontak mata. Ekspresi Bastian tertangkap jelas oleh Keenan - membuat ia yakin akan dugaannya.

"Pak Bastian," kata Keenan lagi. "Saya bukan mau ikut campur, tetapi jika ada yang tak beres - saya bisa bantu." Ia tersenyum untuk meredakan atmosfer kaku. "Bukankah ... kita sudah seperti keluarga?"

Bastian membalas tatapan Keenan.

"Se-sebenarnya ... rumah kami kerampokan dan dia memukuli Amara," aku Bastian.

"Apa?!" Suara Keenan bergemuruh menyentak Bastian. Hal yang membuat Julie menoleh dan menatap ayahnya penuh takut.

"Mungkin, mereka berpikir kalau rumah ini kosong, tak menduga ada Amara. Lalu karena panik mereka menyerangnya dan kabur," terang Bastian.

"Bapak sudah melapor ke polisi? Saya punya kenalan yang bisa membantu," ujar Keenan.

"Su-sudah, Pak." Bastian kembali berbohong.

"Akan lebih cepat menemukan pelakunya jika punya rekaman CCTV."

"Saya sudah menyerahkan semua bukti pada pihak berwajib." Bastian menarik kedua sudut bibir ke atas hingga menciptakan lengkungan. "Terima kasih untuk perhatiannya. Sungguh senang karena Bapak menganggap saya dan Amara adalah keluarga."

Keenan mengangguk. "Ya."

Hati lelaki itu penuh amarah. Ia ingin segera menemukan pelaku pembobolan rumah Bastian dan Amara. Penjahat yang telah menyebabkan wajah wanita pujaannya babak beluk. Bajingan yang Keenan pastikan akan membusuk di penjara.

"Julie," panggil Keenan. "Naiklah dan berpamitan pada Miss Amara. Kita pulang."

Raut Julie berubah kecewa. "Kok cepat sekali, Dad? Julie baru ketemu sebentar."

"Miss Amara masih sakit. Butuh banyak istirahat," jelas Keenan.

Bibir Julie mengerucut. Meski begitu ia tetap menuruti titah Keenan.

"Ayo, Om Bastian, temani Julie naik ke atas untuk pamitan."

Bastian menggandeng Julie sumringah. "Yuk."

***

Seorang lelaki berusia empat puluhan duduk santai seraya menyesap segelas bourbon. Ia kembali mengisi rock glass-nya ketika cairan wisky itu habis. Kemudian mengusap kumis lebat yang sedikit basah oleh alkohol. Ia lantas tersenyum saat melihat Keenan akhirnya muncul.

"Lama menunggu, Pak Wijaya?" sapa Keenan.

Wijaya menggeleng. "Tidak." Ia berdiri dan menyalami tangan Keenan. "Saya harus minta maaf karena menikmati wisky enak ini tanpa meminta izin terlebih dulu pada pemiliknya.

"Oh, tidak!" Keenan terkekeh. "Saya memang menyediakan itu untuk tamu. Silakan, nikmatilah sepuas Bapak. Asal jangan sampai mabuk dan tak bisa pulang," ledeknya.

Tawa Wijaya pecah. Lelaki itu pun kembali duduk ketika Keenan merebahkan badan pada sofa chesterfield-nya.

Tadi Wijaya mendapat telepon mendadak dari sang CEO. Meminta bertemu segera di kediamannya. Tampaknya ada sesuatu yang cukup mendesak untuk Wijaya lakukan lagi.

"Ada perlu apa Bapak memanggil saya?" tanya Wijaya.

Keenan mengusap pelipis untuk meredakan pening. "Hmm, soal Bastian," sahutnya.

"Lelaki yang kapan hari saya selidiki itu, bukan?"

"Ya." Keenan mengangguk. "Dia bilang ada segerombolan pencuri membobol rumahnya. Kemudian melakukan penganiayaan pada istrinya."

"Lalu?"

"Seingat saya, Bapak pernah bercerita kalau Bapak memiliki banyak teman di kepolisian. Bisakah Pak Wijaya membantu saya menemukan pelakunya?" pinta Keenan.

Wijaya meringis.

Lelaki itu tidak hanya memiliki banyak teman di kepolisian - melainkan pernah menjadi bagian di dalamnya. Bekerja sebagai intel selama beberapa tahun sampai tersandung masalah penyalah-gunaan obat terlarang. Wijaya pun dipecat tak hormat. Menyesal dan meratap akan kesembronoannya.

Namun life must go on - kini bayarannya sebagai seorang detektif swasta melebihi gaji saat menjadi intel. Bagaimana tidak, para pebisnis atau artis akan mengeluarkan uang setidaknya 50 sampai 300 juta demi jasanya.

Yah ... meski detektif swasta kalah prestige karena belum memiliki payung hukum. Keberadaan orang-orang seperti Wijaya bak bayangan. Dicari namun malu untuk diakui.

"Saya bisa melakukan itu. Bicara pada kantor polisi terdekat dari kediaman mereka," kata Wijaya.

"Saya rasa ini akan mudah karena Bastian mengaku memiliki rekaman CCTV. Ia sudah menyerahkannya pada pihak berwajib sebagai bahan penyelidikan," imbuh Keenan.

Wijaya tersungging. "Ya, bukti tersebut memang bakal memudahkan pekerjaan saya." Ia lantas kembali meneguk bourbon berwarna cokelat keemasan itu. "Tapi boleh saya tahu mengapa tak menyerahkan penyelidikan sepenuhnya pada polisi?"

"Terlalu lama," sahut Keenan.

Wijaya kembali terbahak. "Bapak sangat tak sabar menemukan pencurinya? Kenapa demikian? Kalau boleh saya tahu - apakah Bastian ini sangat dekat dengan Bapak? Sepertinya dia adalah lelaki yang sangat berguna dan berjasa di perusahaan?"

Wijaya hanya berpura-pura. Sebagai seorang penyidik - ia sadar ketertarikan Keenan bukan pada Bastian, melainkan Amara. Hanya saja akan tidak pantas menyebut hal tersebut secara gamblang. Wanita itu sudah bersuami.

"Ya, mungkin," jawab Keenan. "Ia dan istrinya cukup dekat dengan saya."

"Karena istrinya juga bekerja sebagai guru les Julie?"

Keenan terkekeh. Ia memandang Wijaya dengan tatapan tajam. "Oh, saya tidak mengira Pak Wijaya akan menyelidiki tentang itu juga."

"Maafkan saya. Hal itu tidak saya ketahui saat menjadi informasi tentang keluarganya di Rembang," kelit Wijaya.

Keenan mengangguk. "Pak Wijaya," katanya dingin. "Bapak boleh saja selangkah lebih maju dari saya. Tapi saya berharap Bapak tidak lupa dengan siapa Bapak bekerja. Dan untuk apa Bapak bekerja."

"Baik, Pak." Wijaya berdeham salah tingkah.

"Tolong lalukan apa yang saya minta segera, secara rahasia," titah Keenan.

"Apa yang harus saya lakukan saat menemukan pelaku pembobolan itu?" tanya Wijaya lagi.

"Jembloskan mereka ke penjara. Atur serapi mungkin sampai mereka membusuk lama di sana." Rahang Keenan mengeras.

Ia tak lagi mempu menjabarkan perasaannya pada Amara. Benarkah semua hanya sebatas platonik semata? Atau kini berubah menjadi sebuah obsesi yang perlahan-lahan membakar jiwanya sendiri.

Forbidden Desire sudah tamat di Karyakarsa.

Bagi yang penasaran sama kelanjutan Amara, Keenan, dan Bastian, bisa melipir ke sana untuk baca jalur cepat. Thank you buat vote serta komen kalian 🖤🖤🖤

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top