dua puluh enam

“Belum apa-apa kamu sudah tegang,” ujar Putra yang tiba-tiba terkekeh.

Bukannya membuat merasa lebih baik, Elisa sekarang menjadi lebih gelisah karena pria itu selalu saja bersikap tidak serius di saat yang seharusnya serius. Hal ini dibuktikan dengan perbuatan menguntit Putra terhadap perempuan itu, yang setelah diancam pun, tidak bergeming sebelum dia benar-benar mengatakan kalau tidak akan bertemu dengannya.

Elisa mencubit dada pria itu, membuat Putra mengaduh dan masih tertawa. Entah apa yang membuat perempuan itu bisa menyukai sosok yang sedang memeluknya itu, tapi dia tidak bisa menyangkal jika perasaan aman yang terasa berbeda kerap kali dirasakan setiap kali berada bersama Putra.

“Bagaimana tidak? Kamu saja mengulur-ulur ucapanmu seperti ini.”

Putra menunduk sehingga mereka bisa saling bertatapan. “Apa sebaiknya aku menunda pembicaraan kita?”

Elisa dapat mendengar kesungguhan dari tawaran yang diucapkan oleh Putra sehingga dia mengangkat wajah. Perempuan itu dapat melihat sorot mata Putra yang tidak menyesuaikan senyum di bibir, tampak tidak terbaca dan menyembunyikan emosi yang tidak diketahui oleh Elisa.

“Kalau kamu memang mau begitu ….”

Elisa menghentikan ucapannya, merasakan Putra yang menggunakan sebelah tangan untuk sedikit mengangkat dagunya, sementara pria itu semakin menunduk. Secara otomatis, perempuan itu memejamkan mata, merasakan napas Putra yang sangat dekat dari bibirnya, tapi tidak kunjung menyentuh seperti yang diharapkan.

Ketika membuka mata, Elisa malah menemukan Putra yang sedang memejamkan mata. “Apa yang sedang kamu lakukan sekarang?”

“Siap-siap.”

Elisa tampak bingung dengan perkataan pria itu, tapi tidak melewatkan kesempatan untuk memperhatikan fitur wajah Putra sedekat ini. Dia memang tampan, meski dengan luka bakar di wajah sekalipun, begitu juga dengan kumis tipis yang sengaja tidak dicukur. Bulu matanya juga terlihat panjang, hampir menyentuh bagian bawah mata. “Siap-siap untuk apa?”

Putra tidak langsung menjawab, membuat Elisa memberanikan diri untuk menyentuh wajah pria itu, merasakan tekstur kulitnya yang terasa jauh berbeda dengan yang diketahui dari kulitnya sendiri. Beranjak dari sana, tangan Putra tiba-tiba menghentikan perbuatan perempuan itu.

“Jangan.”

Elisa mengerjap, menatap Putra yang sesaat masih memejamkan mata, tapi kemudian membukanya. “Apa aku mengganggu?”

Putra menggumam sangat pelan sampai Elisa tidak bisa mendengarnya, meski mereka masih berada dalam posisi yang terlalu dekat sekalipun.

“Apa kamu mengenal seseorang bernama Benjamin?” tanya Putra tiba-tiba.

Elisa menatap Putra, terpaku. “Benjamin … Mahardika?”

“Iya, CEO F&B Mahardika empat tahun yang lalu. Dia yang meninggal karena kecelakaan.”

“Tentu saja, dia pamanku. Kenapa kamu bertanya?”

Elisa mendengar kabar kematian pamannya itu pertama kali lewat berita, sebelum mendapat kepastian dari telepon Alex yang meminta perempuan itu untuk hadir dalam pemakaman sang paman. Dia shock. Paman Ben adalah seseorang yang selalu menjaga kesehatan dengan sangat baik, tidak pernah melewatkan jadwal minum suplemen dan rutin memeriksakan keadaannya di rumah sakit.

Perempuan itu dengan jelas mengetahuinya karena pria yang sudah menyentuh usia paruh baya itu adalah seseorang yang selalu mengingatkan Elisa mengenai pentingnya kesehatan dalam bekerja dan kehidupan sehari-hari. Paman Ben juga mengkhawatirkannya seperti ayah pada putri sendiri, lebih dari Alex yang menyandang title itu.

Pujian pertama yang didapatkan Elisa juga dari Paman Ben, sehingga meninggalnya pria itu hampir membuat dia kehilangan pijakan untuk sesaat.

“Bagaimana dengan Hanna? Dia jatuh sakit, lalu tidak lama meninggal setelah dibawa ke rumah sakit,” ujar Putra kembali, dengan lancar menjelaskan sesuatu yang seharusnya tidak bisa diketahui oleh seseorang yang bukan berasal dari internal Mahardika.

Elisa menarik tangan yang dipegang Putra menjauh, merasakan genggaman tangan pria itu semakin lama mengencang sehingga mulai terasa sakit.

“Dia … istri Paman Ben. Bagaimana kamu bisa mengenalnya?”

Elisa sudah dipindahkan ke kantor di BSD City sehingga dia mengetahui kabar meninggalnya sang bibi tanpa perlu diberitahu. Walaupun tidak terlalu dekat, tapi dia cukup sedih setelah mengetahui kabar itu, terutama karena belum lama dari hari itu, adalah setahun peringatan Paman Ben meninggal, di mana mereka sempat bertemu dan bertukar sapa.

“Satu lagi ….” Putra memberi Elisa tatapan yang seakan sedang menilainya. “Apa kamu mengenal Oliver? Dia juga meninggal karena kecelakaan, tapi kenyataannya, jasad pria itu tidak pernah ditemukan.”

Elisa mulai merasa ketakutan. Bagaimana pria itu bisa mengetahui apa yang terjadi pada keluarga pamannya? Perempuan itu bahkan baru mengetahuinya belum terlalu lama, tapi Putra seakan sudah mengetahui hal tersebut sejak awal, lebih lama dari Elisa meski mereka baru mengenal selama beberapa bulan dan dia tidak sekalipun membahas keluarganya.

Hal yang diketahui mengenai Oliver, anak dari Paman Ben, hanya sedikit. Mereka tidak pernah bertemu lagi semenjak acara di mana Elisa diperkenalkan ke keluarga Mahardika untuk pertama kalinya, tapi semenjak itu, Alex menggemblengnya agar menjadi seorang anak pengusaha yang sempurna. Seperti layaknya Oliver yang dinyatakan sebagai jenius dalam generasi baru perusahaan mereka.

Bagi Elisa pada saat itu dan sebelum pria itu dinyatakan meninggal, Oliver adalah seseorang yang seperti lawan abadi dalam kehidupan perempuan itu. Pengukur dari tingkat keberhasilan dan sebuah tangga yang harus dinaiki sampai tuntas serta tanpa terlewat sedikit pun.

Begitu Oliver dinyatakan tidak ada di dunia lagi, hal yang pertama dirasakan perempuan itu adalah kebingungan, tapi juga kesenangan karena bisa terlepas dari berbagai ekspektasi. Meski Alex belum menyerah untuk menghabiskan setiap tenaga Elisa untuk mencapai tujuannya sendiri, sampai sekarang.

“Bagaimana kamu bisa mengetahui semua hal itu? Apa kamu mencari tahu semuanya sendiri? Untuk apa?”

Elisa tidak bisa menghentikan dirinya untuk mengajukan pertanyaan secara beruntun. Dia tidak tahu bagaimana Putra bisa mengetahui semua informasi itu, meski terdengar sepele, tapi pria itu bahkan bisa segencar itu … hanya untuk menanyakannya? Itu tidak mungkin.

Ada hal lain yang kembali terlintas di benak Elisa, suatu hal yang sebelumnya pernah dibahas oleh dirinya sendiri, tapi diabaikan karena kenyataan seperti itu mustahil untuk terjadi. Pada saat yang sama, Putra akhirnya menjawab.

"Aku mengetahuinya karena aku punya banyak mata di sekelilingku, mengawasi dan menggantikanku menjaga mereka, tapi pada akhirnya gagal." Putra tampak sendu dan tidak sedang memandang wajah Elisa. "Aku ingin membalas pelaku yang sudah mengambil nyawa kedua orang yang paling kusayangi itu."

"Dua orang … yang paling kamu sayangi?" Elisa membeo.

Otak perempuan itu seakan masih menolak untuk memproses informasi yang dikumpulkan selama ini, meski sudah sangat jelas apa yang dimaksud pria itu dengan menyatakan paman dan bibinya itu sebagai seseorang yang disayang.

"Kamu Oliver?"

Pertanyaan itu akhirnya terucap juga dari Elisa dan tidak disangkal oleh Putra yang lanjut berbicara. Pria itu menatap Elisa yang sekarang sudah mengambil jarak dalam pelukan mereka, dia sudah merasa tidak ingin untuk mendengarkan kelanjutan dari perkataannya setelah ini.

"Aku ingin mengajakmu bekerjasama, menggulingkan Alex yang sudah menikmati jerih payah orang lain, termasuk dirimu," ucap Putra serius.

Elisa masih terdiam, tidak tahu harus menjawab apa, sementara Putra masih berbicara, menjelaskan bagaimana kesepakatan yang ditawarkan oleh pria itu kepadanya termasuk keuntungan yang akan diterima masing-masing pihak.

Hal yang bisa disimpulkan perempuan itu, ketika pikirannya terbagi dua dan hanya setengah mendengarkan perkataan pria itu adalah keinginan Putra agar kembali ke tempatnya sebagai pewaris, sementara Elisa akan dihadiahi kebebasan yang diharapkannya sejak dulu.

Elisa mengerjap. Setelah sekian lama mengikuti perintah, perempuan itu merasa agak kehilangan jati dirinya yang tidak pernah meragukan dirinya seperti ini. Dia merasa ragu untuk menerima uluran tangan Putra yang bisa membebaskan dan melepaskan beban dari pundak perempuan itu selama beberapa tahun terakhir.

Apakah itu benar-benar mungkin?

Putra menatap Elisa dengan lekat, membuat perempuan itu menelan ludah karena sama sekali tidak menduga dengan penawaran Putra yang masih terlalu menggiurkan untuk ditolak.

"Jadi, bagaimana keputusanmu, Elisa?"

.
.
.
.
.
.
.
.
.
.




Selamat Tahun Baru 2024! Semoga kita semua tetap sehat dan mencapai resolusi masing-masing untuk tahun ini ya.

Terima kasih karena sudah membaca Forbidden Agreement, meninggalkan jejak, maupun hanya menyimpan di perpustakaan private. Terus ikuti cerita ini sampai tamat yaaa hehehe.

Salam, vielnade28

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top