33. Rindu Tertahan

Selama seminggu ini Keenan nyaris tak pernah tersenyum. Rautnya tegas dan kaku. Siapa saja yang berpapasan dengannya pasti terintimidasi.

Amara absen mengajar Julie. Wanita itu mengirim pesan bahwa ia sedang sakit. Tidak menjelaskan sakit apa. Julie mencoba panggilan video pun - tidak Amara terima.

Keenan yakin Amara tidak sedang sakit. Dia pasti menghindar. Tinggal tunggu waktu saja sampai wanita itu mengirimkan surat pengunduran diri. Mengakibatkan kesedihan baru bagi putri si mata wayangnya - dan dirinya pribadi, tentu saja.

Keenan merasa tolol.

Lelaki gegabah yang logika otaknya terkalahkan oleh perasaan. Seharusnya dia berpikir ribuan kali sebelum mencium Amara. Menahan tubuh ratusan kali sebelum memagut bibir plum itu penuh gairah.

Kalau saja Amara mau, dia bisa saja melaporkan Keenan pada pihak berwajib. Apa yang Keenan lakukan dapat disebut pelecehan. Atau mengadukan tingkah mesum Keenan pada sang suami, Bastian. Tetapi lihatlah! Amara memang malaikat. Alih-alih melakukan itu semua, ia memilih memendam perbuatan Keenan seorang diri.

Keenan berdiri dari arm chair dan keluar dari ruangan. Ia lantas menghampiri sang sekretaris, Mirna.

"Mir, kirim email ke setiap kepala divisi. Makan siang hari ini saya ajak mereka ke restoran sebelah. Kamu juga tolong pesan makanan buat semua staf yang lain buat dimakan di kantor siang ini," titah Keenan. "Jangan lupa telepon untuk booking tempat di restoran."

Mata Mirna membulat. "Wih? Dalam rangka apa, nih, Pak?" tanyanya.

"Tidak ada. Tidak dalam rangka apa-apa."

"Baik, Pak. Akan saya kerjakan sekarang," sahut Mirna semangat. "Terima kasih, ya, Pak Keenan."

"Hmm. Sama-sama." Keenan lantas kembali ke ruangan.

Anggap saja Keenan berlebihan. Untuk menemui satu orang - Keenan memilih memberi makan seluruh pegawai yang berjumlah ratusan. Ia ingin bertemu Bastian. Tetapi tak ingin memberikan kesan mencolok bagi staf lain. Bastian sudah menjadi bahan omongan di kantor. Dianggap anak kesayangan sang CEO. Manajer pemasaran itu terlalu sering wara-wiri ruangan Keenan. Pun nampaknya mulut Bastian memang ember. Dia sering memamerkan kedekatan Keenan dengan keluarganya. Menceritakan bahwa Keenan dan dirinya sering makan bersama di luar jam kantor.

Hal yang sebenarnya membuat Keenan sedikit risi.

Keenan tak mau ada kecemburuan sosial di dalam kantor. Apa lagi persaingan tidak sehat. Keambisiusan Bastian semakin kentara saat lelaki itu berulang kali membahas seputar jabatan VP Marketing yang bakal kosong. Sudah jelas bagi Keenan - Bastian terobsesi menempati posisi itu.

***

Ruang VIP pada restoran Chinese yang berada tepat di samping perusahaan mendadak penuh gelak tawa. Sesuai janji, Keenan mengajak para kepala masing-masing divisi untuk makan siang bersama. Mulai dari pimpinan divisi keuangan, divisi HRD, divisi pemasaran, divisi produksi, dan lainnya sudah berkumpul demi memenuhi treatment spesial dari sang bos.

Pembicaraan mereka tentu saja tidak jauh-jauh dari urusan kantor.

Satu per satu makanan datang dan memenuhi meja makan bundar. Meja yang disebut Lazy Susan atau meja putar sudah lengkap dengan berbagai hidangan. Keenan pun mempersilakan anak buahnya untuk segera makan. Lelaki itu sengaja memilih tempat tepat di samping Bastian.

"Silakan, Pak." Bastian mengambil inisiatif sendiri. Ia menggunakan sumpit untuk meletakkan sebiji won ton - pangsit berisi daging cincang - pada piring Keenan.

Keenan tersenyum. "Oh, terima kasih, Pak Bastian. Anda baik sekali. Please, enjoy yourself."

Bastian membalas senyuman Keenan. Lelaki itu lantas mengambil sesendok penuh mapo doufu - olahan tahu bercampur daging, jamur, dan beragam sayuran dengan bumbu saus pedas - ke dalam mangkuknya.

Keenan berdeham. "Bagaimana keadaan Bu Amara?"

Bastian spontan terbatuk-batuk. Apa lagi rasa pedas dari makanan yang baru saja ia sendokkan terasa masuk ke hidungnya.

"Maksud Pak Keenan?" tanya Bastian terkejut.

Keenan berkernyit. "Bukankah Bu Amara tidak mengajar karena sakit? Dia mengirim pesan singkat pada saya. Izin tidak datang karena tidak enak badan."

"Ooh ..." Bastian meringis. "Iya, istri saya memang lagi sakit. Butuh waktu untuk beristirahat. Maaf, ya, Pak."

"Kenapa minta maaf? Harusnya saya yang minta maaf karena belum datang untuk menjenguknya. Julie sangat tidak sabar dan berulang kali memaksa saya untuk menemui Bu Amara. Katanya Julie rindu."

Bastian tertawa getir. "Ehm, minggu depan Amara sepertinya sudah sehat, Pak. Tak perlu repot-repot menjenguk segala."

"Ah, sama sekali tidak repot. Kapan hari waktu Julie sakit, Bu Amara yang mengurus Julie. Anggap saja bentuk keperhatian anak saya pada gurunya." Keenan memandang Bastian lekat. "Boleh saya tahu Bu Amara sakit apa?"

"Dia ..." Bastian tergagu. "Dia jatuh dari tangga. Keseleo."

"Astaga?" Ekspresi Keenan penuh keterkejutan. "Jatuh dari tangga? Sudah dibawa ke rumah sakit?"

"Sudah." Bastian tertunduk gugup. Makanan enak di hadapan tak lagi menggugah seleranya. "Dia tidak apa-apa, sebentar lagi baikan dan bisa datang mengajar lagi."

"Syukurlah," gumam Keenan. "Bagaimana jika nanti malam saya dan Julie mampir sebentar ke rumah? Hanya kunjungan singkat sebagai bentuk perhatian dari anak saya."

"Tidak usah." Bastian buru-buru menolak.

Keenan menengok Bastian dengan raut penuh tanya. Mencurigakan.

Bastian terkekeh. "Maksud saya, saya takut merepotkan Bapak. Jauh-jauh dari Surabaya Barat ke rumah kami."

"Tidak apa-apa, Pak."

Bastian memaksakan senyum. "Baiklah kalau begitu," ucapnya mau tidak mau. "Amara pasti senang akan kedatangan Julie. Akan kami tunggu."

***

Amara menangkap pantulan diri pada cermin. Bagian subkonjungtiva - atau bagian putih pada matanya - masih sangat memerah. Selain itu separuh dari bibir bawah Amara membiru keungungan akibat pemukulan Bastian.

Wanita itu lalu menengadah untuk memeriksa area leher. Memar.

Bulu kuduk Amara mendadak meremang. Peristiwa mengerikan itu kembali terbayang menakuti. Amara masih sering bermimpi buruk. Ia juga takut berdekatan dengan Bastian. Amara bahkan tak berani membantah sang suami.

Meski pun sikap Bastian memang berubah lebih baik setelah perkelahian mereka. Suaminya selalu pulang tepat waktu. Tak pernah mengizinkan Amara memasak karena Bastian memesan atau membeli makanan dari luar. Ia juga telaten merawat luka Amara. Seolah menjadi petunjuk bahwa Bastian betul-betul menyesal.

Amara pikir ini mungkin titik balik dari hubungan mereka. Suatu berkah di balik musibah.

Saat Amara sedang berkaca, ponsel wanita itu tiba-tiba berdering. Sebuah panggilan dari Sally - adiknya. Hati Amara mendadak gelisah. Ia takut terjadi sesuatu pada kedua orang tuanya. Dengan segera, ia pun menerima telepon.

"Ya, Sall?"

"Halo, Mbak. Apa kabar, sehat?" tanya Sally dari seberang.

Amara terdiam cukup lama. Kembali melirik penampilan diri pada kaca.

"Sehat, Sal. Ada apa?"

"Aku mau kasih kabar gembira, Mbak!"

Amara mengembuskan napas lega. Keluarganya di kampung baik-baik saja. Ia tersenyum. "Kenapa? Ibu sama Bapak menang hadiah lagi?" godanya.

"Bukan!" Sally terkikik. "Kali ini aku yang mujur."

"Oh ya? Ada apa, Sall?"

"Mbak ingat tidak aku pernah cerita melamar di pabrik kertas sebagai buruh dan ditolak," pancing Sally.

"Iya terus?"

"Kemarin aku dapat panggilan dan diminta datang ke sana. Mereka menawariku pekerjaan, Mbak!" ujar Sally penuh antusias.

Amara terharu. Ia mengucap syukur dengan mata berkaca-kaca. "Mbak ikut senang, Sall."

"Dan tahu, nggak, Mbak?" kata Sally. "Aku, kan, ngelamar jadi buruh, ya. Eh aku malah diberi posisi sebagai asisten manajer HR."

Mata Amara terbelalak. "Serius??" cecarnya.

"Iya! Masa bohong? Aku juga kaget. Katanya nanti aku bakal diberi pelatihan selama tiga bulan ke depan."

"Bukan penipuan, kan, Sall?"

Sally mendecih. "Mbak Amara bawaanne kok curigaan melulu, to. Jelas bukan - wong kantornya betul PT Kertas Jaya, lho. Penipuan bagaimana?"

"Mbak cuma waswas saja. Posisi asisten manajer HR, kan, butuh kualifikasi tertentu."

"Ya mungkin rezekiku, Mbak. Doakan saja semua lancar, Mbak."

"Amin," gumam Amara. "Selamat, ya, Sall. Mbak bangga sama kamu. Bekerjalah sebaik-baiknya. Yang rajin, jangan mengeluh, selalu jaga sikap."

"Nggeh, Mbak."

Setelah Sally mengakhiri sambungan telepon - Amara pun mengulum senyum. Ia bahagia karena Sally memiliki pekerjaan yang menjanjikan.

Namun tarikan pada bibir Amara memudar saat menyadari sesuatu. Dia - yang disekolahkan tinggi dengan harapan bisa memperbaiki perekonomian keluarga, justru gagal membalas jasa orang tuanya. Sebaliknya Sally yang hanya tamatan Sekolah Menengah Atas berhasil menjaga Salman dan Sulis hingga detik ini. Amara merasa bersalah. Merasa tak berguna dan durhaka.

"Mara." Bastian tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan mengagetkan Amara.

"I-iya. Lho, Mas??" Amara melirik jam pada ponsel. "Kok sudah pulang?"

Bastian mengangguk dan menuntun sang istri. "Iya, aku izin pulang duluan," sahutnya. "Kamu siap-siap, ya. Pak Keenan sama Julie nanti malam mau ke sini untuk menjengukmu."

Siapa coba yang nolak duren macam Pak Keenan? Duh, dah ganteng, kaya, perhatian lagi 🥲 Aku aja jadi mupeng 🤤 hahaha

Anyway, Forbidden Desire sudah tamat di Karyakarsa . Kalian langsung aja meluncur ke SERI - FORBIDDEN DESIRE 🖤🖤🖤

SALAM SAYANG . AYANA ANN .








Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top