delapan
Elisa berjalan dari parkiran mobil menuju gedung kantor dalam langkah yang lurus. Dia masih menoleh untuk balas menyapa para karyawan seperti biasa, tapi entah apa alasannya hingga beberapa orang memberi jarak pada perempuan itu. Begitu juga ketika dia naik lift menuju ruangannya di lantai sembilan, tiga lantai di bawah kantor Alex sebagai dewan direktur sekaligus pemilik.
Sarah langsung menyapa ketika Elisa sampai. "Selamat pagi, Bu."
"Pagi, tolong jangan ada yang masuk ke ruanganku sampai nanti siang. Tidak ada rapat 'kan hari ini?" tanya Elisa.
Sarah menggeleng, wajahnya terlihat kebingungan karena Elisa terlihat buru-buru. "Ada apa, Bu? Apa ada masalah dengan proyek Bar Mahardika?"
"Bukan." Elisa mengambil napas dalam sebelum menghembuskannya.
Sejak dia berangkat dari rumah, menuju kantor di kawasan BSD City, pikiran perempuan itu masih saja tertuju pada percakapan Alex. Dia memikirkan Sarah dan Pak Tomi, juga beberapa orang lain yang membantu selama ini. Apa yang harus dilakukannya agar mereka tidak tersingkir?
Itu adalah pertanyaan yang berputar di benak Elisa, tapi bagaimana pun dia berusaha berpikir, tidak ada ide yang bisa dia lakukan agar bisa mempertahankan mereka.
"Apa aku bisa membantu?"
Elisa kembali menghela napas sebelum menggeleng. "Tidak apa-apa, lanjutkan saja pekerjaanmu. Mungkin ini efek karena aku terlambat tidur semalam."
"Baik, Bu. Hubungi aku saja jika butuh sesuatu, telepon di meja kerjaku akan selalu aktif."
Elisa mendengus tertawa. "Telepon kamu memang harus aktif 'kan? Kabari aku juga jika ada rapat mendadak yang harus kuhadiri."
"Siap, Bu!"
Elisa berjalan masuk ke ruang kerja yang kadang membuatnya terintimidasi itu. Ruangan luas yang hampir dua kali lipat kamar di rumah dan lemari pajangan berisi botol sampel dari hampir semua alkohol yang diekspor oleh Mahardika, termasuk hasil produksi perusahaan mereka. Di tengah ruangan, terdapat meja dengan sofa yang berhadapan untuk menyambut tamu, maupun pertemuan yang penting dengan waktu mepet.
Sebelum ini, Ben, kakak dari Alex yang memakai ruangan ini. Paman yang selalu bersikap ramah pada Elisa itu menjadi pilar yang kokoh untuk perusahaan selama beberapa waktu, tapi dia meninggal lima tahun yang lalu dan mulai saat itu keadaan Mahardika mulai tidak baik-baik saja.
Elisa merasa tekanan yang luar biasa karena harus mempertahankan apa yang masih ada dan membuat inovasi baru dengan harapan bisa meningkatkan keuntungan Mahardika. Tetapi, apa yang dikatakan memang lebih mudah daripada dilakukan.
Elisa teringat perombakan terakhir yang dilakukan oleh Alex tiga tahun lalu, ketika anak tunggal Ben dinyatakan meninggal di rumah sakit dan bertepatan setelah pengangkatan pria itu menjadi seorang CEO sebelum Elisa.
Berita kecelakaan pria itu masih terpampang di beberapa media online, terutama karena hal nahas itu juga melibatkan beberapa orang di jalan. Elisa membaca salah satu berita, mencari singkatan nama pria itu dan langsung menemukannya. OMP. MP yang dimaksud pasti singkatan dari Mahardika Putra yang juga tersemat di nama Elliot dan Elisa dalam versi perempuan, Putri.
Elisa kemudian mengecek berita lainnya yang berasal dari dua atau tiga tahun lalu. Nama pria itu sudah pasti terhapus dari berita acara di laman khusus Mahardika, karena berita-berita kecelakaan yang membawa nama keluarga mereka juga sudah lama hilang dan hanya tersisa artikel yang mencantumkan inisial pria itu sebagai satu-satunya korban dengan luka bakar parah.
Dari sana, Elisa mulai mencari nama-nama dari artikel umum dan berita acara Mahardika yang bisa ditemukan, mencari bukti perombakan yang dilakukan Alex. Masih ada, tapi dari yang dia baca, hampir semua nama yang mendampingi Ben maupun Markus, kakek angkat Elisa, sudah tersingkir dari kantor pusat atau pindah ke pabrik. Selain itu, tidak ada nama lain yang tersisa dari masa itu kecuali Alex dan beberapa anggota dewan.
"Sial."
Elisa mencengkeram pulpen di tangan dengan erat. Apa dia dan semua rekannya akan bernasib seperti itu? Dia tidak dapat membayangkan apa yang akan dirasakan oleh mereka jika hal itu benar-benar terjadi.
Perempuan itu kembali menggulirkan layar PC di hadapannya hingga sampai di artikel yang mencantumkan perayaan ulang tahun perusahaan. Di sana, dia melihat wajah Alex dan Tasha, begitu juga dengan Ben serta Markus bersama istri mereka.
Elisa dan Elliot tidak ikut karena sedang di luar kota, dia bekerja di cabang Mahardika yang ada di Surabaya, sedangkan adiknya mengikuti ujian sekolah.
Satu sosok lain yang bersama keenam orang itu tiba-tiba menarik perhatian Elisa karena terlihat tidak asing. Dia berdiri di antara paman dan bibi yang hanya beberapa kali ditemui perempuan itu beberapa tahun lalu. Posturnya terlihat tidak asing meski senyuman di foto terlalu cerah dari yang dikenalnya.
"Putra?"
Tanpa sadar nama itu terucap, tapi Elisa melanjutkan membaca keseluruhan artikel itu untuk menemukan nama panggilan pria itu, yang inisialnya cocok dengan berita kecelakaan. Oliver.
Dia benar-benar tampan, dengan wajah tirus yang sudah menjadi ciri khas keluarga Mahardika, dilengkapi tampilan yang bersih dan baik-baik seperti layaknya anak konglomerat yang terhormat.
Elisa sedikit mengingat pertemuan mereka yang pertama kali ketika masih berumur belasan, tapi hanya sebentar karena Alex ingin berbicara dengan Markus dan turut serta membawanya. Dia tidak terlalu mengingat wajah Oliver saat itu karena mereka tidak pernah bertemu di kesempatan lain.
Di sisi lain, Putra memiliki kesan yang lebih ... seksi, meski bisa bermain piano dengan sangat baik, tapi kesan yang diberikan pria itu kurang cocok dengan pria yang ada di dalam foto.
Elisa menutup wajahnya karena teringat lagi dengan malam kebersamaan mereka. Bahkan sekarang lebih parah karena dia sudah mengingat setiap sentuhan dan kecupan basah yang diberikan pria itu di tubuh, begitu juga dengan suara kenikmatan mereka yang bercampur menjadi satu. Bagaimana mungkin hal seperti ini menghantuinya?
Sebuah ketukan pintu menghentikan lamunan Elisa yang membelok terlalu jauh. Dia berdeham sebelum menjawab, mengembalikan ketenangannya yang sempat bubar jalan.
"Masuk."
"Halo, selamat pagi, Bu," ujar Tomi, Sekretaris Perusahaan, memasuki kantornya dengan bungkusan tas di tangan. "Saya harap kedatangan saya tidak mengganggu."
Elisa tersenyum sambil beranjak mendekati Pak Tomi. "Tidak sama sekali, Pak. Apa ini kue buatan Ibu yang baru?"
Ibu yang disebut Elisa bukanlah Tasha, melainkan istri Tomi yang membuka usaha toko kue yang lumayan ramai di sekitaran BSD dan sudah melayani pengiriman ke luar kota untuk penjualan online. Orang-orang terdekat Pak Tomi di kantor, seperti Elisa dan Sarah, diberikan sampel untuk mencicipi dan sebagai gantinya bisa memberi masukan untuk pengembangan rasa.
Elisa memperhatikan tas kertas yang biasanya dipakai untuk membungkus kue kotakan untuk dibawa pulang. Dia lumayan menantikan karena makanan buatan Ibu selalu enak. Ketika dibuka, Tomi menunjukkan bika ambon keju, begitu juga dengan salad buah dan macaroni schotel berukuran mini.
"Yang kecil ini yang baru, kalau satu lagi karena istri saya tahu Bu Elisa suka makanan penutup yang cenderung asin."
Elisa merasa terharu, tapi hanya menunjukkan senyum tipis. "Terima kasih untuk Ibu ya, Pak."
"Sama-sama, Bu. Untuk kesan dan pesan bisa langsung sampaikan ke istri saya ya. Saya permisi, mau menyampaikan ke yang lain kalau mood Bu Elisa sudah baikan."
Elisa tidak tahu harus bereaksi apa karena Tomi mengatakan semua itu dengan wajah serius dan beranjak keluar ruangannya dengan cepat. Perempuan itu hanya bisa mengambil tas itu ke meja, lalu mulai menyantap macaroni schotel yang terasa gurih dan lebih padat akibat potongan daging dan salad buah segar sebagai penutup.
Dia hanya bisa memikirkan satu kata untuk rasanya dan menjadi campur aduk.
"Enak."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top