sembilan belas

Setelah hari itu, Elisa belum melihat Putra di sekitar kantor. Dia sengaja makan di luar selama beberapa hari berikutnya, tidak sesuai rencana awal, tapi pria itu sepertinya mendengarkan apa yang dikatakan hari itu dan mulai menjauh. Entah untuk beberapa lama atau dia tidak akan pernah kembali.

Elisa sebenarnya merasa takut kalau dia sudah bersikap keterlaluan pada Putra beberapa hari lalu. Pria itu bersikap seakan tidak ada yang bisa menghalangi perbuatannya selama ini, sehingga dia tudak bisa membayangkan apa yang mungkin dilakukannya jika Elisa tanpa sengaja melewati batas.

Perempuan itu sampai berusaha terlihat tegar ketika berjalan menjauh, tapi kemudian berhenti di salah satu toko sepatu untuk duduk dan mengambil napas, menenangkan diri sampai dia bisa kembali ke kantor. Pikiran-pikiran yang berputar di kepala Elisa membuat kejadian selama beberapa menit itu tidak langsung terlupa dan malah terasa jauh lebih parah, dengan detail-detail yang ditambahkannya tanpa sadar.

Sekarang, Elisa merasa jauh lebih tenang karena tidak melihat keberadaan pria itu, juga kesibukannya yang harus mengecek beberapa dokumen untuk diteruskan pada Alex, memastikan keseluruhannya sesuai dengan keinginan pria paruh baya itu.

Sebuah ketukan pintu terdengar, seorang pria dengan rahang tegas dan senyum yang ramah memasuki ruangan Elisa.

"Selamat sore, Bu Elisa. Saya mau mengambil dokumen yang diminta Pak Alex," ucap Tomi.

Elisa membalas senyum pria itu dan berdiri, membawakan dokumen yang dimaksud. Isi dokumen itu adalah laporan mengenai pengerjaan Bar Mahardika dalam versi terbaru, di mana Elliot adalah penanggung jawab ketika bar tersebut berdiri, bukan lagi perempuan itu.

Dia sebenarnya masih tidak rela, tapi membicarakan hal ini pada Alex akan lebih menguras tenaga sehingga Elisa memilih jalan yang paling aman untuk situasi sekarang.

"Pak Tomi seharusnya minta bantuan OB saja, atau menghubungiku agar aku bisa menyerahkannya sendiri pada Ayah. Jadi merepotkan begini."

Tomi menggeleng. "Masa saya meminta Bu Elisa untuk mengantarkan dokumen ini sendiri? Saya kan memang bertanggung jawab menyortir dokumen sebelum dibaca Pak Alex, jadi tidak perlu merasa tidak enak, Bu."

Elisa hanya tersenyum. Tomi menerima dokumen tersebut dari perempuan itu, lalu sebagai gantinya, pria yang berusia di awal kepala empat itu mengulurkan tas kertas kecil kepadanya.

"Apa ini, Pak?"

"Dari istri saya lagi, Bu." Tomi tersenyum dan membuka tas yang dipegang Elisa itu agar menunjukkan isinya yang berupa kotak plastik bening dengan tumpukan kue kering yang tertata rapi. "Kue kering keju, istri saya bilang ini bukan kaastangel karena rasanya cenderung lebih manis, bukan full gurih atau asin. Padahal menurut saya sama saja."

Elisa tertawa. Dia diam-diam memperhatikan tampilan kue yang sedang dipegang, yang di atasnya terdapat parutan keju yang hampir kering dan lapisan mengkilap yang berasal dari mentega, sudah terasa enak, apalagi ketika dia mencoba nanti. Walaupun bukan penggemar makanan manis, tapi dia bisa dibilang penggemar resep Ibu yang manisnya selalu pas.

"Ibu baik banget. Terima kasih, Pak. Saya kayaknya harus mampir ke toko Ibu setelah ini, sekalian beli cemilan di rumah."

Tomi terlihat serius. "Itu jelas harus, Bu. Istri saya pasti senang sekali kalau ada pelanggan baru," ujar pria itu kemudian kembali tenang. "Saya permisi ya, Bu. Mari."

"Silahkan, Pak."

Dengan menyerahkan dokumen itu pada Tomi, maka selesailah pekerjaan Elisa pada hari itu. Ketika keluar, Sarah tidak ada di meja sehingga Elisa mengabarinya sebelum benar-benar pulang, khawatir jika sekretarisnya itu mencari.

Elisa baru saja akan menjalankan mobil sedan miliknya ketika dering ponsel terdengar, kemudian berganti dengan bunyi notifikasi pesan. Nama Resta terlihat di paling atas, dengan keterangan foto sebagai penyebab bunyi notifikasi.

[Putra katanya ingin bertemu denganmu di bar.] Resta akhirnya selesai mengetik setelah Elisa membuka pesan. [Apa kalian belum sempat bertukar nomor?]

[Belum. Dia bilang kapan?]

Tidak ada balasan selama beberapa saat sebelum notifikasi dari pesan Resta kembali diterima. [Malam ini katanya, tapi kalau kamu sibuk, kamu saja yang tentukan harinya.]

Elisa memikirkan jadwal pekerjaannya besok dan bisa menyimpulkan kalau dia tidak terlalu sibuk selama beberapa hari ke depan, tapi dia lebih memilih untuk tidak menunda-nunda. [Malam ini saja.]

[Oke! Akan aku sampaikan.] Resta kembali mengirimkan pesan lain. [Kalau begini, aku seperti peri cinta untuk kalian ya xixixi.]

Elisa menggeleng, hanya bisa tersenyum maklum dengan tanggapan Resta yang sepertinya mengira kalau hubungan perempuan itu dan Putra baik-baik saja, bukan dalam krisis, atau bahkan belum beranjak dari hubungan tanpa status setelah malam pertama itu. 

***

Alunan piano menyambut kedatangan Elisa. Dia langsung menemukan kehadiran Putera yang sedang memainkan piano tersebut, tampak serius sehingga tidak meyadari kehadirannya, lalu beralih pada Resta yang sudah menyediakan tempat untuk perempuan itu duduk.

"Hai, hai, hai." Resta menyapa dengan bernada, tersenyum sambil meletakkan minuman yang Elisa biasa pesan tanpa bertanya lebih dahulu. "Apa kabar hari ini?"

"Baik."

Resta cemberut, tidak terlihat senang dengan jawaban singkat, padat dan terlalu umum Elisa padanya. "Hanya baik saja itu tidak cukup, jelaskan dong."

Elisa hanya nyengir, tapi menuruti dan mulai menceritakan laporan-laporan yang sudah diurusnya selama tidak datang ke Bar Anomim. Tentu saja dia tidak mengatakannya dengan situasi yang benar-benar asli, tapi hanya dengan begitu saja, Resta sudah tampak mual dan memintanya agar mengganti topik.

"Bagaimana dengan Putra? kamu sama sekali belum menceritakannya," ucap Resta sambil menyiapkan minuman untuk pelanggan lain.

"Dia ... baik-baik saja."

Resta menatap Elisa tidak percaya. "Kamu hanya bisa berkata seperti itu ketika kalian sudah janjian di bar? Walaupun dengan bantuanku sih, juga yang kamu ceritakan pada waktu itu saat tahun baru."

Elisa mengangguk. Perempuan itu tidak mungkin mengatakan jika Putra sudah mengikutinya selama beberapa hari dan mereka sedang dalam masa gencatan senjata sebelum pria itu benar-benar menepati janjinya, yaitu sekarang.

Entah apa yang akan dibicarakan Putra nanti, di saat pria itu juga sedang memainkan piano untuk pelanggan lain.

"Bukankah katamu dia sudah berhenti bekerja?" tanya Elisa tiba-tiba teringat.

Resta menuangkan minuman racikannya di gelas saji sebelum menjawab. "Iya, tapi pemilik bar mengijinkan Putra bermain piano kapan pun dia mau." Resta kemudian menunjuk para tamu dengan dagunya. "Lihat saja efek dari kehadiran dan permainan piano pria itu. Bar tidak pernah tidak ramai kalau ada dia."

Tepuk tangan dari beberapa pelanggan bar tahu-tahu terdengar. Putra sudah tidak ada di tempatnya yang di dekat piano, sehingga Elisa berusaha mencari tahu keberadaan pria itu di antara kerumunan orang yang berdiri di sebelah meja tanpa kursi.

"Siapa yang kamu cari? Apa itu aku?" tanya suara yang terdengar berat dari belakang Elisa. Dia tampak tampan seperti biasa, dengan wajah tirus dan kumis tipis, begitu juga dengan rambut hampir melewati bahu yang sekarang diikat.

Elisa mengerjap beberapa kali sebelum bisa mengendalikan diri dari kedekatan mereka. "Duduk saja."

Putra mengikuti kemauan Elisa dan duduk di bangku yang masih kosong, memberi jarak dengan mengosongkan satu bangku di antara mereka. Sementara Resta menyiapkan fruit punch yang sama dengan Elisa untuk dinikmati pria itu.

"Untuk berjaga-jaga supaya kalian tidak berniat nekat lagi." Resta membela diri ketika menerima tatapan dari keduanya.

"Dia yang nekat, bukan aku," ujar Putra menyangkal, membuat Elisa menatap pria itu lama.

Resta menggaruk kepalanya yang tidak gatal, tahu kalau sebaiknya tidak dekat-dekat dengan mereka untuk saat ini. "Hani, tolong gantikan aku sebentar," ucap perempuan itu sambil buru-buru ke ruang khusus staff.

"Jadi, apa yang ingin kamu lakukan dengan kehadiranku di sini?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top