sepuluh
"Ada apa?"
Pertanyaan Putra membuat Elisa tersadar pada situasi, begitu juga dengan suara Resta yang berasal dari panggilan mereka yang masih tersambung. Sepertinya dia terlalu lama melamun karena menatap wajah pria itu.
"Kamu masih di sana? Aku dan Dean akan menyusulmu ...." Resta terdengar khawatir.
Elisa segera memotong ucapan Resta. "Tidak perlu, aku sedang bersama Putra sekarang. Ternyata dia mampir membeli cemilan."
"Oh, syukurlah." Resta menghela napas lega. Aku mendengar suara pria yang berbicara di sebelahnya samar-samar, sepertinya gebetan perempuan itu yang belum kutemui. "Aku masih lama, ada banyak diskonan di toko ini. Kalian bisa menyusul nanti ... kalau mau. Dah!"
Elisa dapat menangkap nada jahil dari dari ucapan Resta yang sempat terjeda, tapi kemudian langsung ditutup tanpa menunggu jawabannya.
"Dari Resta?" tanya pria itu di antara kunyahan.
Salah satu stik kentang yang dibawa Putra kini hanya tersisa setengah. Elisa dapat melihat bekas saus di sudut bibir pria itu dan secara otomatis mengulurkan tangan untuk membersihkannya. Putra tersenyum, sementara Elisa merasa malu karena menerima tatapan pria itu.
"Kamu sudah tahu, buat apa bertanya lagi?" balas Elisa mengalihkan tatapan. "Mulutmu terlihat belepotan."
Putra meraih tangan Elisa dan menjilat bekas saus yang masih ada. "Terima kasih."
Elisa buru-buru menarik tangannya menjauh dan melihat ke sekitar, bertambah malu karena tindakan Putra yang tidak terduga, tapi orang-orang tentu saja punya kesibukan masing-masing dan tidak memperhatikan kejadian itu.
"Tidak apa-apa, tidak ada yang melihat," ucap Putra santai dan kembali menyantap cemilan di tangan. "Ini, makanlah."
Elisa akhirnya menerima tusuk irisan kentang melingkar itu dan mulai makan, meredam racauan salah tingkah yang masih berputar di kepala. Dia mengira jika pria itu hanya bisa bersikap seperti itu di ruang yang lebih privat, bukan di tempat umum seperti keberadaan mereka sekarang.
"Kamu mau minum? Aku belikan."
Elisa hanya mengangguk, masih menyantap camilan yang baru saja diberikan, lalu Putra langsung memesan minuman yang hanya beberapa langkah di belakang posisi mereka tadi. Tidak lama, dia memberikan milk tea berukuran reguler dan tanpa boba, begitu juga untuknya sendiri.
"Aku tidak tahu minuman kesukaanmu, jadi aku beli yang standar." Putra menjelaskan ketika Elisa menerima minuman itu darinya.
"Tidak apa-apa."
Mereka berjalan ke salah satu meja yang masih kosong. Acara tahun baruan di mal daerah kemang itu berlangsung nanti malam, tapi sudah ada persiapan berupa panggung dan tempat khusus bagi para tamu yang sudah memesan. Bagian terbuka di kawasan mal tersebut juga sangat pas untuk melihat kembang api yang akan memeriahkan acara tahun baru.
Elisa dapat merasakan tatapan pria itu terarah pada bibirnya, tapi kemudian Putra mengalihkan pandangan dan meraih sapu tangan untuk mengusap mulut perempuan itu dalam sekali gerakan. Elisa bahkan tidak bisa menghentikan tangan pria itu karena terlalu cepat.
"Kamu ...."
Putra menatap Elisa dengan tatapan yang tanpa rasa bersalah. "Makanmu juga belepotan, aku hanya membantu membersihkan."
Elisa tidak bisa menjawab karena sapuan sapu tangan itu tidak terlalu keras hingga bisa menghapus lipstiknya, tapi tetap saja dia tidak bisa mengendalikan kegelisahan dalam dirinya karena menerima perlakuan Putra yang seperti sengaja melanggar privasi, itu pun juga di depan umum.
"Jangan terlalu tegang, aku tidak bermaksud apa-apa dan hanya menemanimu di sini."
Elisa menatap Putra yang sedang minum dan menatap ke keramaian orang, yang melihat-lihat event mal yang sudah diadakan sejak awal bulan, dengan mata menerawang. Entah apa yang dipikirkan pria itu, tapi yang jelas bukanlah sesuatu yang ada di depannya. Ada beberapa anak kecil di sekitar sana yang sedang bersama orangtua masing-masing, sehingga tidak seharusnya dia merasa sedih.
"Apa yang sedang kamu lihat?" Putra tahu-tahu saja menoleh ke arah Elisa dan membuat perempuan itu tersedak. Pria itu tertawa. "Kali ini kamu kebanyakan diam, di mana keberanianmu beberapa minggu lalu saat mengajakku tidur?"
Wajah Elisa memerah karena Putra tiba-tiba membahas tindakan impulsif perempuan itu. "Apa hubungannya dengan sekarang?"
Dia menopang kepala dengan satu tangan, menatap Elisa sambil menggumam panjang. "Aku datang untuk mengejutkanmu, tapi kamu biasa-biasa saja ... malah cenderung datar, kecuali reaksi malu-malu itu. Tidak sesuai dugaan. Padahal aku berhasil mengagetkan satpam ketika mengecek tampilan wajahku yang terlalu tertutup."
Elisa merasa ingin kabur dari sana sekarang, tidak ingin kembali mengingat malam mereka yang memang membekas maupun ajakan yang diingatnya begitu payah dan memalukan.
"Aku ingin kabur." Ucapan itu lolos dari mulut Elisa meski pun sangat pelan.
"Kabur dari siapa? Aku?" Putra kembali berbicara dengan nada jahil, tapi sebelum Elisa bisa berbicara, dia berdiri dan menunggunya melakukan hal yang sama. "Ayo, kamu mau berbelanja 'kan?"
Elisa akhirnya berdiri, mengikuti langkah pria itu menuju salah satu toko pakaian yang disebutkan oleh Resta lewat pesan. Putra berjalan lebih dulu, tapi tetap menunggu Elisa sehingga mereka seperti berjalan bersebelahan.
Kedua tangan pria itu berayun santai, Elisa merasa tergoda untuk meraih tangan Putra, tapi langsung tersadar ketika pria itu yang malah meraih tangannya dalam genggaman.
"Aku khawatir kamu hilang," ujar Putra tanpa menunggu pertanyaan Elisa.
Elisa hanya bisa merasakan kehangatan dari genggaman tangan pria itu yang sangat pas dengan ukuran tangannya.
Mereka akhirnya bertemu dengan Resta dan Dean. Keduanya sedang melihat-lihat baju tidur untuk pasangan seperti pasangan yang baru menikah. Putra juga mengajak perempuan itu untuk melakukan hal yang sama, menggodanya, tapi tiba-tiba Elisa melepas genggaman mereka dan menyeret Resta pergi.
"Eh, tunggu dulu. Ada apa ini?"
Resta yang dibawa tanpa peringatan memprotes, tapi Elisa tidak mengatakan apa-apa sampai tiba di bagian baju perempuan untuk pergi ke pesta. Resta merasa tersudut dengan perbedaan tinggi mereka, apalagi karena Elisa mengenakan sepatu boot yang memiliki hak.
Dia menjadi agak gugup. "Ada apa, Say?"
"Katamu, bukan Putra." Elisa menatap tajam dari balik kacamata yang dikenakan, menuntut jawaban dari Resta yang mengalihkan tatapan.
"Itu ...."
"Itu bukan salahnya, aku yang meminta tolong pada sepupuku, lalu Resta jadi terlibat." Putra tahu-tahu saja sudah tiba di sebelah mereka, Dean juga terlihat menyusul meski memberi jarak. "Kita akan mengobrol nanti, tapi kalian belanja saja dulu. Aku dan Dean akan menunggu di luar."
Elisa menyadari satu-dua pegawai toko mengawasi mereka, begitu juga dengan beberapa pengunjung, tapi langsung berbalik begitu dibahas.
"Maaf."
Putra menepuk puncak lengan Elisa untuk menenangkan sebelum pergi. Dean terlihat tersenyum pada Resta dan mengikuti langkah Putra.
"Maaf, aku juga baru tahu ketika Putra yang datang menggantikan Mbak Tanti," ujar Resta menyesal.
Elisa tidak menjawab selama beberapa saat sebelum menghela napas panjang. "Tidak apa-apa. Aku hanya ... entahlah, sepertinya aku jadi kacau karena pria itu."
Resta tampak tertarik. Kedua mata teman bartendernya itu terlihat berbinar, menantikan kelanjutan cerita yang menyebabkan Elisa yang selalu tenang menjadi kalang kabut sendiri hanya karena seorang pria, bukan pekerjaan.
"Ayo, cerita! Apa yang terjadi di antara kalian sampai seperti itu? Putra juga aneh, aku kira dia tidak mau berhubungan lagi dengan siapa pun yang sudah menghabiskan malam bersamanya, tapi denganmu tidak begitu."
Elisa menggeleng, semakin pusing dengan pernyataan Resta. "Nanti saja, kita belanja dulu."
"Yes!"
Resta merangkul lengan Elisa dengan senang dan mereka mulai melihat-lihat baju beberapa lama. Pilihan mereka jatuh ke gaun wrap bermotif untuknya dan gaun katun slub tanpa lengan untuk Resta, serta baju tidur. Tidak lupa dengan beberapa aksesoris yang kemudian mereka bawa ke kasir.
Mereka menghampiri Putra dan Dean yang sibuk dengan ponsel masing-masing lalu berhenti ketika melihat kedatangan keduanya.
Elisa mulai bisa tenang ketika melihat Resta dan Dean yang tampak akrab dan berjalan santai di depan, sementara Putra mendampinginya tanpa bergandengan seperti tadi. Dia membawakan tas belanjaan perempuan itu tanpa banyak bicara, mungkin memikirkan yang harus dikatakan pada Elisa mengenai kemunculannya yang memang tiba-tiba.
Tetapi sebenarnya, Elisa hanya tidak mau mengakui kalau perasaan lega adalah hal pertama yang dirasakan perempuan itu ketika melihatnya tadi. Lega karena dia bisa bertemu dengan seseorang yang bisa membuatnya bernapas seperti orang biasa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top