dua puluh
"Jangan terlalu tegang. Kamu yang bilang sendiri kalau aku harus mengikuti maumu kan? Aku hanya melakukan ini sesuai perkataanmu," ucap Putra tampak santai, berbanding terbalik dengan Elisa yang sesuai dengan perkataan pria itu.
Elisa sebenarnya memang merasa gugup dengan kehadiran pria itu. Dia masih bisa melihat ketidakseriusan Putra, tapi ada yang sedikit berbeda dari pembawaan pria di hadapannya, sampai-sampai perempuan itu merasa tidak nyaman dan tegang untuk menantikan hal yang buruk terjadi. Pada akhirnya, perempuan itu melihat ke arah lain asal tidak bertatapan langsung dengannya.
"Maafkan aku."
Elisa mengembalikan pandangan dari para tamu ke arah Putra yang kali ini benar-benar serius dengan postur yang jauh lebih baik dan mengintimidasi perempuan itu. Elisa menelan ludah, menunggu lanjutan dari perkataan pria itu yang belum selesai.
"Kuakui, semua yang kulakukan selama ini adalah tindakan impulsif, dan tentu tanpa mempertimbangkan perasaanmu sama sekali."
"Semua itu ... impulsif?"
Putra mengangguk. "Aku sama sekali tidak berpikir panjang. Kalau pun ada, itu hanya keinginanku yang ingin mengenalmu lebih jauh, seperti yang pernah kukatakan dulu."
"Hanya itu?" Elisa terlihat tidak percaya. "Kamu bisa saja melakukannya ketika kita di bar seperti ini, mengobrol, bukan mengikutiku ke mana-mana dan menunggu di sekitar kantor."
"Maksudmu sebulan sekali?" Putra mendengus tertawa. "Itu terlalu lama dan aku tidak sesabar itu. Jika hal itu yang kulakukan, kamu mungkin juga sudah melupakanku atau malah tidak akan datang lagi ke sini."
Elisa tersentak. Dia memang sempat mempertimbangkan untuk tidak datang ke Bar Anonim selama beberapa lama, karena malu dengan perbuatannya sendiri juga urusan perempuan itu di bar sudah selesai, tapi bagaimana dia bisa tahu?
"Baiklah, tapi itu ... sama sekali tidak menjelaskan perbuatan menguntitmu. Aku tidak percaya kamu bisa mengetahui di mana saja tempat makan siangku ketika kita sama sekali tidak bicara."
Bagi Elisa, perasaan ketika diikuti sebenarnya sudah menjadi keseharian semasa dia sekolah dulu. Alex menugaskan dua orang untuk mengawasi perempuan itu sejak masih di sekolah menengah pertama, memastikan dia benar-benar masuk kelas, mengikuti bimbel sebelum pulang dan tidak main ke mana-mana selain di sekolah.
Mereka tidak pernah menunjukkan diri, tapi Elisa bisa mengetahuinya ketika tanpa sengaja melihat sosok mereka yang cukup menakutkan dari pantulan kaca. Masa-masa yang membuat perempuan itu mengira kalau kedua orang itu berniat menculiknya, tapi malah mereka juga yang menyelamatkan dirinya dari kejadian yang sudah menjadi angin lewat itu.
Mungkin karena itu lah, dia bisa memberikan kesempatan pada Putra untuk menjelaskan perbuatannya seperti saat ini, tapi mungkin dia juga berharap terlalu banyak ketika mendengar ucapan selanjutnya dari pria itu.
"Aku sudah bilang, aku impulsif. Ketika aku mengetahui identitasmu, langsung saja aku mencari tahu letak kantor dan mulai mengikutimu, tapi selama itu, kamu juga tidak pernah mengusirku sehingga aku menganggapnya tidak apa-apa jika terus melakukannya. Aku tidak salah."
"Aku memang tidak mengusirmu, tapi bukankah mengabaikanmu seharusnya sudah menyatakan hal itu?" tanya Elisa retoris, tapi Putra malah menggeleng sebagai jawaban.
"Sampai aku mendengar penolakan secara langsung atau tidak dengan jelas, maka apa yang kamu lakukan tidak ada artinya untukku."
Elisa meraih minuman dan menyesapnya, merasakan sentilan alkohol yang sangat tipis, tapi dengan rasa sari apel yang lebih dominan di mulut. Putra ternyata lebih tidak peka terhadap etika dalam hubungan antara lawan jenis dari dugaannya, sangat jauh dari perkiraan awal, yang jika dibandingkan adalah ketika beberapa perhatian yang pernah diberikan pria itu untuk Elisa setelah mereka berhubungan badan.
Apa perbuatan Putra saat itu sudah sering dilakukannya pada perempuan lain, bukan hanya Elisa saja?
"Aku masih tidak mengerti. Kamu juga tahu kalau perbuatanmu sangat tidak masuk akal kan?"
Putra terdiam. Dia terlihat lebih memikirkan jawaban untuk kali ini sehingga memberi kesempatan untuk Elisa kembali minum, berusaha menghapus kekecewaan yang dirasakan saat ini. Seharusnya dia tahu, hanya dengan percakapan seperti ini saja dan perbuatan pria itu sejak beberapa waktu, Putra hanya lah seorang narsistik yang memiliki ketertarikan padanya.
"Apa yang harus aku lakukan untuk memperbaikinya?"
Elisa menatap Putra, perlahan meletakkan gelas ke meja dan mengepalkan tangan. "Jadi ... kamu sudah tahu letak kesalahanmu?"
Putra menatap tangan Elisa yang terkepal, lalu beralih ke wajah perempuan itu. Dia tampak tidak mengerti dengan pertanyaan yang diberikan olehnya, tapi kemudian berubah pikiran ketika Elisa kembali menyesap minuman dan hendak beranjak pergi.
"Tunggu, aku sungguh tidak tahu." Putra menangkap keliman baju terusan Elisa, menghentikan perempuan itu untuk berdiri. "Apa benar tidak ada yang bisa kulakukan untuk memperbaiki ini?"
Elisa menggeleng. "Untuk apa? Kamu saja tidak tahu letak kesalahanmu." Dia terdengar dingin dan menunjuk tangan Putra yang masih memegang erat baju perempuan itu. "Sekarang, tolong lepaskan ini. Aku mau pulang."
"Aku masih ingin bicara denganmu."
Elisa berusaha menepis tangan Putra, tapi tenaga pria itu lebih kuat dan malah membawa perempuan itu di pangkuan, memegangnya sehingga tidak terlepas dengan mudah meski memberontak sekalipun.
"Kamu ...."
Putra memeluk Elisa semakin erat, mendekatkan jarak di antara keduanya sehingga perempuan itu tidak bisa berkutik. Elisa mencoba melepas lengan Putra dari pinggangnya, tapi tidak ada yang terjadi selain debaran di dada dan kegugupan yang kembali perempuan itu rasakan ketika berada di dekat Putra.
"Tolong berikan kesempatan agar aku bisa memperbaiki cara pendekatan yang kulakukan, tanpa menguntit dan hanya di bar, mengobrol seperti yang kamu bilang."
Pemberontakan Elisa mengendur. Dia memperhatikan tatapan Putra yang terarah padanya, tapi kemudian mengalihkan pandangan dengan malu-malu. Sekilas, perempuan itu dapat melihat kesungguhan dari ucapan pria itu.
"Kamu bisa melakukannya?"
Elisa mengulum bibir, merasa terlalu cepat mengajukan pertanyaan itu setelah memberikan penolakan pada Putra. Sebelum Elisa bisa menarik ucapan itu, Putra sudah menatap ke arahnya dan mengangguk.
"Aku janji, tapi ... aku juga punya permintaan."
Elisa mengerutkan kening, tapi tetap menjawab. "Apa?"
"Tolong lebih sering datang ke sini supaya kita bisa benar-benar mengobrol. Kamu bilang kalau aku tidak boleh mengikutimu lagi kan?"
".... Itu benar." Elisa kembali berusaha menarik diri, tapi Putra tetap saja memeganginya. "Ya, baiklah. Tolong lepaskan aku sekarang."
"Oke."
Kali ini Putra melepaskan Elisa sehingga perempuan itu bisa kembali duduk di kursi yang ditempatinya sebelum ini, merapikan lipatan di bagian bawah baju terusan agar tidak sengaja terangkat hingga ke lutut seperti tadi.
Resta juga melangkah keluar dari ruang staff dan menatap kedua orang yang sempat ditinggalkannya tadi dengan penasaran. "Pembicaraan kalian lancar?"
"Kurasa ... lancar." Putra terdengar lebih berhati-hati sekarang, tapi juga dengan senyum yang mengembang di wajah.
Elisa hanya diam dan menyesap fruit punch miliknya yang sudah tinggal setengah gelas. Perempuan itu merasakan pandangan Resta dan menoleh, bartender yang sekaligus menjadi teman ngobrolnya itu belum apa-apa sudah meminta detail sehingga dia hanya bisa menghela napas.
Entah apa yang harus diceritakan ketika perempuan itu juga masih belum tahu apa yang akan dilakukan Putra selanjutnya.
Putra tahu-tahu saja menegak keseluruhan minuman yang diberikan Resta tadi sebelum beranjak. "Aku akan pulang lebih dulu karena pembicaraan kita sudah selesai. Sampai ketemu besok ... Putri."
Elisa mengangguk, mengatupkan mulut dengan rapat sambil menatap kepergian pria itu. Dia hanya bisa berharap kalau keputusan yang diambilnya tidak salah dan perempuan itu juga bisa mencari tahu identitas Putra yang asli.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top