34. Penolakan

Amara menatap Bastian penuh ketidak-percayaan. Ia menggelengkan kepala sangsi.

Apa Bastian sudah kehilangan akal? Mengundang Keenan datang untuk memamerkan 'hasil karya' yang ia buat? Mempertontonkan wajah Amara yang masih kacau karena bengkak dan lebam.

"Mas, kenapa kamu memperbolehkan Pak Keenan datang?" tanya Amara panik.

"Aku bingung. Aku sungkan menolak dia," jawab Bastian tak kalah frustrasi.

Amara menunjuk wajahnya di depan Bastian. "Bagaimana kamu akan menjelaskan ini padanya? Huh?"

"Aku udah bilang kalau kamu jatuh dari tangga."

"Mas, jatuh dari tangga tidak seperti ini," sanggah Amara.

Bastian meraih lengan Amara dan memandang sang istri penuh harap. "Kamu bisa melakukan sesuatu, kan, Mara? Menutupinya dengan riasan atau bagaimana? Aku tak mungkin menolak permintaan Pak Keenan. Terlebih dia bilang kalau anaknya Julie merindukanmu."

"Julie ...?" Ekspresi Amara melunak. Ya, dia juga sangat merindukan Julie. "Aku coba menutupinya dengan riasan, Mas. Semoga saja bisa."

Bastian mengecup dahi Amara. Tindakan yang membuat sang istri meringis sakit akibat paras membengkak.

"Kamu memang bisa kuandalkan, Sayang. Thank you, ya."

"Sama-sama, Mas."

***

Amara menuruni undakan tangga pelan-pelan. Ia sudah melakukan semaksimal mungkin demi menyamarkan muka yang kebiruan. Mengoles concealer dan foundation bertumpuk di sana. Meski tetap saja hasilnya menjadi sangat ganjil.

Ia mengamit rok maxi berwarna peach yang dikenakan agar tidak mengganggu langkah. Kardigan putih membalut tubuh langsing Amara. Mempertegas berat badan yang kian susut.

"Lho?! Kamu kenapa turun?" Bastian mengintip dari balik dapur.

"Bukankah Pak Keenan dan Julie akan datang, Mas?"

Bastian menghampiri Amara. "Kamu, kan, jatuh dari tangga. Jadi gerakanmu terbatas dan lebih banyak berbaring di ranjang." Ia menggandeng istrinya agar kembali naik. "Ayo kita ke kamar."

"Ta-tapi, Mas?"

Pasti akan aneh ketika Amara terpaksa menerima Keenan di kamarnya. Bahkan ia belum mempersiapkan hati untuk bertemu lagi dengan lelaki itu. Lelaki yang memagut bibirnya penuh intimacy. Ciuman terlarang yang mendapat balasan dari Amara sendiri.

Bastian menyelimuti badan Amara. Ia memperlakukan istrinya seperti bayi. Menelisik setiap jengkal wajah Amara yang tertutup make up. Memastikan Keenan tak curiga.

"Sayang, kamu sangat cantik." Bastian meraih jemari Amara dan mengecupnya.

Amara menarik kedua sudut bibir ke atas. "Terima kasih, Mas." Senyum keterpaksaan.

Cantik? Wajah bonyok begini Bastian bilang cantik?

Bastian mendekati Amara. Ia melayangkan ciuman penuh gairah pada bibir sang istri.

Amara memalingkan muka seraya menahan pedih. "Mas, maaf, bibirku masih nyeri kalau disentuh."

"Ah, ya. Aku paham." Bastian tersungging. "Aku janji setelah kamu sembuh total nanti, kita akan jalan-jalan ke tempat yang kamu mau. Kamu mau ke mana? Malang? Bali? Bandung?"

"Rembang," sahut Amara. "Kita mengunjungi ibu sama bapak di Rembang, yuk, Mas. Aku rindu sama mereka."

Bastian mendecih seraya beranjak. "Itu namanya bukan jalan-jalan tapi silaturahmi. Nanti ajalah pas lebaran. Ya?"

"Lebaran tahun depan, Mas?" tanya Amara sumringah.

Bastian mengangguk.

"Makasi, ya, Mas." Amara merengkuh Bastian dalam pelukan.

Bastian menengok seolah mendengar suara di depan rumah mereka. "Mar, sepertinya mereka datang. Bersiap, ya."

"I-iya." Amara meneguk ludah kasar. Entah apakah ia sanggup beradu pandang dengan lelaki bermata pekat itu.

***

"Miss, halow ...?" Kepala Julie mengintip pada ambang pintu kamar.

Amara menegakkan punggung seraya tersenyum lebar. Mata wanita itu berkaca-kaca dengan sendirinya.

"Julie, sini masuk!" kata Amara.

Julie seketika berlari. Ia melebarkan kedua tangan dan memeluk Amara erat. Keduanya saling menyalurkan kerinduan yang telah lama terpendam. Amara terpejam dan mengendus wangi strawberry dari rambut Julie. Aroma yang sanggup memberinya ketenangan.

"Miss, sakit apa?"

"Miss ..." Amara melirik sosok Keenan yang berjalan di sebelah Bastian. Jantung wanita itu sontak berdegup lebih cepat. "... jatuh dari tangga," sahutnya.

"Kasihan sekali. Lain kali hati-hati, ya, Miss," ucap Julie bak orang dewasa. Ia mengelus-elus kaki Amara yang berbalut selimut.

"Malam, Bu Amara," sapa Keenan dengan suaranya yang berat.

"Malam." Amara tertunduk.

Bastian menarik kursi pada meja rias. "Mari, Pak Keenan, silakan duduk di sini. Amara belum saya perbolehkan turun - naik tangga. Makanya dia lebih banyak di kamar."

"Ya, memang sebaiknya begitu." Keenan menerima kursi yang Bastian sodorkan. Ia lantas tersenyum. "Terima kasih," kata lelaki itu. Keenan pun duduk seraya menatap Amara.

Bastian mengambil tempat di sisi ranjang. Persis di samping sang istri. Ia lalu mengalungkan lengan pada pundak Amara dan memeluk istrinya mesra. "Saya hanya berharap dia lekas pulih."

Dada Keenan serasa terbakar. Dia sadar sudah tak tahu diri. Buat apa cemburu pada lelaki yang jelas-jelas pasangan sah Amara.

Perhatian lelaki itu mendadak teralihkan. Wajah Amara membengkak dengan rona kebiruan di sekitar area matanya. Seolah wanita itu baru saja keluar dari arena tinju. Dipukuli habis-habisan.

"Selama Miss tidak datang, apa Julie masih terus melukis?" tanya Amara.

Julie mengangguk. "Masih, dong. Tapi tanpa Miss, rasanya nggak seru. Mbak Febi gambarnya jelek. Cuma bisa bikin pantai yang pohon kelapanya mirip tulang ikan."

Amara terkikik. Begitu pula dengan Bastian.

"Astaga, kamu lucu sekali." Bastian mencubit hidung Julie. "Kelas berapa, Julie?"

"Tahun depan Julie mau masuk SD, Om."

"Oh, jadi masih TK besar? Tapi sudah pintar, ya," puji Bastian.

Julie berkernyit. "Om namanya siapa?" tanyanya.

"Bastian. Panggil Om Bastian saja," kata Bastian.

"Om Bastian ini suaminya Miss Amara?" tanya Julie lagi.

"Iya." Raut Bastian ramah.

"Terus mana anaknya? Bukannya kalau suami istri pasti punya anak?"

Keenan bergegas menyela. "Julie!" tegurnya.

"Kenapa, Dad?" Julie mengernyih.

Bastian mengusap puncak kepala Julie. "Betul-betul anak yang cerdas. Ya, anak Om Bastian dan Miss Amara belum ada. Belum dikirimkan oleh Tuhan."

Amara membuang muka. Ia sekuat tenaga menyembunyikan ekspresi getir. Bastian sebenarnya suami yang baik. Amara dulu memilihnya karena lelaki itu selalu ramah pada siapa pun. Bastian juga selalu bertutur kata santun dan sopan.

Jawaban Bastian pada Julie menyesakkan dada Amara. Andaikan Bastian tahu kalau ia memiliki masalah kesuburan - ia pasti hancur. Sekarang Amara semakin yakin bahwa keputusannya berbohong memang benar. Luciana tidak salah.

Keenan lagi-lagi menangkap perubahan raut Amara. Ia teringat soal racauan Bastian saat mabuk. Apa itu benar?

"Dad, aku haus." Julie membuyarkan hening.

Bastian terhenyak. "Ah! Ini salah Om karena tidak menghidangkan minuman dan camilan untuk tamu."

"Camilan?" Mata Julie berbinar.

"Kenapa?" selidik Bastian. "Julie mau camilan? Om punya banyak di dapur."

Julie mengalihkan tatapan ke arah Keenan. "Daddy, boleh, nggak?" Ia mengiba.

"Mas, Julie tidak boleh makan sembarangan," bisik Amara pada Bastian.

Bastian mendadak salah tingkah. Maksud hati mengambil hati bosnya, tetapi sepertinya apa yang ia lakukan justru membuat Keenan sebal.

Keenan mengangguk. "Iya, Julie tidak apa-apa. Asal jangan merepotkan Pak Bastian."

"Yeai!" Julie melonjak girang.

Bastian bangun dan bergegas menemani Julie turun. "Ya sudah, yuk, Julie."

"Mas?" Amara gelisah karena bakal berdua saja dengan Keenan.

Bastian seolah tuli. Ia menggandeng tangan Julie seraya melenggang keluar. "Mohon tunggu sebentar, Pak," ucapnya.

Suara girang Julie perlahan-lahan memudar. Meninggalkan atmosfer menegangkan bagi Keenan dan Amara.

Keenan sadar Amara tak nyaman. Ia pun berdiri dari duduk. "Aku akan menyusul Julie ke bawah."

"Ya, silakan," jawab Amara lirih.

"Amara," panggil Keenan. "Maaf."

Amara bergeming membisu.

"Maaf soal tempo lalu. Aku memang lelaki bajingan. Aku tak akan mengulanginya lagi. Maaf - maafkan aku."

Amara masih mematung.

"Katakan padaku kalau kamu tak akan mengundurkan diri. Julie sangat membutuhkanmu. Ia akan kembali patah hati jika kamu meninggalkannya," lanjut Keenan.

Amara menyeringai perih. "Bapak hanya memikirkan kepentingan pribadi," sahutnya.

"Ya - mungkin. Tetapi ada satu alasan lagi," kata Keenan.

"Apa? Terlalu merepotkan mencari guru pengganti untuk Julie?"

"Bukan." Tatapan Keenan selembut butir salju. "Aku juga akan patah hati ketika kamu pergi."

Amara menggertakkan gigi. "Berhentilah begini!" sentaknya. "Apa karena Bapak adalah bos Mas Bastian, Bapak jadi semena-mena merayuku? Apa ini? Sekedar hobi orang kaya?"

"Perasaanku padamu tulus. Dan aku tak ada niatan untuk menggodamu, Amara."

Amara berpaling. "Bapak bilang tadi mau menyusul Julie." Ia enggan melanjutkan pembicaraan.

Keenan menghela napas. Ia pun melangkah pergi. Namun ia berhenti ketika mencapai ambang pintu.

"Kamu membalas ciumanku, Amara. Kamu juga menginginkan itu."

Amara tersentak. Ia berusaha memasang wajah datar dan menyembunyikan emosi.

"Dan satu lagi, Amara," ucap Keenan. "Kamu tak terjatuh dari tangga."

Amara menoleh. Kini mata mereka saling beradu.

Keenan kembali melanjutkan, "Aku bukan bocah enam tahun yang bisa kamu bohongi. Wajahmu memar dan lebam. Sementara sekujur lenganmu tampak baik-baik saja. Sungguh aneh kamu berusaha keras menutupi itu menggunakan riasan. Kamu jelas menyembunyikan sesuatu. Dan aku tak akan tinggal diam."

Forbidden Desire sudah tamat di Karyakarsa. Silakan baca lewat sana dg harga lebih murah 🖤

Terima kasih utk vote & komen kalian. Bikin aku semakin semangat untuk publish di wattpad 🖤








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top