tujuh belas

Elisa baru saja akan pergi untuk makan siang ketika Sarah menghentikan langkahnya di depan pintu. Perempuan yang rambutnya selalu diikat tinggi itu menyodorkan tas plastik yang kelihatan berisi beberapa kotak makanan dan sebuah minuman.

"Apa ini?" tanya Elisa heran.

Seingat Elisa, dia tidak meminta Sarah untuk membelikan makanan karena dia akan pergi sendiri. Terutama karena akhir-akhir ini dia menjadi lebih suka berada di luar ruangan saat waktu istirahat, bukan di dalam kantor dan dibuat pusing dengan pekerjaan. Dengan melakukan itu, Elisa merasa lebih baik dalam melanjutkan pekerjaan dan tidak memberatkan diri sendiri.

"Sebentar, Bu. Tadi kalau nggak salah ada struknya." Sarah mengambil sebuah kertas yang sepertinya adalah tanda pembelian dari makanan yang sedang dipegang. "Ini, Bu. Di sini dibilang kalau seseorang bernama Putra yang membelikan ini buat Bu Elisa. Resepsionis yang mengantar ke lantai atas."

"Putra ...."

"Apa ibu tidak mengenal orang ini? Saya akan membuangnya jika perlu." Sarah berucap sambil meletakkan bungkusan plastik itu di meja kerjanya.

Elisa mengambil langkah mendekat untuk melihat, isi dari bungkusan plastik itu ternyata adalah bento dari outlet makanan cepat saji yang sudah memiliki nama sejak lama. Dari alamatnya, makanan ini dipesan di mal yang dekat dengan tempat kerja Elisa.

"Tidak apa-apa, tidak perlu dibuang, tapi kamu berikan saja pada siapa pun yang mau. Aku sudah terlanjur memesan tempat di restoran lain." Elisa menyerahkan keputusan pada Sarah.

Sarah mengangguk. Dia tampak lebih pendiam akhir-akhir ini, tapi Elisa mengira kalau hal itu disebabkan oleh banyaknya pekerjaan yang diberikan Alex pada perempuan itu. Sudah beberapa kali ayah angkatnya itu memanfaatkan Sarah untuk tugas yang tidak bisa diketahui oleh perempuan itu, tapi setiap kali dia berusaha mencegah, Alex selalu mempunyai cara untuk menjadikannya sebagai ancaman.

Elisa tersenyum bersimpati pada Sarah. "Istirahatlah, Sarah. Kamu kelihatan lelah."

"Oh ... kelihatan sekali ya, Bu?" Sarah menatap Elisa sebelum meraba wajahnya dan menunduk. "Aku kayaknya juga harus makan di luar hari ini buat refreshing, semalam aku begadang buat mengejar target laporan."

Elisa mengangguk. "Tidak apa-apa, aku duluan ya."

Dia kembali melihat ke arah bungkus plastik makanan yang dipesan Putra, tapi kemudian berjalan ke lift untuk menikmati makan siang yang khusus di pesan hari ini.

***

"Kamu juga ada di sini."

Elisa menatap Putra yang kini duduk di hadapannya. Mereka sekarang berada di The Breeze, tepatnya di restoran yang menyediakan makanan Hawaii dan menjadi tempat makan siang yang dituju oleh perempuan itu.

Dia tidak mengerti bagaimana pria itu bisa mengetahui setiap restoran yang akan ditujunya selama beberapa hari ini, padahal Elisa hanya memberitahu Sarah yang beberapa kali membantu pemesanan tempat makan siang selama seminggu ini. Setelah besok, perempuan itu mungkin akan mengubah rencananya untuk makan siang di sekitar tempat kerja agar bisa tahu apa Putra akan terus mengikuti.

"Mungkin kita jodoh. Apa kamu tidak memikirkan kemungkinan itu setelah kita sering bertemu begini?"

Elisa hanya menatap tanpa berniat menjawab. Salah satu staff sudah mengantar pesanannya sehingga dia memilih untuk makan, daripada berdebat atau melalui ucapan berputar-putar pria itu, menikmati paduan rasa segar yang masuk ke mulut dan minuman yang terasa pas untuk melengkapi menu yang dipilih.

"Apa kamu akan mengabaikan ucapanku lagi?" tanya Putra yang kali ini belum ikut makan seperti Elisa. "Padahal aku ...."

Perempuan itu tidak lagi menyimak ucapan Putra yang terus berlanjut seperti hari-hari lalu. Elisa sebenarnya merasa kelimpungan dengan kehadiran pria itu yang seakan mengetahui semua tempat yang akan dikunjunginya. Hal itu juga membuatnya tidak nyaman, tapi dia juga tidak bisa mengusir Putra di tempat umum dan mengganggu kenyamanan orang lain.

Kebanyakan mereka bertemu di tempat makan seperti ini, tapi kadang dia juga bertemu pria itu di jalan meskipun Putra berada di sisi lain jalan dan sedang menggunakan ponsel. Entah pria itu menelepon atau sedang membaca sesuatu di layar, Elisa tidak bisa melihatnya karena saat itu dia selalu berada di mobil.

Tanpa sadar, Elisa juga mulai mengikuti keberadaan Putra yang tampak berbeda dengan semua orang yang berjalan di sekitar, selain karena tinggi pria itu yang berada di atas rata-rata, tapi juga dengan pembawaan yang terkesan jauh berbeda dari dirinya yang ditemui Elisa selama ini. Lebih serius dan terlihat seperti tipe orang yang tidak main-main dalam perbuatannya.

Meskipun dengan semua itu, Elisa masih belum menemukan tujuan Putra mengikutinya sampai selama ini. Selain karena obrolan yang dimulai oleh pria itu kebanyakan hanya basa-basi yang tidak pernah terjawab, dan perempuan itu juga tidak pernah menghampiri lebih dulu ketika Putra sedang mengurus hal lain, godaan dari pria itu kebanyakan membuat dirinya diam-diam tertawa karena terlalu norak.

Entah pria itu belajar dari mana, tapi pick-up line yang digunakan Putra hampir mirip dengan beberapa postingan di salah satu media sosial yang lebih banyak didominasi tulisan. Elisa selalu berusaha agar tidak tertawa, entah dengan memikirkan hal sedih dari film disney favoritnya atau kemungkinan jika tokoh sampingan yang disukainya tidak mati. Pria itu sepertinya sadar akan usaha sia-sia perempuan itu dan malah tersenyum.

Elisa merasa sudah gila karena tidak merasa takut dengan perbuatan mencurigakan pria itu. Tetap saja, dia juga tahu kalau hal seperti ini tidak bisa dilanjutkan terus menerus karena dia bisa saja teralihkan secara tidak sadar dan terbawa arus dalam entah permainan apa yang dilakukan Putra.

"Sampai kapan kamu berniat melakukan ini?" tanya Elisa tiba-tiba, membuat Putra menghentikan monolog mengenai series Game of Thrones yang masih ragu untuk ditonton pria itu karena sudah tahu akhir ceritanya.

Perempuan itu juga sebenarnya penasaran tentang series yang digadang penuh intrik kekuasaan dan latar fantasi setelah maraton Lord of the Ring itu, apalagi salah satu saluran televisinya sudah beberapa kali menayangkan itu dan sekarang sudah masuk ulangan dari season dua, tapi sekarang dia lebih mementingkan pembicaraan mereka saat ini.

Putra menggeleng, membuat Elisa menatapnya untuk menunggu jawaban. "Aku tidak mengerti apa yang kamu bicarakan."

"Jangan pura-pura tidak tahu. Kamu yang melakukannya selama dua minggu ini, apa aku harus mengatakan istilahnya di depanmu?"

Elisa mengatakannya dengan tenang, tapi tidak bisa menahan ekspresi sebal yang mungkin sudah tergambar jelas di wajah. Setelah beberapa lama, seharusnya perempuan itu sudah terbiasa dengan gaya bicara pria itu yang akan memutar jika tidak suka dengan topik atau pertanyaan yang diajukan Elisa atau kemudian beralih dengan menggoda, tapi sepertinya dia tidak bisa.

Sama seperti Putra yang mungkin tidak akan menjawab pertanyaan Elisa.

Elisa menyelesaikan makan siang yang menyegarkan itu dan beranjak untuk kembali ke kantor, tapi tangan Putra menahan lipatan blazer yang dikenakan perempuan itu.

"Ada apa?"

"Aku kan belum menjawab pertanyaanmu," ujar Putra yang kemudian ikut berdiri. "Untuk jawabannya, aku juga tidak tahu, tapi semua ini bergantung padamu, Elisa. Mungkin aku akan berhenti atau mungkin saja tidak akan."

Elisa mengernyit. "Kamu sedang bercanda?"

"Tidak, aku serius."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top