lima
"Kapan ... aku akan mulai mendampingi Elliot bekerja, Ayah?"
Elisa ingat jika sebentar lagi adalah waktu liburan, walaupun hanya singkat, tapi Elliot tidak pernah melewatkannya selama setahun terakhir. Terutama karena dia tidak pernah pulang selain pada liburan di bulan Desember.
Mereka akan menghabiskan waktu bersama selama hari-hari itu, hanya di rumah dan makan semeja, dengan anggota keluarga saja. Para pekerja, termasuk Ayu dan Wawan akan libur selama itu, sementara makanan akan diurus oleh koki yang di sewa oleh keluarga untuk malam spesial dan delivery food yang sudah dipesan dari jauh-jauh hari.
"Pertengahan Februari, tapi kalian bisa membicarakan hal ini dari sekarang. Seminggu lagi Elliot akan pulang, akrabkan diri kalian seperti saat kecil dulu. Aku tidak akan melarang."
Diam-diam Elisa tersenyum. Perkataan Alex mengingatkan perempuan itu pada sikap orangtua angkatnya yang sengaja membentuk persaingan di antara mereka, tapi juga kelakuan Elliot yang dulu selalu bersikap manis dan mengandalkan Elisa selayaknya seorang adik.
Tentu saja kedekatan kakak-beradik itu bisa terlihat ketika mereka hanya berdua saja, tapi Alex dan Natasha bisa mengetahui hal itu dengan mudah. Bagaimana pun, pada saat itu, Elisa dan Elliot adalah anak-anak yang hanya memiliki satu sama lain di keluarga besar yang sarat akan kompetisi. Bukan mereka saja, tapi satu anak lain yang lebih tua.
Elisa merasa tersendat ketika tiba-tiba teringat pada anak yang lebih tua dan berpengaruh besar pada kondisi mereka yang seperti itu. Anak tunggal dari pamannya yang sudah meninggal, tapi laki-laki itu juga sudah dinyatakan hal yang sama meski jasad yang dimaksud tidak pernah ditemukan.
Kalau tidak salah, dia juga memiliki dua nama yang serupa dengan Elliot meski susunannya berbeda.
"Kamu sudah boleh pergi." Alex memutus lamunan Elisa di tengah-tengah ingatan yang sudah lama terkubur. "Istirahatlah."
Elisa tidak menunggu lama untuk beranjak dari ruangan yang menyesakkan itu, tapi panggilan Alex menghentikan langkahnya.
"Aku harap, selama seminggu ke depan, kamu tetap tinggal di rumah dan tidak ke mana-mana selain ke kantor, Elisa."
Elisa mengangguk. "Iya, Ayah."
Alex tidak mengatakan apa pun lagi sehingga kali ini Elisa benar-benar pergi.
Tasha dan Ayu tidak terlihat di mana pun ketika dia ke bawah, Elisa menduga kalau pembicaraan ringan dengan ibu angkatnya itu akan ditunda selama perempuan paruh baya itu menghadiri acara sosialita, yang mungkin diadakan secara dadakan.
"Non Elisa, maaf saya bertanya. Siang ini Non Elisa mau makan apa?"
Elisa menatap Bibi yang mengurus rumah menghampirinya. Bibi itu kemungkinan besar belum lama bekerja karena Elisa tidak pernah melihatnya sebelum ini. "Buat saja seperti punya Ayah, Bi."
"Hari ini Tuan tidak makan siang di rumah, Non." Raut wajah Bibi itu terlihat tidak enak hati. "Apa Non Elisa juga sama?"
"Oh ... kalau begitu kentang goreng saja, dan tolong beri saus."
Wajah Bibi itu terlihat cerah, seperti seseorang yang baru saja mendapatkan kabar bahagia setelah beberapa hari lamanya. "Baik, Non. Akan saya antar ke kamar begitu siap."
Elisa rasanya ingin tertawa miris, tapi juga tidak bisa tidak merasa kasihan karena kesulitan yang dialami Bibi itu. Sebagai satu-satunya pekerja yang mengurus rumah tangga, mulai dari memasak hingga mencuci pakaian, tidak ada seorang pun yang membantu dalam pekerjaan yang terdengar sepele itu.
Ayu hanya mengurus stok bahan makanan dan pembelian lainnya untuk kebutuhan di rumah, sementara Wawan mengurus mobil dan area taman. Terdapat dua orang satpam yang menjaga rumah, tapi mereka tentu tidak akan terlibat dalam tanggung jawab Bibi.
Elisa mengerti jika hal yang membuat Bibi itu kesulitan bukan tugas rumah tangganya, tapi sikap kedua tuan rumah yang selalu mempunyai permintaan atau keluhan dalam menanggapi hasil pekerjaan asisten rumah tangga yang tidak memuaskan. Mulai dari rasa masakan atau sekadar debu yang masih menempel di permukaan meja.
Dia mengingat Bibi sebelumnya, seseorang yang tidak memiliki relasi apa pun dengan Alex dan Tasha, tapi bertahan paling lama di rumah ini. Dua tahun dan tidak ada pesan berpamitan untuk Elisa adalah petunjuk kalau perempuan itu sudah muak.
"Terima kasih, Bi."
Bibi itu mulai menjauh, sementara Elisa berjalan menuju kamarnya yang sangat dekat dengan pekarangan belakang rumah. Kamar yang ditempati Elisa sejak pertama kali kepindahan perempuan itu tidak pernah berubah, hanya polos tanpa hiasan, tidak ada kepribadian yang terlihat dari perabotan yang ada.
Elisa meletakkan tas di meja sebelum berbaring di tempat tidur. Paling tidak, dia bersyukur karena Bibi itu membersihkan kamarnya selama dia tidak pulang.
"Tidak ada habisnya, ya ...."
Elisa menatap kosong langit-langit kamar. Tubuhnya kembali terasa pegal karena melepas ketegangan selama mengobrol dengan Alex. Dia sepertinya harus datang ke spa selagi sempat, tapi entah kenapa perempuan itu belum ingin ke mana-mana untuk beberapa saat. Mungkin setelah kentang goreng selesai disantap.
Elisa meraih ponsel di dalam saku celana lalu mengirim pesan pada Sarah, menanyakan jadwalnya selama beberapa hari yang tersisa di bulan Desember serta catatan pengingat untuk melatih Elliot tahun depan. Seingat perempuan itu, liburan bulan ini benar-benar singkat karena tanggal merah jatuh di hari Minggu.
Selama setahun yang hampir tidak ada waktu untuk istirahat, Elisa selalu saja sibuk walaupun bukan di kantor. Tetap saja, mengetahui hal itu, Alex kembali menambah pekerjaan perempuan itu seakan apa yang dilakukannya selama ini bukan apa-apa. Sekretarisnya itu mungkin juga akan kesulitan karena menyusun ulang jadwal tahun depan yang sudah dibuatnya sebelum ini.
"Halo."
"Bu Elisa melatih Pak Elliot mulai tahun depan?" tanya Sarah dengan tidak percaya, lewat panggilan telepon yang dimulainya lebih dulu, tidak seperti biasa. "Di bulan Februari?"
"Benar. Kamu bisa mengaturnya 'kan?" tanya Elisa.
Helaan napas yang berat terdengar. "Ah, maaf, Bu! Aku hanya merasa jadwal Ibu semakin padat dengan tambahan ini, kalau aku sendiri sebenarnya tidak masalah ... apa ini permintaan—?"
"Iya."
Sarah tidak menyebutkan nama orang yang menyebabkan masalah ini, Alex, tapi mereka sudah sama-sama tahu tanpa perlu membahasnya lebih lanjut.
"Aku akan menyusunnya ulang supaya Ibu bisa mengambil napas di antara jadwal. Tunggu ya, Bu. Besok akan saya lampirkan."
Elisa menarik napas pelan. "Terima kasih."
"Bu Elisa ... jangan lupa istirahat. Selamat hari Minggu."
Elisa membalas ucapan Sarah sebelum menutup telepon. Dia memejamkan mata sambil mengatur napas, merilekskan diri dan memikirkan apa yang sudah dilakukannya selama menjelang penghujung tahun. Seperti yang diduga, hal yang paling banyak adalah mengenai perusahaan dan Bar Mahardika.
Malam panas dengan Putra kemarin adalah satu-satunya hal yang dilakukan Elisa tanpa memikirkan tanggung jawab sekaligus citra perempuan itu sebagai CEO. Dia juga pergi ke Bar Anonim dalam hitungan satu tangan dan tidak lebih dari itu.
Pikiran untuk istirahat? Rasanya masih sangat jauh bagi Elisa untuk hal itu, bahkan jika memikirkan keadaan dirinya yang sudah seperti kain rombeng dan hal-hal negatif yang selalu menerpa pikiran perempuan itu ketika membayangkan kehidupan di luar perusahaan yang bagi Elisa sudah terasa familiar.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top