32. Tunduk

"Kenapa nangis, Cah Ayu?"

Salman menyeka sisa air mata pada pipi Amara kecil.

"Yanti mukul aku, Pak," jawab Amara. Ia kembali menangis, kali ini lebih kencang.

"Terus kamu melawan?" tanya Salman.

Amara mengangguk. "Yaiya. Rambutku dijambak. Mukaku ditempeleng. Sakit, Pak. Ya kulawan. Tapi dipisah Bu Guru, eh, malah aku sing diseneni."
(* diseneni : dimarahi)

"Walah, Nduk. Bagaimana awalnya, to, kok sampai tukaran?"
(* tukaran : bertengkar)

"Yanti ngenyek Sally, jarene, ojok koncoan karo Sally. Sally akeh tumone. Aku nggak terima, Pak," terang Amara sesegukkan.
(* Yanti mengejek Sally, katanya, jangan berteman sama Sally. Sally banyak kutunya)

Salman tersenyum bijak. "Sudah. Jangan nangis lagi, yo."

"Bapak marahi Yanti, dong. Yanti jahat sama aku," rengek Amara.

"Kamu yang salah, Mara. Harusnya waktu Yanti mengejek Sally kamu diam saja. Tidak usah membalas. Andai kamu tak membalas, pasti tak akan ada perkelahian," kata Salman.

"Kok gitu, Pak? Kok aku tak boleh balas Yanti? Dia menghina adikku, kok!" sanggah Amara.

Salman mengusap punggung Amara pelan-pelan. "Nduk, Yanti itu cucunya Pak Kades, dia lebih dibela dan disegani di sini. Beda dengan kamu, beda dengan Sally, beda dengan Bapak dan Ibu. Kita ini orang miskin, Nduk. Orang-orang seperti kita sebaiknya jangan terlalu berani. Jangan terlalu kasar ben selamet. Ngerti?"

"Tapi ... Pak ..."

"Kalau kamu mau punya teman banyak, disukai orang, dan hidup tenang, jadilah orang yang gemar mengalah. Kamu mengerti, Nduk?"

Amara tidak ingat sejak kapan kedua orang tuanya mengebiri keberaniannya. Amara hanya ingat bahwa Salman dan Sulis mendidik Amara sebagai seorang wanita penurut dan patuh. Seorang wanita dari desa yang mengemban rasa rendah diri karena terlahir miskin. Seseorang yang miskin berkewajiban selalu mengalah agar memiliki keselamatan dalam hidup.

Mengalah - pada Bastian. Pada Luciana.

Pelupuk Amara bergetar. Ia membuka mata pelan-pelan dan merintih kesakitan. Seluruh tulang pada persendiannya kesakitan. Serasa remuk. Ia terdiam untuk mengingat apa yang terjadi.

Oh, astaga ... Bastian memukulnya. Mencekiknya.

"Mara, kamu sudah bangun?" tanya Luciana. Mertuanya itu memandang Amara dengan tatapan penuh kecemasan.

"Ma ..." erang Amara. "Mama ..."

"Ya, Sayang? Kamu jangan bangun dulu, ya. Istirahatlah. Mama sudah periksa badanmu, tidak ada yang patah, kok. Hanya mukamu saja sedikit memar. Cuma luka kecil, kok, Sayang." Luciana mengulas senyum.

Luka kecil, katanya?

"Mas Bastian memukulku ... Mas Bastian juga mencekikku, Ma," ungkap Amara.

Luciana mengangguk. "Iya. Bastian sudah cerita semua sama Mama. Sekarang dia sedang pergi membelikanmu obat dan vitamin. Dia sangat khawatir dengan kondisimu. Dia menyesal sudah melakukan semua ini," ujarnya.

"Aku takut," kata Amara. Bulir air mata menetes deras membasahi kulitnya yang lebam. "Aku mau pulang ke Rembang. Aku mau ketemu sama ibu dan bapak."

Luciana mengelus puncak kepala Amara yang masih berbaring lemah.

"Bastian mengakui semua salahnya. Kamu menuduh dia selingkuh, ya, makanya dia gelap mata begitu? Mama paham kamu sekarang pasti ketakutan."

Amara mengangguk. "Mama mengerti perasaanku, kan, Ma?"

"Iya. Mengerti, kok." Luciana tersenyum. "Dulu papanya Bastian kalau ngamuk juga main pukul. Mama selalu habis dihajar."

"A-apa ...?"

"Betul, Mara. Mungkin karena terbiasa melihat papanya melakukan itu, Bastian jadi secara tidak sadar merekamnya di otak. Terbawa sampai sekarang. Cuma bedanya Bastian lelaki halus dan lembut. Setelah melakukan hal kasar padamu, dia langsung panik dan menghubungi Mama. Dia menangis. Dia takut kamu kenapa-kenapa. Bastian menyesal, Amara," ujar Luciana.

Amara menatap Luciana nanar. Ia menduga Bastian tidak benar-benar menyesal. Suaminya hanya takut Amara mati. Dia bisa masuk penjara akibat pembunuhan.

Luciana kembali melanjutkan, "Maafkan saja suamimu. Hanya kamu yang bisa mengerti dia. Pun sebaliknya. Namanya rumah tangga pasti diselingi pertengkaran. Ini wajar."

"Tidak, Ma. Mas Bastian juga berselingkuh. Selain itu ini sama sekali tidak wajar. Ini namanya KDRT," bantah Amara.

"Soal kondom itu, ya, mungkin Bastian khilaf, Mara. Maklumlah lelaki. Kalau sedang stres pasti larinya ke wanita. Beda sama kita yang wanita, kalau stres larinya ke shopping. Betul tidak?" Luciana terkekeh. Seolah apa yang menantunya alami merupakan masalah sepele.

Amara terdiam dan memandang Luciana dengan tatapan penuh kesangsian.

"Mama bilang khilaf? Tidur dengan wanita lain khilaf?"

"Beruntung dia masih ingat pakai kondom. Berarti dia menjaga agar tetap aman dan tak merugikanmu, Mara," dalih Luciana.

"Ma!" sanggah Amara.

"Mara, jangan berlagak suci seperti kamu sendiri tak ada dosa. Kamu pasti pernah melakukan kekhilafan juga di belakang Bastian!" sungut Luciana.

Amara menelan saliva. Berciuman dengan Keenan kembali mengusik benak wanita itu. Ya, dia juga memang bukan manusia suci.

"Tapi, Ma ..."

"Sssh ..." Luciana kembali membelai rambut Amara. "Sudahlah. Bastian sangat menyesal. Nanti kamu lihat sendiri betapa merasa bersalahnya dia. Kamu jangan gegabah dan terbawa emosi terus. Kamu mau lapor polisi? Membuat masalah rumah tanggamu panjang dan menjadi konsumsi para tetangga? Lalu bercerai? Apa kamu pikir ibu bapakmu di kampung akan menerima itu?"

Amara menahan tangis. Baik hati mau pun raganya sakit. Lebur dan hancur. Ia membenci diri yang tak sanggup membela suaranya sendiri. Bastian berselingkuh dan menghajarnya hingga pingsan. Kemudian Amara dipaksa menerima itu dengan lapang dada. Bahkan - sedikit bagian dari nuraninya menganggap semua merupakan hukuman setimpal yang pantas ia terima.

"Amara!" seru Bastian memasuki kamar.

Luciana menengok. "Sudah pulang, Nak? Ini istrimu sudah sadar."

"Amara, Sayang!" Bastian memeluk erat tubuh Amara yang masih ringkih. "Maafin aku, maafin aku. Aku nggak bermaksud membuatmu kesakitan."

Sekujur persendian Amara melemas ketika Bastian mendekapnya. Seutas ketakutan dan kengerian menjalar. Suaminya itu memiliki kuasa untuk mengakhiri nyawanya. Bastian lebih kuat dari Amara. Lelaki itu juga tak mampu mengontrol emosi tatkala mengamuk.

"Kamu mau maafin aku, kan? Aku janji akan menjadi suami yang lebih baik lagi. Aku menyesal. Aku kira aku kehilangan kamu tadi!" imbuh Bastian.

"La-lalu, kenapa kamu tak membawaku ke rumah sakit?" tanya Amara memberanikan diri.

Bastian dan Luciana saling pandang.

"Tadinya Bastian mau bawa kamu ke rumah sakit, Mara. Tapi Mama yang larang. Mama pikir panjang soal keberlangsungan rumah tangga kalian. Nanti pihak rumah sakit pasti banyak bertanya soal penyebabmu pingsan dan luka-luka. Bastian akan menjadi tersangka. Namanya akan tercemar di kantor. Kalau sampai dia dipecat, kamu juga yang repot, kan?" sahut Luciana.

Amara memalingkan wajah. Ia cuma punya satu pilihan, yaitu mempercayai semua perkataan mertua dan suaminya.

Luciana mengusap wajah Amara yang babak belur. "Lagian, ini bukan luka berat, kok. Dikasih salep dikit nanti juga sembuh. Dua tiga hari lagi lebam dan memarnya juga hilang."

Amara mengangguk pelan.

Bastian lantas kembali memeluk sang istri. "Kamu maafin aku, kan? Kamu maafin aku, Sayang?" tanyanya.

"Kamu tidur dengan siapa, Mas?" buru Amara menelan isak.

"Cu-cuma pelacur murahan. Aku depresi karena sadar kalau kita tak akan bisa punya anak. Aku sedih mendengar soal dirimu yang infertilitas. Aku pikir aku akan menikmatinya, tetapi aku justru menyesal, Mara. Ini pertama kali aku menyentuh wanita lain selain dirimu. Dan aku jijik pada diriku sendiri. Itulah sebabnya aku terbakar emosi saat mendengar cecaranmu." Bastian menjelaskan penuh kesungguhan.

"Amara, Bastian sudah menyesal," sela Luciana.

"Maafin aku, ya? Kamu maafin aku, kan?" buru Bastian.

Air mata Amara kembali menitik. "Ya," sahutnya gemetar. "Aku memaafkanmu."

Forbidden Desire sudah tamat di Karyakarsa. Yang pada gedek sama Bastian bisa melipir ke sana buat baca lebih cepat.

Salam sayang! Ayana Ann—


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top