sebelas
Elisa ingat, kalau setelah berbelanja, mereka langsung ke bioskop untuk menonton film dalam satu deret bangku yang sama, kemudian dilanjutkan dengan mampir ke timezone untuk bermain dan beli makanan cepat saji untuk mengganjal perut sebelum lanjut berbelanja dan sekadar melihat-lihat.
Menjelang malam, mereka pindah ke hotel yang sudah di-booking untuk check-in dan berganti baju. Elisa, Resta dan Putra makan malam di hotel, ditemani dengan alunan lagu dari musisi indie Indonesia dan beberapa hiburan lain yang bisa dinikmati semua orang yang hadir, hingga melihat pertunjukkan kembang api dari atap hotel.
Setelah itu, dia ingat kalau mengobrol dengan Resta dan minuman di tangan, di dalam kamar yang rencananya akan menjadi tempat menginap.
"Gila! Kalian ternyata benar-benar melakukannya, kukira hanya sampai intercourse," ucap Resta lalu menghela napas. "Aku iri."
Resta selalu mendengar cerita-cerita pengalaman para pelanggan di bar, kebanyakan menyombong soal satu malam mereka dengan pria seksi atau hanya sekadar fantasi liar yang menyenangkan untuk dibayangkan atau diobrolkan di beberapa waktu. Dia bahkan sempat digoda dan diajak melakukannya, tapi menolak.
Kedua orangtua Resta cukup mengekang dalam hubungan perempuan itu dengan pria, memperingatkannya soal hamil di luar nikah dan memberi tahu tanggung jawab yang harus ditanggungnya jika menjadi ibu tanpa suami. Kedua hal itu terkesan menakuti karena diberitahu setelah dia pertama kali pacaran, tapi sekarang dia bisa agak mengerti mengenai konsekuensi itu, berkaca pada pelanggan-pelanggan yang bercerita padanya yang kebanyakan memang tidak berakhir baik.
"Aku harap kamu tidak berakhir seperti mereka."
Elisa hanya tersenyum untuk menanggapi, sementara Resta mulai menceritakan perkembangan hubungannya dengan Dean yang tidak bisa ikut menginap karena ada urusan lain. Pria itu bekerja di salah satu panti jompo di daerah jakarta pusat sebagai careworker, tapi akan pindah ke Jepang dalam satu sampai dua bulan ke depan.
Hubungan yang relatif singkat untuk Resta, tapi mereka sama-sama sepakat untuk menjalani hubungan sekarang sampai kepergian pria itu ke luar negeri dan mempertahankan hubungan itu ketika yakin dengan jarak yang harus mereka hadapi nanti.
Elisa ingat kalau mereka mengobrol sampai Resta tertidur lebih dulu, tapi sekarang, saat Elisa baru membuka mata, tahu-tahu saja dia sudah terbangun di dalam pelukan Putra dan melihat penampakan dada bidang di depan wajah. Perempuan itu tidak ingat bagaimana dia bisa berakhir satu kamar dengan pria itu, maupun keberadaan Resta yang seharusnya berada di tempat tidur sebelah.
"Apa ...."
Elisa berusaha menjauh, tapi Putra mengeratkan pelukan sehingga perempuan itu tidak bisa kabur. Kepala pria itu menempel di puncak kepala Elisa, mengusap seperti kucing yang merasa nyaman, sehingga jarak di antara mereka semakin dekat.
"Jangan pergi, tetap di sini."
Elisa masih belum menyerah untuk mendorong Putra menjauh, tanpa menjawab, dia akhirnya terpikirkan cara yang paling aman agar bisa lepas dengan mudah. Putra mengaduh sebagai hasil dari tindakan perempuan itu dan memegang sisi perutnya yang tercubit, menatap dengan mata merah khas orang baru bangun.
"Kasar sekali."
Elisa tidak peduli dan membuka selimut. Pakaian dalam yang dikenakan perempuan itu masih aman, begitu juga dengan jubah mandi selutut, yang sama dengan yang dikenakan Putra, dalam keadaan yang lebih tertutup. Tetapi pengalaman Elisa yang terakhir membuatnya tidak mudah percaya.
"Apa yang kamu lakukan di sini? Bagaimana kamu bisa masuk?" tanya Elisa sambil turun dari kasur dan merapatkan jubah mandi yang dikenakan.
Elisa tidak dapat melihat keberadaan Resta, tempat tidur yang terlihat di sebelah pun sudah tampak rapi seperti sudah lama kosong. Dari balik tirai yang masih tertutup, suasana di luar sepertinya sudah hampir menyentuh tengah hari. Perempuan itu kesiangan.
Putra akhirnya bangun dan membuka selimut. Elisa merasa lebih lega ketika melihat pria itu memakai celana training, bukan bokser seperti yang diduga. Sesuatu yang padat dan hangat sempat menyentuh perut perempuan itu tadi sehingga dia curiga kalau Putra sedang melakukan hal aneh ketika dia tidur.
"Resta pamit untuk pulang dan menitipkan kartu kamar kalian. Ada acara keluarga. Dia bilang kamu susah dibangunkan, jadi begitulah."
Elisa mengerutkan kening, heran dengan Resta yang tidak meninggalkan kartu kamar di nakas yang berada di antara tempat tidur mereka. "Apa karena itu kamu seenaknya masuk ke kamar kami?"
Putra menelengkan kepala. "Aku meminta Resta untuk check-out kamar sebelah, jadi aku pindah ke sini untuk menghemat tempat."
Dari gestur dan ucapannya, Putra seperti menantang Elisa untuk berdebat dengan jawaban yang diberikan, tapi Elisa tidak punya waktu. Dia menghembuskan napas untuk menenangkan diri.
"Baiklah, aku juga pergi."
Elisa teringat kalau Elliot akan pulang hari ini, Alex memintanya untuk mengantar adiknya itu ke bandara. Walaupun dia tidak ingin menurut pada permintaan ayah angkatnya, tapi dengan situasi sekarang, dia menjadi punya alasan yang bagus untuk pergi.
Putra menatap Elisa yang bolak balik ke kamar mandi dengan cepat, sudah berganti dengan baju baru yang dibeli sebelum mereka ke hotel dan memasang kembali wig-nya yang sudah disisir agar terlihat rapi, begitu juga dengan riasan dan kacamata yang sama.
"Cepat sekali," komentar Putra ketika Elisa sudah tampak siap untuk pergi.
Elisa tidak menatap Putra, tapi bisa melihat pria itu sudah menyeduh kopi dan minum dengan santai. Perempuan itu tidak percaya karena sempat merasa lega dengan kehadirannya dan langsung berjalan keluar. Paling tidak, dia bisa bersyukur karena semalam membawa mobil sehingga tidak perlu ribet mencari taksi.
Semoga saja dia juga tidak terlambat untuk sampai di rumah.
***
"Kamu hampir saja telat," ujar Tasha ketika Elisa memasuki rumah.
Elisa sempat ke apartemen untuk menyimpan belanjaan kemarin dan merias ulang dirinya, tapi mungkin karena itu dia jadi terjebak macet dan hampir telat menjemput Elliot. Dia tidak melihat keberadaan Alex maupun Elliot di sekitar ruang tamu.
"Maaf, Bu. Apa Elliot sudah siap?"
Tasha menyesap teh hangat. "Duduk saja dulu, dia masih mengecek barang bawaannya supaya tidak ada yang ketinggalan."
Tanpa kata Elisa duduk dan menerima secangkir teh yang sama dengan Tasha. Elliot akhirnya turun dengan satu koper dan satu ransel di punggung, tersenyum kecil ketika melihat kedua perempuan di keluarganya menunggu.
"Sudah lama, Kak?"
Elisa menggeleng. "Aku juga baru datang, sudah siap?"
Tasha berdiri dan merapikan pakaian Elliot. Dia mengecek keseluruhan tampilan anaknya itu sebelum melangkah mundur. "Hati-hati."
Elliot mengangguk dan berjalan mengikuti Elisa menuju mobilnya. Mereka segera berangkat ke bandara melewati rute tercepat. Sepanjang perjalanan, keduanya mengobrol ringan, membicarakan acara tahun baru yang dilewati masing-masing sambil mendengarkan lagu di playlist ponsel perempuan itu.
"Tadi, ibu sepertinya ingin memelukmu," ucap Elisa mangganti pembicaraan.
Elliot hanya menggeleng, mendenguskan tawa. "Tidak mungkin. Terakhir kali ibu memelukku adalah saat aku masih di taman kanak-kanak, itu pun karena aku hampir dimarahi ayah karena membuat keributan dengan anak-anak lain."
Elisa mengetahui kalau itu tidak benar, sebagai sesama perempuan yang menyayangi Elliot layaknya keluarga, tapi juga tidak ingin membela ibu angkatnya itu. Walaupun Tasha selalu melunak ketika Alex tidak ada di sekitar mereka, tapi pada akhirnya perempuan itu akan menjadikan suaminya sebagai patokan dalam memperlakukan anak mereka sendiri.
Bagaimana pun, Alex memang menjadi pembatas dalam hubungan keluarga mereka yang seakan berada di atas kaca tipis.
Keduanya kembali diam sebelum Elliot yang ganti berbicara. "Apa kamu akan tetap berada di Mahardika, Kak?"
Elisa hanya diam, jawabannya tentu sudah jelas karena dia menghabiskan hampir setengah dari masa hidup di Mahardika, tapi perempuan itu juga ingin memastikan jawaban Elliot. "Bagaimana denganmu, apa kamu akan membiarkanku tetap berada di Mahardika?"
"Tentu saja, Kak. Apapun yang dikatakan ayah padamu, itu tidak menggambarkan keinginanku yang sesungguhnya. Kita sudah sama-sama dewasa dan punya keinginan pribadi yang tidak ada kaitannya dengan keluarga itu 'kan?"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top