enam
Hari berganti hari, waktu seminggu untuk kepulangan Elliot ke Indonesia akhirnya tiba. Para pekerja sudah boleh pulang sejak kemarin, sehingga pagi hari di rumah mewah itu benar-benar terasa sepi. Ketika berjalan ke sekitar rumah, sekalian peregangan di pagi hari, Elisa benar-benar tidak melihat ada orang lain yang mengurus pekarangan maupun menjaga pos kecil di halaman depan seperti beberapa hari lalu. Keberadaan Alex dan Tasha juga tidak terlihat di mana pun.
Untuk sesaat Elisa kebingungan, tapi kemudian teringat ucapan ibu angkatnya kalau mereka akan mulai menyeleksi koki untuk dibawa ke rumah pada malam ini, sekalian menjemput Elliot di bandara. Mereka sudah sempat bertukar kabar semalam, dan Elisa melihat keadaan adik angkatnya itu sebatas dari tampilan wajah lelah dari layar ponsel Tasha yang masih kelihatan dari jauh.
Elisa memulai hari dengan minum tonik, air dengan potongan lemon besar, dan roti panggang sebagai sarapan. Dia berniat untuk pergi ke kafe yang biasa dikunjungi ketika senggang. Alih-alih menetap di rumah yang sepi, lebih baik dia ke sana agar pikiran perempuan itu tidak berlarian ke mana-mana.
Hanya seminggu berada di rumah ini sudah membuat keadaan Elisa seperti tak terkendali.
Pergi ke kantor dan pulang ke rumah bertemu Alex, belum lagi dengan obrolan 'ringan' Tasha yang semakin mendorong Elisa agar melatih Elliot dengan baik dan tidak semena-mena.
"Elliot, anakku, jauh lebih muda darimu. Tetapi yang harus kamu ingat adalah dia anak yang istimewa, kamu tidak boleh hanya menganggapnya sebagai seorang adik, atau bahkan bawahan yang harus kamu latih lalu tinggalkan, tapi dampingi sampai dia benar-benar berhasil. Kamu kakak yang baik selama ini 'kan?"
Elisa berusaha mengingat sudah berapa kali dia bertukar kabar dengan Elliot ketika sudah tidak tinggal serumah. Tidak ada. Mereka seperti orang asing semenjak adik angkatnya pindah ke asrama di Yogyakarta, padahal dia masih SMP, lalu melanjutkannya hingga ke SMA. Elisa baru sadar kalau Tasha sudah mempersiapkan anak laki-laki itu sehingga bisa mandiri di Australia.
Setiap kali Elliot pulang ke rumah untuk menghabiskan libur panjang, hanya sesekali mereka bisa bertemu karena kesibukan Elisa berkuliah dan bolak-balik dari rumah ke kampus hampir setiap hari. Anehnya, Alex maupun Tasha tidak mengijinkan perempuan itu untuk tinggal sendiri ketika masih berkuliah di Jakarta dan memulai pekerjaan pertama di Mahardika setelah lulus.
Baru ketika dia harus meraih gelar MBA, seperti Elliot saat ini, Elisa dibiarkan sendiri.
"Aku akan berusaha yang terbaik, Bu," ucap Elisa untuk menjawab permintaan yang diajukan Tasha.
Obrolan ringan pada hari itu dilanjutkan dengan cerita-cerita Tasha mengenai pertemuan sosialita yang dihadirinya selama Elisa tidak pulang. Perempuan itu hanya dibiarkan mendengarkan dan memberikan reaksi remeh yang diharapkan oleh perempuan paruh baya yang kelihatan masih muda dan anggun tersebut.
"Apa dia juga sudah tahu?" gumam Elisa pada saat roti panggang di piring sudah habis dan dia akan mencucinya sebelum bersiap ke kafe.
Setelah dipikirkan, kemungkinan besar Elliot memang sudah tahu dan mungkin saja Elisa adalah orang terakhir di keluarga mereka yang mengetahui tanggung jawabnya itu nanti.
Dia hanya menghela napas sebelum beralih ke kamar lalu berangkat.
***
Elisa mungkin sudah pernah mengatakannya, tapi hari libur bukanlah sesuatu yang ditunggu-tunggu seperti yang dilakukan orang lain. Seperti sekarang. Dia, Elliot, begitu juga dengan orangtua mereka sedang duduk di meja makan bersama-sama, menunggu koki menyajikan makanan dengan bantuan para asisten.
Santapan malam itu sama saja seperti tahun lalu. Tenang dan tidak banyak obrolan, hanya lagu suasana liburan dan hiasan-hiasan yang dipasang dengan terburu-buru menjadi pemeriah suasana.
"Natasha." Alex berdiri dan mengulurkan tangan pada istrinya.
"Sayang ...."
Tasha tanpa ragu menyambut, lalu mereka melangkah menuju lantai dansa kecil-kecilan yang disiapkan sebelum Elisa pulang dari kafe. Ruang tamu dengan beberapa perabot seperti sofa dan meja laci sudah lenyap, digantikan dengan lantai yang beralaskan karpet yang terasa lembut di kaki.
Secara otomatis, keduanya berdansa mengikuti lagu, tenggelam dalam sorot mata penuh cinta masing-masing dan mungkin sudah sepenuhnya lupa dengan kehadiran Elisa dan Elliot yang masih berdiam di meja makan.
"Kamu tidak makan?" tanya Elisa memulai pembicaraan.
Perempuan itu melihat piring Elliot yang masih terisi penuh. Hanya beberapa irisan daging yang dia makan, tapi mashed potato, begitu juga dengan lauk makanan yang lain sama sekali tidak disentuh olehnya. Tasha yang selalu lebih sedikit makan saja sudah menghabiskan tiga potong kue sebelum berdansa.
Elliot menggeleng. "Sudah kenyang. Mereka sudah membelikan makanan setelah menjemputku di bandara, jadi perutku sekarang benar-benar penuh." Laki-laki itu beralih menatap piring Elisa. "Kamu juga sama."
Elisa memperhatikan isi piringnya yang tidak jauh berbeda. Dia tidak bernafsu karena tidak nyaman dengan kehadiran Alex dan Tasha, apalagi karena pembicaraan mereka yang selalu tidak jauh-jauh dari sosok laki-laki yang delapan tahun lebih muda itu, selama beberapa hari terakhir. Tetapi untuk sekarang, mungkin bisa sedikit dipaksakan karena kedua orang itu sedang sibuk.
"Iya, ini mau aku akan makan ...."
Elliot tidak mengatakan apa-apa, tapi bukannya memperhatikan kedua orangtua mereka berdansa, tatapan adik angkatnya itu malah terarah pada kunyahan Elisa.
"Ada apa?" Elisa akhirnya bertanya karena tidak tahan menerima tatapan Elliot lagi.
Mata Elliot mengedip seakan baru tersadar. "Maaf. Aku hanya merasa kalau kakak ternyata cantik juga."
Elisa mengerjap, begitu juga dengan Elliot. Perempuan itu terlalu terkejut karena pujian itu berasal dari adik angkat yang sudah lama tidak berbicara dengannya. Sangat tidak biasa dan membuat Elisa merasa canggung.
"Kamu tidak lupa kalau kita bersaudara meski hanya di atas kertas 'kan?"
Elliot mengangguk, masih terlihat tenang. "Aku berkata seperti itu sebagai pernyataan dari apa yang kuperhatikan, bukan pengakuan cinta."
"Oh."
Elisa merasa wajahnya dengan cepat memanas karena salah paham dan buru-buru minum air. Dia dapat melihat Elliot yang berusaha menahan tawa dengan menundukkan kepala, tapi bahunya tidak bisa berbohong dan terlihat bergetar.
Perempuan itu melihat ke arah Alex dan Tasha yang masih berdansa lalu beralih ke Elliot yang masih dalam posisi sama. "Apa kamu sedang mengisengiku?"
"Iya." Elliot mengaku tanpa sedikit pun menyembunyikan senyum. "Ternyata kamu benar-benar belum pacaran ya."
"Memang kamu sudah?"
Elliot tersenyum. "Kakak sudah tahu, buat apa bertanya padaku lagi? Selama ini aku kira hanya orang-orang ayah atau ibu yang membuntutiku, tapi ternyata kakak juga."
Elisa memijat pelipis, merasa pusing karena tiba-tiba diserang oleh Elliot mengenai perbuatannya selama ini. "Maaf."
"Tidak apa-apa. Aku jadi tahu kalau keluargaku masih memperhatikan meski aku ada di negara orang." Elisa terdiam, sementara Elliot menguap hingga air matanya mengalir. "Aku harap, kamu tidak merasa keberatan dengan aku yang ada di sini, Kak."
Dari perkataannya, Elliot ternyata sudah mengetahui pelatihan yang akan diterima sekitaran dua bulan lagi. Nada suara laki-laki itu juga terdengar seperti ketulusan yang sudah lama tidak didengar Elisa semenjak mereka bermain bersama dulu sekali.
Elliot, ternyata tetaplah Elliot.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top