dua puluh tujuh
Kalau ditanya seperti itu, entah apa yang harus dijawab Elisa mengenai tawaran kerjasama tersebut. Dia hanya bisa merasakan keinginan pertama yang terlintas di benaknya dengan sangat jelas adalah kabur. Perempuan itu merasa dalam bahaya hanya karena mendengarkan Putra, atau sekarang Oliver, mengatakan tujuan dari kerjasama yang akan dibentuk jika dia sudah setuju.
"Apa kamu sudah gila?" tanya Elisa takut, sudah membayangkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi jika dia bergabung dan rencana menggulingkan Alex mulai berjalan.
Oliver terlihat sedang menatap Elisa yang masih berada di jangkauan tangan pria itu, meski sudah tidak bisa dibilang dekat lagi. Selimut yang awalnya berhasil menutupi pasangan itu, sekarang berakhir menjadi pakaian darurat yang hanya menyelimuti Elisa, sedangkan pria itu tidak mengenakan apapun kecuali bokser untuk menutupi tubuhnya yang didera pendingin ruangan kamar hotel.
Pria itu tersenyum, terlihat maklum dengan tanggapannya. "Aku yang gila, atau kamu yang terlalu takut?"
Elisa menelan ludah. Walaupun tidak mengatakan apa-apa, raut wajah perempuan itu sudah sangat jelas mengatakan jawaban yang benar adalah yang kedua. Dia seseorang yang penakut, tapi terutama karena Elisa juga sudah menerima perlakuan Alex yang jelas tidak lembut hampir seumur hidup yang masih diingat olehnya.
Dia tahu bagaimana sifat ayah angkatnya yang selalu meledak-ledak, hampir seperti petasan yang biasa dimainkan untuk iseng oleh anak-anak dan kekerasan adalah hal yang paling sering dilakukan oleh pria paruh baya itu untuk mendisiplinkan sifatnya atau hanya ketika mood-nya sedang buruk dan kebetulan saja Elisa di sana.
Jika pada anak angkatnya, yang selama ini selalu dijadikan Alex sebagai piala berjalan, dia seperti itu, entah apa yang dia lakukan ketika mengetahui anak kandung dari orang yang paling dibenci pria itu ternyata masih hidup dan berada di tempat tidur yang sama dengan Elisa.
Kematian mungkin akan kembali menghantui pria itu, begitu juga dengan Elisa karena sudah dianggap pria paruh baya itu sebagai pengkhianat, kemudian meletakkan kesalahan sepenuhnya pada perempuan itu seperti yang selalu dilakukan Alex selama ini pada orang-orang atau pihak yang sebenarnya tidak bersalah, sekaligus memiliki tingkatan yang menurut ayah angkatnya lebih rendah atau berada dalam posisi yang jauh lebih lemah.
Elisa akhirnya menjawab setelah lama terdiam. Dia tidak akan mungkin melakukannya ketika posisi yang dimiliki sekarang belum cukup kuat maupun lebih stabil dari Alex yang jauh di atasnya. "Aku tidak bisa, maaf."
Perempuan itu mulai beranjak dari tempat tidur, memungut pakaian yang berceceran dan memakai yang bisa dipakainya langsung di antara belitan kain tebal yang menutupi tubuh, sebelum mengembalikan selimut ke kasur. Dalam hitungan menit, Elisa sudah memakai pakaiannya dengan lengkap, begitu juga dengan wig yang sempat terlepas dan meraih tas miliknya yang terletak di sekitar sana, memasukkan topeng ke dalam.
"Apa kamu sama sekali tidak mau mencoba?" tanya Oliver lagi, kembali membujuk. "Aku akan memastikan kamu terlindungi, tapi kamu memang harus berperan aktif dalam rencana ini."
"Bagaimana caramu ketika melindungiku nanti?" tanya Elisa pelan.
Oliver mengubah posisinya menjadi duduk, meraih selimut yang diletakkan Elisa untuk membungkus tubuhnya yang mulai menggigil. "Kita bisa memikirkannya nanti, setelah kamu menyetujui rencana ini dan mengumpulkan beberapa orang lagi untuk ikut serta. Semakin banyak orang, semakin baik 'kan?"
Elisa meragukan ucapan pria itu yang seakan menganggap apa yang dilakukannya nanti akan berjalan semudah itu, terkesan meremehkan dan membuat perempuan itu terdiam di tempat. Entah pria itu tahu sepak terjang Alex selama ini, tapi pria paruh baya itu bahkan berhasil meruntuhkan pesaing mereka dalam satu kedipan mata. Setiap lawan ayah angkatnya tidak bisa berkutik sama sekali ketika Alex sudah menjatuhkan penilaian buruk dan meminta siapa maupun apa menyingkir dari jalannya.
Dia menatap Oliver dengan pandangan yang diusahakan tidak terbaca oleh pria itu lalu menggeleng. "Aku bahkan tidak ingin mengingat pembicaraan malam ini."
"Jadi kamu tidak setuju."
Elisa tidak menanggapi pernyataan Oliver, sementara pria itu hanya menatap Elisa melangkah keluar dari kamar hotel mereka, merasa muak dengan pembawaan sosok itu yang seakan tidak terganggu dengan apapun yang mungkin saja terjadi.
Perempuan itu berjalan cepat menuju lift dan turun, melewati beberapa staff hotel yang masih berjaga di waktu malam. Seiring langkah perempuan itu, yang sudah keluar dari pelataran hotel, napasnya terasa memburu, memikirkan kebahagiaan yang dilalui selama beberapa hari terakhir hanya seperti bunga tidur yang terlalu indah untuk jadi kenyataan. Sama seperti rencana pria itu.
Elisa tahu jika sejak awal Oliver terlalu mencurigakan sebagai sekadar pria baik-baik. Bagaimana bisa seseorang yang mengikutimu kemanapun adalah orang baik? Bahkan tanpa memperkenalkan identitas dan dengan seenaknya masuk ke dalam ranah pribadi perempuan itu. Tetapi perempuan itu juga menyalahkan diri karena membiarkan pria itu masuk begitu saja.
Elisa mengakui kalau dia terlena, pada perlakuan manis dan mendebarkan pria itu, dalam sisi yang baik maupun buruk, lalu tenggelam dalam perasaan itu lebih lama dari yang seharusnya dilakukan perempuan itu. Malam panas yang sempat dilaluinya sebelum ini bahkan terasa sangat jauh sekarang.
Setitik harapan yang dimiliki Elisa terhadap pria itu, bayangan jika Putra memiliki perasaan yang sama pada perempuan itu, seperti yang terjadi sebaliknya, seketika lenyap. Pria itu bahkan sudah menipunya selama ini, berpura-pura tidak tahu dengan apa yang harus dilalui perempuan itu dan malah memainkan perasaannya yang memang terlalu rapuh.
"Brengsek."
Elisa menghentikan langkah di salah satu bangku panjang yang tersedia di sisi jalan raya yang sudah hampir sepi, membiarkan perasaan yang ditahannya sejak tadi meluap. Jika Elisa tahu akan seperti ini, dia seharusnya lebih memanfaatkan waktu yang ada agar bisa mempersiapkan hati agar tidak sehancur ini atau malah tidak melibatkan perasaan sejak awal dan sepenuhnya bermain mengikuti pria itu.
"Apa bedanya kamu dengan Alex jika seperti ini?" Elisa kembali bergumam.
Dia teringat dengan perlakuan Oliver selama ini, hampir seperti Alex yang melatihnya agar patuh dengan segala perintah, meski pria itu melakukannya dengan pendekatan yang berbeda.
Pada akhirnya, pria itu pasti hanya akan memanfaatkan Elisa untuk meraih tujuannya. Tadi pun, dia bahkan tidak berusaha menyembunyikan kenyataan itu dan terlihat bangga dengan rencana yang sudah disusun. Perempuan itu menertawakan kebodohan yang dialaminya saat ini, merasa familiar dengan salah satu pepatah yang pernah didengarnya.
Niatnya untuk menjauh dari kekangan Alex, malah hampir membawanya ke kekangan tak terlihat pria itu yang seperti buaya.
Elisa menghapus air matanya dengan kasar, lalu meraih ponsel di dalam tas, membuka aplikasi untuk memesan kendaraan yang akan menjemput perempuan itu di depan sebuah bangunan dengan logo franchise yang sudah menjamur akhir-akhir ini.
Dia memutuskan untuk pulang dan tidur, berharap jika apa yang sedang dirasakannya akan terkubur dalam-dalam dan tidak akan muncul kembali ke permukaan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top