dua puluh lima

Elisa tidak tahu harus merasa senang atau sedih ketika ada banyak investor yang tertarik untuk menjalin kerjasama dalam terbangunnya Bar Mahardika. Dia baru saja selesai mengadakan rapat pemegang saham untuk membahas proyek yang masih dipegang perempuan itu untuk sementara dan berusaha menahan diri agar tidak merasakan pahit setelah Alex menggembar-gemborkan kemampuan Elliot yang akan pulang dalam waktu beberapa hari.

Di saat seperti ini, Elisa kembali teringat pada Bar Anonim dan kenyamanan yang ditawarkan. Terutama saat ada seseorang di sana yang bisa membuat perempuan itu sepenuhnya lupa dengan masalah hati yang mendera sekarang.

"Sarah, apa aku egois jika merasa tidak adil saat ini?" tanya Elisa tiba-tiba.

Sarah yang sedang bergumam sendiri, yang selalu terjadi ketika menambah detail dalam laporan mengenai rapat yang harus dikerjakan setelah ini, tampak terkejut dengan pertanyaan Elisa. Mereka saat ini sedang berada di dalam lift, berniat untuk kembali ke ruangan masing-masing.

"Maaf, Bu. Bisa tolong ulangi pertanyaannya? Aku tidak terlalu mendengar karena Pak Alex berbicara terlalu cepat selama rapat tadi dan aku sedang berusaha mengingat apa saja ucapannya."

Lift berdenting tepat setelah itu, memutus percakapan yang belum sepenuhnya terbentuk dan Sarah yang kelihatan masih menunggu jawabannya. Elisa rasanya ingin tertawa karena sekretarisnya, yang sebelumnya tidak ambil pusing dengan perkataan Alex lebih dari pada perempuan itu, sekarang sudah seperti pindah haluan.

Elisa tidak tahu apa yang dilakukan ayah angkatnya itu sehingga bisa mengubah Sarah yang dikenal oleh perempuan itu sebelum ini.

"Bukan apa-apa. Selamat bekerja, Sarah." Elisa pamit ke dalam ruangan tanpa menunggu balasan Sarah.

Mau tidak mau, Elisa juga harus melanjutkan pekerjaannya di sisa waktu kerja hari ini dan tidak berlarut-larut dalam perasaan yang terasa akan memberatkan aliran tanggung jawab dalam tugas-tugas yang harus diselesaikan, sebelum mengijinkan diri sendiri untuk bersantai dan kembali ke rumah kedua perempuan itu. Bar Anonim.

***

Alunan piano kembali menyambut kedatangan Elisa ke bar. Kali ini perempuan itu terang-terangan memperhatikan Putra yang sedang serius bermain piano, mengalunkan musik lewat gerakan jemari yang lincah di atas tuts piano dan memejamkan mata.

Bayangan akan taman yang indah di salah satu pusat kota, hijau dan anehnya terasa sejuk di siang hari seakan muncul di benak. Putra seakan memainkan permainan kali ini untuk membawa ketenangan bagi para pelanggan, bukan hanya menghibur seperti permainan pianonya yang biasa.

"Ada yang sedang mellow hari ini."

Elisa duduk di hadapan Resta dan kembali menoleh ke arah Putra untuk sesaat. "Maksudmu Putra?"

Resta mengangguk. "Kalau kamu datang beberapa menit lebih cepat, pria itu kelihatan agak beda hari ini. Tetap tampan ngomong-ngomong, meski aku tidak tertarik padanya, tapi ada beberapa pelanggan perempuan yang jadi tertarik untuk mendekatinya tadi."

"Bukan kah itu sudah biasa?"

Elisa bertanya bukan karena cemburu. Setelah melihat kalau Putra memang menarik bagi perempuan untuk digoda maupun pria lain untuk mengobrol, dia sudah merasa tidak kaget lagi dan tidak terbawa perasaan karenanya. Lagipula, pesona itulah yang membawa perempuan itu tertarik dan bisa berhubungan dengan Putra sampai sekarang.

Resta menggeleng-geleng, tangannya sambil bergerak untuk mengelap kubikel tempat kerjanya dari beberapa tetes minuman yang tumpah saat dibuat tadi dan es batu yang tak sengaja terjatuh dan mulai mencair.

"Beda. Sayang aku belum sempat foto, karena Mbak Tanti hari ini lagi perhatian banget sama aku," ujar Resta lalu tiba-tiba tersenyum lebar dan melambaikan tangan. "Hai, Mbak."

Elisa menoleh, melihat raut wajah seorang pelayan yang tampak tegas itu terlihat berkerut heran, lalu melanjutkan langkah tanpa menjawab sapaan dari Resta.

"Aku sama sekali tidak tahu apa yang salah dariku hari ini." Resta berbisik meski alunan piano yang volumenya sudah dikeraskan sudah bisa menutupi pembicaraan mereka. Bartender itu tiba-tiba bergidik. "Kira-kira kamu tahu alasan dia seperti itu? Aku agak takut kalau kena SP di awal-awal tahun begini. Tolong aku, Put."

Elisa hanya tertawa, menyesap minuman yang tanpa diminta sudah disediakan oleh Resta karena kedatangan perempuan itu di bar sudah terlalu sering. Dia jadi tidak perlu membuat pesanan dan mempercayakan pilihan minuman sepenuhnya pada bartender yang juga teman ngobrol yang setia.

"Aku serius, kok kamu malah ketawa ...."

Elisa menggeleng, memutuskan untuk mengganti topik. "Gimana kabar Dean? Kamu bilang kalau ada kabar baik dari dia."

Sorot mata Resta seketika kembali cerah ketika pacar jarak jauhnya itu dibahas. Dia sempat mengeluh pada Elisa, tumben-tumbennya galau karena sama sekali tidak ada interaksi yang lama dan teratur dari Dean kecuali beberapa ucapan selamat tidur yang hanya beberapa kali dalam seminggu. Alasannya ternyata ada pada wisata para orangtua lanjut usia yang diurus pria itu sehingga perhatian Dean tidak bisa terbagi rata.

"Akhirnya kamu dapat kabar dari Dean?" tanya Putra yang tahu-tahu saja masuk dalam pembicaraan.

Resta mengangguk, tampak jelas berbunga-bunga setelah puas bercerita pada Elisa, sebelum meringkas ceritanya kembali pada Putra. Perempuan itu dapat melihat pria itu yang mendengarkan dengan baik sebelum akhirnya meraih lengan Elisa dan hendak beranjak.

"Oke, selamat. Kalau begitu aku akan membawa Elisa sekarang."

Resta mengangkat alis. "Sejak kapan kamu bilang-bilang begitu? Biasanya juga langsung dibawa kabur." Dia tersenyum iseng sebelum beralih pada Elisa. "Sampai ketemu besok. Masih ada banyak yang mau kuceritakan padamu lho."

Elisa hanya tersenyum ketika mendengar pernyataan itu, tapi lalu mengangguk dan dibawa pergi oleh Putra. Mereka sekarang sedang menaiki mobil, menuju ke hotel yang sama dengan awal pertemuan mereka.

"Kenapa ... kita ke sini?" tanya Elisa heran.

Putra tidak langsung menjawab, memilih untuk tetap berjalan dan menaiki lift sampai tiba di dalam kamar yang sudah dipesan oleh pria itu. Elisa dapat merasakan kelembaban yang agak tidak biasa dari tangan pria itu yang menggenggamnya sejak tadi.

Ketika pintu kamar akhirnya tertutup dan hanya ada mereka di dalam, Elisa baru menyadari kalau memang ada hal yang berbeda dari Putra saat ini. Terutama setelah dia melepas topeng dan tanpa tedeng aling-aling, mencium bibir perempuan itu.

Elisa meletakkan tangannya di kedua bahu Putra, berusaha mendorong di sela-sela ciuman pria itu yang semakin intens merebut napas, kemudian mengubah rencana dengan mencubit kecil bahu Putra hingga dia mengaduh.

"Kenapa nyubit?" Putra kelihatan tidak percaya dengan perbuatan Elisa.

Elisa sendiri juga agak menyesal karena ciumannya berakhir, tapi tetap merasa ingin tahu dengan niat pria itu. "Kamu tidak memberitahu alasanmu melakukan ini."

"Oh." Putra mengambil napas sebelum menjawab. "Aku hanya ingin melanjutkan apa yang sebelumnya tertunda."

"Maksudmu, yang waktu itu?"

Putra mengangguk, melingkarkan lengan di pinggang Elisa kemudian menarik perempuan itu hingga semakin mendekat. Elisa mengangkat wajah, tapi hanya bisa bertemu dengan leher pria itu yang sekarang sudah merengkuhnya dengan erat.

"Kamu mau?"

Elisa terdiam, tapi tidak butuh waktu lama hingga dia mengangguk dan merasakan debaran penantian meliputinya kembali.

Putra juga tidak menunggu setelah menerima jawaban dari Elisa. Dia menunduk, kembali menyegel bibir perempuan itu dalam pagutan yang bisa mengaburkan batas kenyataan dan  khayalan, sambil memegang bagian bawah kepala Elisa agar tidak terasa pegal saat menengadah terlalu lama.

Elisa merasa mabuk setiap tangan Putra mulai menjelajah, menyentuh dan menebarkan jejak panas setiap kali mereka bersentuhan, begitu juga dengan ciumannya. Kali ini Putra benar-benar berniat untuk menyelesaikan semua hingga tuntas, tidak memberi jeda untuk berbicara, bahkan sekadar untuk bernapas.

Kamar yang mereka tempati sekarang hanya dipenuhi desahan dan suara penyatuan yang bahkan tidak terlalu terdengar, ketika keduanya terlalu sibuk dengan satu sama lain. Saling menyentuh dan mencium, bertukar napas dan bersentuhan, seakan baru pertama kali mereka melakukannya di tempat yang sama, dengan posisi yang tidak jauh berbeda.

"Elisa ...."

Elisa mengeluarkan desahan panjang yang sama dengan Putra ketika memanggil namanya dan kemudian menguburkan kepala ke dada pria itu, merasa puas, tapi juga malu dengan kenikmatan yang baru saja bisa dia rasakan.

"Ada apa?" Putra bertanya sambil mengusap punggung Elisa, kemudian meraih selimut untuk menutupi tubuh keduanya.

Elisa menggigit bibir. "Tadi itu ... berbeda."

"Kamu suka?"

Perempuan itu merasakan wajahnya memanas dan memukul pelan dada pria itu. "Haruskah kamu bertanya?"

"Lho, kan kamu yang bahas lebih dulu." Dia tertawa, sebelum akhirnya terdiam dan menyandarkan dagu di dekat kepala Elisa. Perempuan itu hampir saja tertidur ketika Putra tiba-tiba bertanya. "Kamu masih bangun?"

"Masih. Ada apa?"

Putra kembali terdiam selama beberapa saat, membuat Elisa merasakan kesan yang sama ketika mereka gagal berhubungan badan sebelum ini. Keraguan. Tetapi pria itu akhirnya berbicara dengan tenang.

"Ada yang ingin kuberitahu padamu, apa kamu mau mendengar?"

Elisa tidak menunggu untuk menjawab. "Tentu. Apa ... yang ingin kamu katakan?"

"Berjanjilah kamu akan mendengarkan sampai akhir."

Elisa mengangguk, mulai tampak tegang dalam pelukan pria itu, sementara Putra sendiri terlihat lebih tenang setelah mendengar perkataannya.

Mereka sama-sama menantikan apa yang terjadi setelah ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top