dua puluh satu
Putra menepati janjinya, begitu juga dengan Elisa. Pria itu akan mendatangi Elisa ketika mereka berada di Bar Anonim, seusai bermain piano atau setelah mengobrol dengan beberapa pelanggan bar yang hadir.
Ketika diperhatikan, Elisa menyadari jika Putra memiliki banyak orang di sekitarnya yang seakan tidak pernah habis maupun berkurang sejak dia datang ke bar. Entah apa yang mereka obrolkan sehingga menghabiskan banyak waktu dan tidak pernah kehabisan topik, tapi Putra juga tampak menikmati semua perhatian itu.
"Biasanya, mereka ngobrolin apa kalau bareng-bareng begitu?" tanya Elisa karena penasaran.
Perempuan itu baru saja tiba beberapa saat yang lalu, menerima minuman andalan Resta yang sedang tidak ingin menampilkan atraksi, tapi juga memiliki kadar alkohol yang rendah dan cocok untuk menemani Elisa saat ini. Mojito.
Resta yang lebih banyak diam karena kondisi bar yang lumayan sepi hanya bisa mengerjap dan menatap Elisa kebingungan. "Siapa sama siapa?"
"Putra, di sana."
Resta melihat ke arah yang sama dengan Elisa sekarang. "Oh, mereka ... mana aku tahu."
Elisa menatap Resta dengan sorot yang agak kecewa. Bartender yang merupakan teman dekat perempuan itu seharusnya selalu tahu mengenai obrolan di bar, tapi ternyata sumber pengetahuan Elisa selama ini ternyata tidak mengetahui segala hal seperti yang dikiranya.
"Bukan tidak tahu, aku hanya malas untuk tahu lebih jelas karena obrolan mereka seputar perempuan malam, jadi lebih baik kamu tidak perlu tahu lebih banyak, seperti yang kulakukan." Resta membela diri setelah melihat raut wajah Elisa setelah mendengar jawaban.
"Oh, begitu rupanya ...."
Meski perempuan itu tidak datang setiap hari, tapi Elisa berusaha mampir di setiap waktu yang sama, tiga kali dalam seminggu dan sepulangnya dia dari kantor.
Elisa merasa agak kecewa karena Putra tidak benar-benar mengarahkan atensi pada dirinya yang sudah berusaha datang hampir setiap hari itu, tapi juga tidak bisa berbuat apa-apa karena hubungan keduanya belum sampai pada tahap yang serius seperti itu.
Boro-boro serius, berkembang ke arah yang lebih santai saja masih cukup sulit karena Elisa terlalu sering bersikap tegang, sementara Putra tidak menyadari semua itu dan membiarkan dia apa adanya. Seperti sekarang.
Putra akhirnya menjauh ketika salah satu pria di kumpulan mereka memberitahu kehadiran Elisa. Sepertinya kehadiran perempuan itu di bar seperti sudah memberitahu jika tujuannya datang adalah mengobrol dengan Putra.
"Apa kamu menunggu lama? Aku sepertinya keasikan mengobrol dengan mereka sehingga tidak menyadari kalau kamu sudah datang," ujar Putra sambil tersenyum.
Topeng yang dikenakan Putra membuat Elisa tidak bisa melihat keseluruhan dari wajah pria itu, tapi dia tetap bisa mengetahui bagaimana kerutan yang akan tercipta di dahi ketika pria itu mengangkat alis.
Elisa menyesap minuman, berusaha terlihat santai. "Tidak apa-apa, aku juga baru datang."
Putra melirik ke arah gelas minuman Elisa yang isinya sudah berkurang hampir sepertiga dari ukuran awal, begitu juga dengan perempuan itu yang menyadari jika kebohongan yang dikatakannya barusan tidak berguna.
"Baiklah." Putra tidak membahas lebih lanjut dan hanya tersenyum.
Dari sana, keduanya mulai mengobrol seperti biasa, sangat berbeda jika dibandingkan dengan perkenalan yang dilakukan setelah kesepakatan mereka saat itu. Resta bahkan sampai tidak bisa menahan tawa karena tindakan mereka benar-benar terlalu konyol untuk diperhatikan.
Elisa berusaha untuk tidak mengingat itu karena hanya dia lah yang membuat situasi itu menjadi canggung dan kembali ke masa sekarang, dengan obrolan-obrolan ringan dan benar-benar bertujuan untuk saling mengenal. Dengan begitu, bukan hanya Putra yang mengetahui beberapa hal dari Elisa, tapi begitu juga dengan perempuan itu.
"Kamu punya adik?"
Putra tersenyum. "Lebih tepatnya keponakan, umur kami bertiga terpaut cukup jauh karena mereka anak dari sepupuku."
Elisa sama sekali tidak menyangka jika pria itu bisa mempunyai adik. Obrolan mereka terus berlanjut dengan kesukaan masing-masing yang ternyata sangat berbeda dengan satu sama lain, tapi terdapat kompromi dari hal tertentu, seperti film atau seri fantasi yang akhir-akhir ini mereka ikuti. Begitu juga dengan alasan mereka datang ke bar sehingga membuat Resta menjadi besar kepala.
"Hah! Di mana lagi memang kalian menemukan bartender yang seahli diriku dan menerima segala curhatan dari segala pelanggan? Aku memang satu-satunya di daerah ini," ucap Resta menyombong, membuat Elisa dan Putra tertawa, tapi juga jitakan dari bartender lain yang bekerja sama dengan perempuan itu.
***
Tanpa bisa dihindari lagi, hubungan antara Elisa dan Putra semakin dekat. Mereka sekarang juga sudah bertukar nomor ponsel masing-masing sehingga bisa saling bertukar kabar dengan satu sama lain tanpa perlu bertemu di bar terlebih dahulu, meski tetap datang ke bar seperti biasanya.
Suasana hati Elisa akhir-akhir itu juga baik. Dia menjadi lebih rileks dan santai, sudah mulai terbiasa dengan ritme kerjanya yang baru dan tidak memforsir diri sendiri dalam pekerjaan yang berlebihan.
Setiap pulang kerja, bukan lagi rumah yang menjadi satu-satunya tempat yang dikunjungi Elisa, tapi juga Bar Anonim yang secara tidak resmi menjadi rumah keduanya. Perempuan itu sudah mengubur keresahan dirinya mengenai Alex yang ingin menyingkirkan dia beserta anak buahnya dan fokus pada saat ini.
"Kamu akhir-akhir kelihatan beda banget ya," ucap Resta berkomentar, tapi anehnya dengan wajah cemberut yang membuat pipi tembem perempuan itu semakin membulat.
Elisa hanya tersenyum, tidak menjawab, tapi dengan jelas menyatakan jawaban lewat ekspresi yang cerah dan membuat Resta berdecih sebal. "Ada apa?"
"Aku sudah berusaha berbicara denganmu, tapi pikiranmu sepertinya hanya seputar Putra saja sehingga tidak peduli dengan hal lain."
Elisa tidak bisa menyangkal. Akhir-akhir ini, obrolan di antara dia dan Putra menjadi semakin dekat dan mesra, bahkan tempat duduk mereka sudah berpindah dari meja yang berhadapan langsung dengan bartender ke tempat yang lebih terpojok dan bisa lebih leluasa berdekatan dengan satu sama lain.
"Aku kesepian, tidak punya teman bercerita lain karena kamu dan Dean sama-sama sibuk." Resta masih mengeluh. "Sebentar lagi sepertinya aku akan bercerita dengan Toto atau tembok di rumah."
"Maaf. Hubungi aku saja saat libur nanti, aku akan menyempatkan waktu untuk mendengarkan."
Resta mendengus. "Tidak usah." Dia tiba-tiba tampak penasaran dan terlihat agak jahil saat menatap Elisa lagi. "Dari pada itu, aku lebih penasaran sama hal lain. Kalian sudah pacaran kan? Coba ngaku."
Elisa menggeleng, hampir menghapus senyum di wajahnya. "Hampir, tapi aku menolaknya dan memilih untuk hubungan tanpa status seperti ini."
Walaupun dengan semua hal manis yang dilakukan oleh Putra, seperti hadiah-hadiah atau makanan kecil yang menemani mereka minum, maupun semua obrolan yang mereka lakukan, Elisa masih belum bisa percaya sepenuhnya dengan Putra.
Elisa memang tertarik pada Putra, bahkan sudah dalam tahap menyukai, tapi dia tidak bisa mengabaikan kecurigaan mengenai identitas pria itu yang sama sekali tidak bisa ditemukan. Putra seakan hanya hidup tanpa meninggalkan satu pun jejak di internet, tidak seperti orang-orang biasanya.
Satu-satunya hal yang ada adalah Putra yang bergabung di dalam kartu keluarga sepupunya, Mbak Tanti, ketika berumur sama dengan Elisa sekarang. Selain itu, informasi seperti masa kecil, pendidikan, sampai keluarga langsungnya sama sekali tidak ada.
"Kamu ... benar-benar aneh. Kenapa kamu malah memilih hubungan yang seperti itu?" tanya Resta tidak mengerti.
Elisa tersenyum sekilas. "Tidak usah memusingkan hubunganku, kamu tenang saja."
Resta mencebik, tapi kemudian kembali heboh ketika memberi tahu band kesukaannya akan merilis lagu baru setelah beberapa lama. Elisa menyesap minuman dan tahu-tahu saja merasakan seseorang menyentuh bahunya.
"Kamu sudah menunggu lama?"
Putra memberikan kecupan di pipi Elisa, membuat Resta memutar bola mata iri dan menyingkir, sudah bisa menebak apa yang terjadi selanjutnya.
Elisa membalas kecupan pria itu dengan sentuhan bibir yang singkat, menatap Putra yang sudah dianggap perempuan itu sebagai bagian dari hidupnya yang terpisah dari Mahardika. Dia tersenyum lembut.
"Aku juga baru saja sampai."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top