dua

Resta mengangguk ketika Elisa mengembalikan pandangan ke arahnya. Dia tampak senang  karena berhasil memperkenalkan pria selain gebetan yang diceritakan barusan, terlihat dari senyum dan postur tubuh bartender itu yang lebih maju, lalu berbisik.

"Dia sangat hebat. Bermain piano, maupun di ranjang. Kalau tidak salah, dia bisa memuaskan wanita mana pun hanya dengan mulutnya."

Elisa tersenyum kecil dan mengalihkan pandangannya. "Memang kamu sudah pernah mencobanya sendiri?" tanyanya sambil lalu.

Perkataan Resta terdengar seperti kebohongan, atau kejujuran yang sudah ditambah dengan bumbu di sana-sini. Berlebihan, tentu saja, tapi Elisa mau tidak mau mencoba mempercayainya. Pria yang bisa bermain piano, tapi juga suka bermain wanita? Terdengar cocok dengan kebutuhan Elisa saat ini.

Tatapan Elisa secara otomatis memperhatikan pianis yang sedang menghayati permainan pianonya, hingga membawa beberapa pelanggan terhanyut bersama alunan musik.

Elisa memang tidak pernah mendalami les piano selain di tahun pertamanya sebagai anak angkat, pelajaran khusus yang dipelajari untuk menambah keterampilan, tapi dia mengerti kalau alunan nada dari piano pria itu terdengar sangat indah. Dia juga mulai tertarik kepada pianis itu seperti kupu-kupu pada nektar bunga.

"Tidak, tidak. Aku tahu dari salah satu pelanggan di sini juga," aku Resta memperbaiki ucapan sebelumnya. "Ceritanya memang terkesan berlebihan, tapi pelanggan itu menunjukkan buktinya sendiri."

Resta mulai menceritakan ulang kehebatan pianis dari pelanggan tanpa nama itu, tapi Elisa hanya mendengarkannya sambil lalu. Dia lebih senang mengetahui hal-hal seperti itu secara langsung daripada melalui cerita orang lain. Meski cukup berguna juga untuk mengetahui cerita pria itu agar bisa membuktikan kebenarannya nanti.

"Kamu memang tahu banyak ya."

Resta mengangkat bahu, dia sudah kembali sibuk menyiapkan pesanan sebelum menanggapi komentar Elisa. "Bukan aku yang tahu banyak, tapi memang ada banyak orang yang tidak keberatan berbagi cerita denganku. Buktinya kamu juga 'kan?"

Elisa cuma bisa nyengir, kedua matanya tidak berhenti menatap pianis yang sedang fokus itu. Jarak di antara dia dan pria itu terlalu jauh, mungkin seharusnya dia segera berpindah agar bisa menghampiri dengan mudah nanti.

"Kamu tahu siapa namanya?"

"Tre? Tra ... Putra." Resta masih kelihatan bergumam sebelum mengangguk yakin. "Iya, Putra, itu nama alias yang dipakai pria itu di sini. Dia rekomendasi dari Mbak Tanti, pelayan yang menegurku tadi."

Elisa terdiam. "Kebetulan apa ini?"

Kali ini Resta yang tertawa. "Iya 'kan? Aku kepikiran dia karena kalian punya nama yang mirip, tambahan lagi dengan sifat kalian jelas bertolak belakang."

"Yah ...."

Elisa tidak punya komentar. Dia hanya bisa merasakan debaran jantung yang lebih keras dan jelas di dada. Hasrat yang berusaha ditahan sejak tadi mulai membuncah, tapi Elisa dengan cepat meredam hal itu dengan mengendalikan napasnya agar lebih teratur.

Bagaimana pun, Elisa harus bersikap tenang agar tidak mengacaukan rencananya sendiri ketika datang ke Bar Anonim hari ini. Beberapa hari ke depan, dia mungkin tidak punya alasan lain untuk menunda pertemuan dengan ayah angkatnya sehingga tidak bisa mampir. Perasaan perempuan itu sudah terasa buruk hanya karena memikirkan pria paruh baya itu.

"Aku akan mendatanginya."

Resta mengetuk tepian gelasnya dengan ujung sendok. "Semoga berhasil."

Elisa menghabiskan sisa minuman sebelum beranjak ke meja yang paling dekat piano, mencari-cari tempat yang kosong di sekitar sana sebelum berbaur dengan sekelompok orang yang tidak keberatan dengan dirinya yang menumpang.

Permainan piano pianis itu terdengar lebih jernih dibandingkan ketika Elisa berada di counter. Dia juga bisa memperhatikan wajah Putra dengan lebih baik, tapi langsung terdiam begitu menyadari luka bakar di separuh wajah atasnya. Suatu hal yang Elisa kira sebagai topeng yang dikenakan pria itu.

Sepertinya tatapan Elisa terlalu lama di wajah pria itu, karena pada saat yang sama, Putra mengangkat pandangan dari piano dan tersenyum ke arah perempuan itu, membuat dirinya seketika membeku di tempat.

"Sial, beruntung sekali kamu."

Elisa menoleh pada seorang perempuan dengan tampilan yang mahal, mulai dari jepitan, sampai gaun semi formal yang dikenakan. Beberapa saat lalu perempuan itu mempersilahkannya duduk, tapi sekarang bersikap bermusuhan seakan Elisa membuat kesalahan.

Pria yang berada di sampingnya terlihat menyesal. "Tolong jangan hiraukan perkataannya."

Elisa tidak bersuara, tapi menanggapi perkataan teman perempuan mahal itu dengan anggukan. Dia tidak ambil pusing dan kembali menikmati permainan piano di hadapannya meski bisa mendengar gerutuan samar-samar.

Putra memainkan satu lagu terakhir sebagai penutup, lalu beranjak dari pianonya. Apresiasi berupa tepuk tangan dari beberapa pelanggan mengiringi langkah pria itu yang menjauh, begitu juga dengan Elisa yang mengikuti Putra selama beberapa lama, hingga kian menjauh dari keramaian bar.

Tanpa diduga, pria itu menghentikan langkah ketika Elisa sedang menyusun skenario di kepalanya. Perempuan itu hanya bisa terdiam di tempat sambil menghindari tatapan Putra.

"Apa kamu akan mengikutiku sampai ke ruang ganti seperti perempuan lain?" tanya pria itu.

Elisa buru-buru menatap Putra karena terlalu terkejut. Anehnya, wajah pria itu lebih santai dari yang diduga Elisa dari nada suaranya. "Ada yang seperti itu?"

"Ada. Bukannya kamu juga?"

Elisa berusaha berpikir, entah menyangkal atau mengakui, tapi tidak ada yang terlintas di benaknya selain ajakan tidur bersama. Dia menyuarakan pikiran itu setengah sadar. "Mau tidur bersamaku?"

Putra menatap Elisa beberapa lama lalu mendengus dengan sangat keras, menertawakan ucapan yang baru saja dikatakan perempuan itu tanpa berpikir dua kali. Wajah Elisa sudah menghangat karena sangat malu dan mulai agak tersadar dari pengaruh mabuknya, tapi pria itu lebih cepat dalam menghentikan tawa.

"Di mana?"

Elisa tergagap. "Kamu mau?"

"Aku tidak keberatan, semua keputusan ada padamu karena kamu yang mengajak. Aku sama sekali tidak rugi, malah ...." Putra menatap dari kepala hingga kaki Elisa dengan lekat. "Mungkin aku akan diuntungkan?"

Tindakan Putra biasanya akan dihadiahi tamparan oleh perempuan mana pun, tapi Elisa tidak menyalahkannya. Apa yang dikatakan pria itu sudah benar dan dia hanya akan menyambut hal tersebut karena ajakan payahnya berhasil menggaet pria itu dengan mudah.

"Kamu memang akan diuntungkan," balas Elisa terus terang, berusaha terdengar percaya diri.

Putra menelengkan kepalanya sambil tersenyum. "Mau naik mobilku? Aku tahu tempat yang bagus untuk tujuan kita hari ini."

Elisa berusaha memikirkan letak mobilnya, yang ketika diingat-ingat kembali, masih terparkir di kantor. Dia hampir lupa jika hari ini pergi ke bar dengan menggunakan taksi sehingga identitasnya tidak terungkap.

"Mau."

***

Elisa tidak ingat kapan mereka tiba di hotel, tapi tahu-tahu saja dia sudah berada di sebuah kamar yang tampak remang-remang, dengan Putra yang hendak melepaskan kemeja hitam polos dari tubuhnya.

Tatapan Elisa langsung tertuju pada otot perut Putra ketika kemeja itu terlepas, membuat perempuan itu menelan ludah tanpa sadar, tapi kemudian dia menyadari luka bakar yang serupa dengan wajah pria itu ketika memperhatikan bagian lain. Tepatnya di bagian samping perut dan menjalar hingga ke bahu kiri.

"Tidak perlu melihat sampai segitunya," ucap Putra memutus lamunan Elisa. "Ayo, ke sini."

Elisa mendekat hingga mereka berhadapan, kemudian menutup mata ketika pria itu meraih wajahnya dan meraba dengan pelan. Dia merasa merinding hanya karena sentuhan pria itu.

"Apa aku boleh melepaskan topengmu?"

Elisa membuka matanya, terkejut ketika menatap wajah Putra yang begitu dekat sehingga menutup mata kembali. "Nanti saja."

"Baiklah."

Putra akhirnya menghapus jarak diantara mereka dengan ciuman.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top