dua puluh empat
Tiga tahun yang lalu adalah saat di mana Putra kehilangan segalanya, lalu setahun berikutnya dihabiskan dengan memulihkan ingatan yang sempat menghilang akibat shock dari kecelakaan. Seiring itu juga, selama dua tahun berikutnya, dia mulai mengenal Elisa dari layar televisi dan berbagai artikel mengenai sepak terjangnya sebagai CEO, sekaligus seseorang yang digadang-gadang akan mewarisi Perusahaan F&B Mahardika.
Awalnya, Putra mengetahui keberadaan Elisa dari berita pengangkatan perempuan itu yang tercantum di sebuah media swasta. Perempuan dengan rambut sebahu dan sorot mata tajam yang seperti menusuk jika diperhatikan terlalu lama, tapi memiliki warna suara yang terdengar lembut.
Walaupun sudah lama berlalu, tapi Putra mengingat sosok Elisa jauh lebih lama dari itu, tepatnya ketika perempuan itu diperkenalkan oleh Alex untuk pertama kali di suatu acara perusahaan mereka. Dia merasa takjub karena bisa melihat salah satu anggota keluarga Mahardika, meski tidak sedarah, setelah beberapa lama. Terutama karena Putra bisa menduga kalau perusahaan tidak baik-baik saja dengan Elisa sebagai kambing hitam.
"Apa dia bodoh?" Putra bergumam sendiri ketika melihat perempuan itu mengadakan konferensi pers untuk mengatasi skandal yang mendera petinggi di Mahardika.
Mulai dari sesuatu yang menyangkut keuangan pribadi pihak tersebut, sampai dengan percintaan yang seharusnya tidak perlu membuat Elisa turun tangan secara langsung, bahkan tanpa kehadiran si terdakwa yang lebih berkewajiban untuk menanggung kesalahan di depan umum.
Wanda, sekretaris yang selama ini diakui pria itu sebagai sepupu sementara kedua anaknya sebagai keponakan, juga ikut menonton dan berkomentar. "Dia terlihat tertekan."
"Menurutmu begitu?"
Putra memang tidak terlalu memperhatikan, tapi ketika Wanda memberi komentar seperti itu, dia akhirnya bisa melihat tanda dari gestur yang ditunjukkan sosok perempuan di layar televisi dengan lebih jelas.
Mulai dari sana, Putra mulai memutar ulang dan membaca berita yang terkait dengan Elisa, memperhatikan gerak-gerik, ucapan dan penampilan perempuan itu yang tetap tertata meski masalah yang dialaminya seperti terus menghadang. Secara sadar, pria itu mulai terdorong untuk melihat perempuan itu secara langsung.
"Mohon maaf, tapi untuk sekarang, aku tidak menyarankan Bapak untuk keluar dari rumah," ucap Wanda dengan tegas.
Perempuan yang berusia hampir kepala empat itu selalu datang ke rumah yang disiapkan dan diperuntukkan Putra. Dia memastikan persediaan makanan tetap ada, begitu juga kebutuhan sehari-hari lainnya sehingga pria itu tidak butuh keluar untuk hal-hal sepele.
"Masih belum bisa?"
Wanda mengangguk. "Terlalu banyak orang di sana dan mungkin saja Anda bertemu dengan orang-orang yang mengenali Bapak. Kita masih di tahun kedua, bukan tahun ketiga untuk perencanaan dan persiapan."
Putra hanya diam dan menonton untuk beberapa lama.
Tujuan utama Putra setelah mendapatkan kembali ingatannya adalah mencari tahu soal pelaku dibalik kecelakaan yang dialami pria itu tiga tahun lalu. Dia yakin kalau kecelakaan yang dialaminya saat itu bukan hanya kebetulan, tapi bagian dari rencana seseorang untuk menyingkirkan penghalang atas sesuatu yang dianggap sebagai kekuasaan.
Sejauh ini, penelusuran yang didapatkan Putra adalah kenyataan jika kematian kakek, ayah dan ibunya hanya memiliki jarak satu tahun dengan satu sama lain, begitu juga dengan kecelakaan pria itu sebagai kasus terbaru. Dia juga baru saja dilantik menjadi CEO dan ditunjuk sebagai pewaris, tapi sebelum benar-benar diresmikan di rapat dewan direksi, kecelakaan itu terjadi.
Hanya satu orang yang mendapatkan semua keuntungan jika Putra tersingkir, dan benar saja. Meski dia masih hidup, sekarang orang itu menggantikan posisi ayahnya sebagai pemilik dan menyerahkan posisi pria itu ke Elisa. Dia sudah tahu, tapi bukti yang dikumpulkan mengenai perbuatan celaka orang itu sama sekali belum cukup untuk membuktikan kejahatannya.
"Sekali saja, tidak masalah kan?" tanya Putra di kesempatan yang lain. "Siapa tahu ada yang bisa kudapatkan dari datang ke sana atau mungkin saja kita bisa mengajak perempuan itu ikut serta."
Wanda tampak tidak yakin dengan bujukan yang diberikan Putra, terutama karena ada hal lain yang sepertinya mendasari perbuatan pria itu. Tetapi, mengingat perbuatan nekad pria itu jika semakin dikekang, dia terpaksa untuk melonggarkannya.
"Baiklah ... tolong jangan berbuat masalah, Pak. Hati-hati."
Putra benar-benar datang di ruang publik untuk pertama kali setelah sekian lama. Tentu tidak ada yang menyadari kehadiran pria itu karena ada cukup banyak wartawan yang meliput, begitu juga dengan para pemrotes yang merupakan karyawan pabrik. Masalah kali ini terkait dengan pembayaran upah yang sudah menunggak, tapi tidak dibayarkan juga.
Di sana, untuk pertama kalinya, Putra melihat Elisa secara langsung. Perempuan itu datang dengan satu orang lain, nyaris seperti tanpa pendamping kecuali seorang perempuan lain yang kemungkinan besar adalah sekretaris Elisa, tapi tetap terlihat tegar dan berbicara dengan lancar untuk menyatakan omong kosong yang tidak sesuai dengan gaya bicaranya.
Berkat rasa ingin tahu dan kekeraskepalaan yang tinggi, tidak butuh waktu lama untuk Putra mengetahui salah satu tempat yang sering dikunjungi Elisa selain perusahaan dan mal yang berada di dekat kantor. Bar Anonim. Tempat yang tidak terduga, tapi menguntungkan posisi pria itu yang masih harus bersembunyi.
Putra memutuskan tempat itu sebagai awal pertemuan mereka, sekaligus pintu masuk pria itu untuk kembali ke perusahaan. Dia langsung membicarakan itu pada sekretarisnya
"Bekerja?"
Wanda yang mendengar perkataan dari atasannya itu merasa harus mengulang, tidak percaya meski Putra yang mengatakan dengan mulut sendiri.
"Iya, sebagai pemain piano, di bar," ujar Putra tanpa beban.
Perempuan itu terlihat berpikir. Saking seriusnya, dia duduk di sofa dan menundukkan kepala, memijat kepala yang mungkin bertujuan untuk mengurangi sakit kepala.
Putra kembali bertanya karena sudah beberapa menit terlewati. "Bagaimana menurutmu, kamu setuju 'kan?"
"Aku juga ikut bekerja, Pak, tapi …." Wanda sengaja memutus ucapannya. "Kalau nanti aku tidak diterima untuk bekerja, maka Bapak harus melupakan rencana ini."
"Oke."
Putra terlihat tidak ragu ketika menjawab. Dia yakin jika sekretarisnya tidak mempunyai masalah dalam kelolosan untuk perekrutan salah satu staf di bar. Perempuan itu kompeten, terbukti dari pria itu yang bisa bertahan hidup dan mengumpulkan informasi hingga sekarang.
Benar saja, mereka lolos dan begitu Elisa datang menghampiri Putra terlebih dulu, yang tentu saja tidak termasuk dalam rencananya, pria itu tidak menyangka jika hal pertama yang diucapkan perempuan itu adalah ajakan untuk tidur bersama.
***
Senyum Putra memudar ketika Elisa hilang dari pandangannya, kembali ke apartemen yang tidak jauh dari tempat tinggal pria itu.
"Dasar gila."
Dia memaki diri sendiri ketika kembali masuk ke dalam rumah, menilai ulang segala perbuatannya terhadap Elisa dan suatu perasaan yang entah bagaimana terselip ketika menghabiskan banyak waktu bersama perempuan itu.
Tujuannya belum tercapai, tapi belum apa-apa sudah ada penghalang yang bisa menghentikan niatan untuk memanfaatkan Elisa sepenuhnya, dalam meraih hak pria itu kembali sebagai pewaris Mahardika dan posisi ayahnya yang saat ini dipegang oleh perempuan itu.
"Besok Anda akan mengatakannya? Bukankah lebih baik tidak usah? Apakah aman jika Bu Elisa mengetahui siapa Bapak sebenarnya?"
Wanda bertanya secara beruntun, tidak setuju dengan keputusan Putra, tapi juga tidak bisa langsung membantah. Berkali-kali pria itu diberitahu, berkali-kali juga omongan perempuan itu dianggap angin lalu. Contohnya, ketika acara tahun baru dan hobi tidak sehatnya mengikuti Elisa.
"Tidak apa-apa, dia bukan seseorang yang suka membocorkan rahasia."
Kalau tidak begitu, Putra yang akan lebih dulu kehilangan niat untuk membuat perhitungan dengan Alex dan menghapus identitasnya sebagai Oliver sekaligus Mahardika untuk selamanya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top