satu

"Hei, kalau kamu kayak begini, kelihatan menyedihkan banget," ucap Resta sambil menggeleng, tidak habis pikir.

Elisa sudah minum dua gelas semenjak tiba sejam yang lalu. Pilihan minuman beralkoholnya pun jauh lebih keras dari sekadar fruit punch, yaitu martini yang memiliki campuran vodka.

Di gelas pertama Elisa masih terlihat baik-baik saja, tapi begitu gelas kedua, lalu sekarang beralih yang ketiga, perempuan itu sudah tampak tidak fokus dan mulai mengantuk, terlihat dari kepalanya yang sesekali mengangguk. Tetapi ketika Resta ingin mengambil gelas itu menjauh, Elisa bisa mencegahnya dengan baik.

Elisa tersenyum miring. "Kasihani saja, aku memang menyedihkan."

"Kamu hanya mabuk, biasanya kamu tidak sampai seperti ini. Ada apa?" Resta terdengar khawatir.

Perempuan dengan tangan yang menopang dagu itu mendengus, memainkan bola es di gelasnya. "Tidak ada."

"Apa ini karena atasanmu lagi? Setiap kali ada masalah, pasti karena dia yang selalu ikut campur dalam pekerjaanmu."

Elisa menyesap minumannya. Dia tidak berniat untuk menjawab, tapi juga tidak menyangkal ucapan Resta. Tatapan Elisa terarah pada butiran air yang menetes di bagian luar gelas, lalu beralih ke sosok bartender yang selama ini selalu menjadi teman ngobrolnya setiap kali dia berkunjung.

"Apa?" Resta bertanya karena Elisa menatapnya terlalu lama.

"Kamu punya cerita yang menarik? Pria tampan yang seksi misalnya, di bar ini."

Resta melihat ke sekeliling dan meletakkan kain yang sejak tadi dipegangnya. Saat ini bar tidak terlalu ramai, tapi pertanyaan Elisa yang tanpa basa-basi itu membuat dua orang pria di sekitar counter menoleh. "Kamu serius bertanya?"

"Iya, ceritakan satu saja."

"Hah!" Resta tersenyum jahil. "Kamu meremehkanku? Paling tidak minta lima orang supaya kamu mendapatkan gambaran umum mengenai pria-pria yang ada di sini."

Elisa menggeleng. "Dua saja kalau begitu."

"Oke!"

Resta mulai menceritakan sosok tampan yang diincarnya akhir-akhir ini. Elisa hanya menebak, melihat ekspresi Resta yang tampak tergila-gila dan suara yang terdengar bersemangat, kemungkinan besar pria di dalam ceritanya sedang tidak ada di bar ini sehingga bartender itu bisa bercerita dengan sesuka hati.

"Kamu bahkan tahu hewan peliharaannya?" tanya Elisa tiba-tiba, menghentikan cerita Resta yang mulai TMI setelah beranjak dari pekerjaan pria itu.

"Iya! Lihat, aku bahkan dibagikan salah satu fotonya dengan kucing peliharaannya itu. Namanya Tutu."

Elisa tertawa karena mendengar pilihan nama kucing gebetan Resta. "Sepertinya kalian bakalan cocok. Siapa nama anjingmu? Toto 'kan?"

Resta mengangguk. "Iya, iya! Makanya dia langsung nunjukin foto ini, terutama ke kalung kucingnya yang memang ada tulisan nama."

Elisa memperbesar foto untuk melihatnya lebih baik, lalu menghela napas.

"Ada apa? Dia tidak terlihat seseksi itu ya?" tanya Resta penasaran, tapi kemudian mengembalikan ponselnya ke saku celana. "Sebentar."

Salah satu pelayan ternyata sedang menghampiri mereka untuk memberitahu pesanan minuman. Pelayan itu tampak tegas, mulutnya terlihat kaku ketika menatap Resta yang terlihat tersenyum tanpa rasa bersalah. Resta sudah pasti ketahuan menggunakan ponsel di jam kerja.

"Dry martini cocktail dan aperol spritz. Tolong jangan main ponsel."

"Oke, siap." Resta terkekeh, membuat pelayan itu langsung melengos untuk menyambut tamu lain yang baru datang. "Dia masih saja ketus padaku."

Elisa kembali menyesap minumannya. "Tidak usah diambil hati, mungkin saja dia hanya memberitahu supaya kamu tidak kena pelanggaran lagi. Itu sebulan yang lalu 'kan?"

"Hah ... Paling dia hanya tidak ingin melihatku bersenang-senang di jam sibuk seperti ini, sementara dia bolak-balik melayani tamu. Padahal aku juga melakukan hal yang sama."

"Hanya padaku," timpal Elisa.

"Sekarang memang hanya kamu. Lagipula, tamu lain sudah punya teman mengobrol, jadi aku hanya perlu membuatkan minuman. Tidak mungkin aku sok akrab dengan semua tamu," jelasnya sebal, tapi mulai beranjak ke barisan botol di belakang punggungnya. "Sebaiknya aku siapkan pesanannya dulu sebelum dia mengomel lagi."

Elisa mengangguk, memperhatikan Resta yang sudah mulai sibuk mempersiapkan pesanan. Bartender itu terlihat mengambil beberapa botol dan bahan lainnya, serta beberapa peralatan termasuk gelas. Dia tampak santai ketika mencampurkan semua bahan, tapi dengan akurat mempertontonkan salah satu teknik pertunjukannya yang selalu membuat kagum di setiap kesempatan.

Pelayan yang menegur Resta tadi segera kembali ke counter untuk mengambil pesanan tanpa berkata apa-apa.

"Jadi?"

"Aku ingin tidur dengan pria tampan, hanya untuk satu malam."

Elisa menertawakan reaksi Resta yang seperti melihat alien untuk pertama kalinya. Bartender itu tentu paham kalau perkataan Elisa bukan hanya sekadar tidur, tapi hubungan seksual antara orang dewasa yang mempunyai konotasi negatif bagi seorang perempuan yang belum menikah, apalagi seseorang seperti dirinya.

"Kamu benar Putri 'kan?" tanya Resta dengan tidak percaya.

"Iya, ini aku."

Untuk pertama kalinya, Elisa ingin melakukan hal gila sebagai seorang perempuan berusia kepala tiga. Pikiran Elisa secara otomatis tertuju pada satu malam spesial dengan pria tampan, khususnya yang pertama kali menarik perhatian perempuan itu di Bar Anonim.

Bar yang sekaligus menjadi tempat kerja Resta itu memiliki konsep yang unik. Semua tamunya harus mengenakan topeng, begitu juga dengan para karyawan dalam situasi apa pun. Tidak ada hari khusus, semua hari adalah kewajiban bagi setiap orang untuk mengenakan topeng agar sesuai dengan nama bar, tapi bebas mengungkapkan nama atau wajah lewat foto maupun obrolan sesuai kemauan masing-masing.

Elisa juga mencari tahu kalau beberapa pelanggan dan karyawan di sini menggunakan nama samaran. Walaupun nama asli pelanggan lebih mudah diketahui melalui pembayaran secara non-tunai, tapi untuk pencegahan dan perlindungan privasi, kebanyakan orang yang datang ke bar memakai nama alias setiap kali mengobrol.

Seperti yang dilakukan Elisa dari awal berkunjung hingga sekarang. Dia menggunakan nama alias Putri, yang merupakan bagian nama panjangnya dan terkesan generik.

"Kupikir kamu hanya iseng saja bertanya soal pria, ternyata itu tujuannya."

Elisa kembali tersenyum. Dia sendiri heran kenapa tiba-tiba menginginkan hal yang sangat duniawi sekaligus tabu tersebut, padahal dia sama sekali tidak punya waktu untuk hal remeh.

"Bagaimana menurutmu? Apa sebaiknya aku tidur dengan pria yang kamu sebutkan tadi?" tanya Elisa pura-pura serius.

Resta tampak kelabakan dan menggeleng cepat. "O-oh dia. Aku lupa kalau dia sudah punya pacar, jangan dia."

"Hm, kalau yang satu lagi? Kamu belum menceritakannya."

Pertanyaan Elisa membuat Resta melihat ke sekitarnya lagi. Beberapa lama dia hanya diam saja sambil melayani pelanggan yang baru datang ke counter, tapi kemudian wajah bartender itu terlihat cerah ketika menangkap sesuatu di pandangannya.

"Itu dia!"

Elisa yang penasaran segera menoleh, tapi tidak bisa menemukan yang dimaksud selain kumpulan orang-orang yang sedang berbicara di meja masing-masing. Suasana yang remang-remang juga tidak membantu Elisa memperhatikan dengan lebih baik tanpa kehadiran kacamatanya. Dia lupa memakai lensa kontak.

"Lihat ke arah piano, dia di sana," ucap Resta membantu.

Pandangan Elisa langsung tertuju pada piano hitam yang berada di sisi lain counter. Di sana, dia dapat melihat seorang pria yang berdiri di sisi piano itu untuk menebarkan senyum pada yang melihat, lalu duduk. Alunan permainan piano yang lembut seketika mengalun di bar, menggantikan musik latar yang sebelumnya dimainkan lewat pengeras suara.

"Pemain piano?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top