tujuh

Malam itu berakhir dengan Elisa yang berpamitan lebih dulu. Perasaan mendung yang meliputi perempuan itu hilang setelah mengobrol singkat dengan Elliot, dia berhasil menikmati sebagian besar santapan di piring, sebelum akhirnya diputus dengan kembalinya Alex dan Tasha ke meja makan.

Elliot juga terlihat akan menyusul karena raut mengantuk laki-laki itu terlihat jelas, begitu juga dengan beberapa kuapan yang sudah lolos dari mulutnya sejak mereka mengobrol.

"Kamu mau ke mana?" Alex menghentikan langkah Elliot, begitu juga dengan Elisa yang sudah berjalan lebih dulu. "Masih ada beberapa hal yang harus aku bicarakan denganmu sekarang, begitu juga ibumu."

"Aku?" Elliot menunjuk dirinya sendiri.

Alex mengangguk, hanya melihat ke arah Elliot dan menepuk bangku yang sebelumnya diduduki laki-laki itu. "Kemarilah."

Elisa tidak memperhatikan ketiga orang itu lagi dan menuju kamarnya. Keberadaan perempuan itu jelas tidak dibutuhkan. Dia berusaha untuk tidak menaruh peduli dengan keterasingan yang selalu dirasakan ketika Elliot pulang, lebih parah jika dibandingkan ketika hanya dia sendiri.

Dia paham jika statusnya sebagai CEO hampir tiga tahun ini tidak akan mengubah kenyataan kalau dia anak angkat, bahkan ketika adiknya itu dalam posisi mendukung keberadaan Elisa, yang itu pun juga belum pasti karena mereka baru mengobrol hal-hal remeh dan Elliot sendiri belum mendapat posisi di perusahaan.

Elisa menghela napas pelan, masuk ke dalam kamar yang terang dengan langkah berat. Jadwal yang disusun Sarah akhirnya benar-benar jadi dan dia harus mulai mempersiapkan beberapa hal untuk kegiatan bulan depan. Dia berjanji kalau tidak akan ceroboh dan terjebak dalam perangkap Alex yang selalu mengekang di manapun dia berada.

Memikirkan hal itu, Elisa jadi merindukan Bar Anonim, termasuk minuman racikan Resta yang tidak pernah gagal untuk dinikmati ketika kepala terasa penat. Bartender itu pasti masih bekerja di waktu liburan seperti ini, semata karena tip yang didapatkan pada hari khusus jauh lebih banyak jika dibandingkan hari biasa.

"Apa sebaiknya aku ke sana?"

Elisa melamun, masih mendengar percakapan keluarga dari luar pintu kamar yang tertutup. Jika melihat dari situasi tahun lalu, maka perempuan itu akan terjebak di kamar sampai lewat tengah malam, lewat dari jam tidurnya agar bisa mendapatkan istirahat yang cukup untuk bekerja.

".... lupakan saja."

Dia baru teringat kalau Putra pasti juga ada di sana. Elisa masih belum siap untuk bertemu dan memilih untuk tertidur setelah berganti baju dengan kaos oblong.

***

Elisa sudah tampak siap dengan pakaian yang rapi dan tas dompetnya. Perempuan itu hendak ke ruangan Alex karena ingin membicarakan soal perizinan Bar Mahardika yang sudah di tahap final, tapi ketika akan masuk, dia menghentikan langkah karena mendengar ucapan Alex dari dalam ruangan.

"Aku sudah tidak membutuhkannya lagi karena anakku sudah dewasa, COO pasti sudah cukup untuknya karena posisi itu juga sudah diurus oleh perempuan itu sebelumnya. Jangan lupa soal anak buahnya. Kalau tidak mau menurut, pastikan mereka tersingkir secara diam-diam," ujar Alex tenang.

"Baik, Pak."

"Aku tidak menyukai kesalahan, jadi pastikan kamu melakukannya dengan benar."

Alex kembali melanjutkan pembicaraan lain setelah menegaskan hal itu pada orang yang tidak diketahui Elisa. Suara pria yang lebih muda dari Alex itu tidak terkesan seperti sekretaris yang diketahui perempuan itu, Pak Damar, maupun Elliot.

Pria paruh baya itu tidak mengijinkan orang sembarangan masuk ke ruangan, kecuali jika sudah percaya sepenuhnya pada orang tersebut. Pak Damar, beserta pekerja di rumah termasuk seseorang yang belum dipercaya oleh Alex sepanjang sepengetahuan Elisa.

Elisa buru-buru berbalik tanpa mengatakan apa pun dan berusaha tetap tenang ketika berjalan ke meja makan. Di sana, Tasha dan Elliot sudah menunggu dengan lauk pauk serta nasi yang terhidang. Khusus untuk ibu, terdapat sepotong kue sisa semalam di sebelah piringnya.

"Kamu akan ke kantor?" tanya Tasha, mendongak dari ponsel yang ditatap sejak tadi.

Elisa mengangguk sebagai jawaban.

"Baiklah, sepertinya kamu akan sendiri di rumah, Eli."

Elliot hanya tersenyum kecil. "Tidak masalah, aku akan mampir ke rumah Ian setelah ini, Ma. Ketemuan dengan teman SMA yang lain."

"Kamu masih saja akrab dengan mereka ya."

Elisa mengunyah makanan sambil melihat gelagat ibu dan anak itu. Ucapan Tasha yang sambil lalu terdengar menusuk, meski suara yang digunakan ibu angkatnya terkesan halus dan lembut. Elliot sendiri tidak menunjukkan ekspresi apa-apa selain gerakan samar di tangan yang cepat menghilang.

"Mereka hanya teman main, Ma."

Teman-teman Elliot di Jogja pada kenyataannya juga tinggal di sekitaran Jabodetabek, mereka semua mempunyai hubungan pertemanan yang sehat dan seperti anak-anak biasa. Masalahnya, semua teman Elliot adalah penerima bantuan untuk anak berprestasi, tapi sampai sekarang belum melanjutkan kuliah yang lebih dari D4 maupun S1 dan belum mempunyai pekerjaan tetap dengan gaji yang stabil.

Tasha yang mengetahui hal itu tentu mencegah Elliot agar bergaul dengan mereka dan menyarankan laki-laki itu untuk masuk ke lingkaran pertemanan yang lebih selevel dan setingkat dengan Keluarga Mahardika.

Mereka sudah pernah membahas ini di pertengahan tahun, tapi Elliot sepertinya tidak langsung menurut dan bahkan sudah menganggapnya tidak ada.

"Mama tidak suka. Lebih baik kamu mencari pacar dari keluarga yang mapan, agar mama bisa mempunyai teman mengobrol dan belanja yang baru."

Elisa tidak ambil pusing dengan sindiran Tasha. Akhir-akhir ini dia memang terlalu sibuk sehingga tidak bisa menemani Tasha berbelanja. Sementara Elliot hanya diam dan makan.

Alex akhirnya datang, sepertinya dia sudah mengantar pria yang mengobrol dengannya sehingga Elisa tidak bisa mengetahui identitas pria asing itu, baru Tasha tidak melanjutkan percakapan itu dan menyantap kue di piring kecil terlebih dulu. 

Elisa berusaha untuk berpura-pura tidak tahu mengenai percakapan Alex ketika mereka akhirnya sarapan bersama. Meski sulit dan ingin marah sekali pun, Elisa juga tahu kalau dia tidak mempunyai bukti mengenai ucapan Alex yang hanya didengar tanpa sengaja dan kenyataan kalau dia tidak punya kewenangan apapun di rumah ini.

Baru saja dia merasa agak tenang kemarin, tapi hantaman seperti ini membuat Elisa kembali sadar jika dia harus mulai melakukan sesuatu untuk mempertahankan posisinya agar kerja keras selama ini tidak begitu saja diambil alih, begitu juga dengan anak buah yang terlibat dalam pekerjaannya selama ini.

Elisa menyayangi Elliot, tapi bukan ini keinginan perempuan itu ketika harus melepas tanggung jawab sebagai CEO, hanya dengan keputusan satu pihak.

"Ayah, aku akan memastikan Bar Mahardika bisa sukses setelah peresmian nanti."

Tatapan Alex dan Tasha secara otomatis terarah pada perempuan itu, heran dengan pembicaraan yang tiba-tiba, tapi Alex pada akhirnya juga bersikap seakan ucapan Elisa hanya sebuah pernyataan belaka.

"Tentu saja, itu sebuah keharusan bagi keluarga kita. Aku akan menantikannya, Elisa."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top