2.1 What Happen With Jane [Jane×Hifumi]
•••
Jane Morgaine × Hifumi Izanami
『TAGS』
FLUFF, LIGHT ANGST(not much, I swear), ESTABLISHED RELATIONSHIP, ROMANCE, MISCOMUNICATION, MISUNDERSTANDING, IDIOT HIFUMI, CUDDLING, HAPPY ENDING
Dedicated to : Zaskia_putri
•••
"Kurasa, aku sudah mengacaukan sesuatu yang penting," celoteh Hifumi berpikir keras. Kening sang host terlihat berkerut hingga beberapa lapis.
Doppo yang mendengar celotehan itu, menoleh ke arah sahabatnya. Ikut berpikir, namun jelas memikirkan sesuatu yang lain.
"Sejak kapan kau tidak mengacaukan sesuatu?" komentar Doppo kemudian. Yang tengah duduk di sebuah single sofa di sisi kiri Hifumi.
Mendengar itu, rasa kesal Hifumi tersulut. "Hei, aku serius!" protesnya.
Doppo terlihat memutar bola matanya. "Memangnya, apa maksudmu soal mengacaukan sesuatu yang penting?" tanyanya kemudian. Walau sejujurnya ia malas mendengar rengekan sahabatnya itu, tapi ia tetap mengkhawatirkannya.
"Ini ...," Iris emasnya bergerak kesana-kemari. Jelas bingung dan gelisah karena tak tahu harus memulai dari mana. "Ini soal Jane."
Doppo terpaku. Bahkan kelopak matanya tak berkedip meski sudah waktunya untuk itu. Ia seolah terkena paralyzing, atau sebenarnya, ia tak habis pikir dengan masalah yang tengah dihadapi Hifumi.
Benar juga. Kenapa ia bisa melupakannya?
Jika seorang Hifumi Izanami terlihat bingung--sangat--seperti anak ayam yang kehilangan induknya, sudah pasti karena satu hal.
Jane Morgaine.
Rasanya Doppo menyesali dirinya yang sudah bertanya soal masalah sang host itu.
"Oke, aku ingat ada janji dengan Misaki," ucap Doppo beranjak segera dari duduknya. Jelas ingin kabur dari sesi bercerita tentang Jane Morgaine. "Jadi selesaikan masalahmu itu,"
"Tidak, jangan!" rengek Hifumi menahan tangan Doppo. Wajahnya sudah kehilangan nilai ketampanannya karena, air mata dan ingus--ugh, sungguh?--yang keluar dari salah satu hidungnya.
"Kumohon dengarkan ceritaku dulu!" sambung Hifumi lagi.
Ini akan jadi kisah yang panjang untuk seorang Doppo Kannonzaka. Pasti.
...
Dan akhirnya sesi bercerita dari tuan host tampan se-Shinjuku, berakhir. Dengan Doppo yang kabur seenaknya ditengah-tengah kisahnya. Itu menyakitkan ketika sahabat kalian sendiri pergi kala kau ingin curhat. Ditambah, dia pergi ditengah jalan. Itu semakin membuat rasa sakitnya berkali-kali lipat.
"Jangan terlalu berpikir negatif. Mungkin ia sedang sibuk. Morgaine itu juga punya kehidupan sendiri. Tidak hanya bercinta denganmu."
"Rasanya, ucapan bercinta itu terkesan tidak senooh." balas Hifumi mengangkat sebelah alisnya.
Ucapan Doppo terngiang di pikiran Hifumi. Meski laki-laki yang hampir mati itu meninggalkannya ditengah sesi berceritanya, ia sempat memberikan saran di awal cerita. Tapi karena Hifumi itu bodoh, dia takkan mengerti semua ucapan Doppo yang diutarakan kepadanya.
Ya, Hifumi Izanami itu bodoh.
Tapi, kenapa seorang Jane Morgaine mau menjadi kekasihnya?
Yah ... siapa yang tahu?
Hifumi meraih ponselnya yang tergeletak di meja. Mencari nama Jane di daftar panggilannya. Memilih nama itu, dan segera menghubunginya.
Selama beberapa saat, hanya nada sambung yang terdengar. Dan hanya mendengar nada itu saja, berhasil membuat jantung Hifumi berdetak lebih cepat. Rasa gelisah terasa semakin menjadi. Ia berharap, nantinya Jane tak bisa merasakan itu dari suaranya yang keluar dari ponsel pihak seberang. Ya, ia berharap akan hal itu. Sangat.
Setelah banyak melewati nada panggilan, akhirnya nada itu berhenti. Rasa bahagia merasuk cepat mengikis kegelisahannya. Dan saat mulutnya hendak mengucapkan kata 'halo', dirinya terhenti.
[Nomor yang Anda tuju, tidak dapat dihubungi. Cobalah beberapa saat lagi.]
Hifumi langsung mengakhiri panggilan itu. Lalu kembali mencobanya.
Balasan itu lagi. Putus panggilan. Hubungi lagi. Putus. Hubungi. Putus.
Entah sudah berapa kali ia melakukan itu, hasilnya tetap sama. Apa yang sebenarnya terjadi?
"J-Jane ...?"
...
"Hatcim!"
Rasa gatal yang dirasakan Jane di hidungnya, jelas sangat mengganggu. Ia menarik selembar tisu dari kotak tisu yang ada di atas meja sebelah kasurnya. Membuang cairan kental yang serasa memenuhi lubang penciumannya itu.
'Ah payah. Hanya karena kehujanan, aku jadi terkena flu tinggi seperti ini,' batin Jane jelas merasa kesal pada dirinya sendiri. 'Aneh. Biasanya aku tidak selemah ini.'
Jane membulatkan tisu yang telah ia pakai, lalu membuangnya ke tempat sampah.
"Bahkan, aku membuat kak James khawatir," gumamnya seketika mengingat momen dimana kakak laki-lakinya--James--datang secara tak diundang saat dirinya sedang terbaring lemah.
Benar. Sungguh sial sekali Jane Morgaine saat itu, karena ia harus kedatangan Kakak tercintanya kala dirinya baru saja terserang flu. Dan jelas sekali, James sangat panik kala itu. Bahkan, James nyaris menghubungi dokter terhebat--yang ia ketahui--dari luar Jepang agar Jane diperiksa, dan diberikan obat terbaik supaya adik tercintanya segera sembuh.
Ya, itu sangat berlebihan. Jane tahu Kakaknya memilih opsi itu karena khawatir dengan dirinya, yang sudah lama tinggal jauh--hidup sendiri--dari keluarga. Tapi ya, tidak begitu juga.
Andai kata Jane tak menghentikan Kakaknya itu, ia yakin semuanya akan jadi lebih merepotkan. Pasti. Ia jamin itu.
Jane meraih ponselnya. Sudah sekitar lima hari ia tak menyentuh itu. Setelah malamnya ia menghubungi manajer tempatnya bekerja, Jane sama sekali tak menyentuh ponselnya. Seujung jari pun. Bahkan, ia sengaja mengaktifkan mode senyap agar tidak mengganggu waktu istirahatnya. Dan karena itu pula, ia tak mengira kunjungan James.
Saat ia menyalakan layar ponselnya, Jane membelalak. Banyak panggilan tak terjawab beserta pesan berantai. Dan semua itu, berasal dari orang yang sama.
Hifumi.
"Oh gawat." Rasa panik mulai merayapi diri Jane kala melihat semua pesan yang ia dapat.
'Gawat! Gawat! Selama lima hari ini aku tidak menghubungi Hifumin. Ia pasti khawatir!'
Tanpa berniat membuka dan membaca semua pesan yang ia dapat dari Hifumi, Jane segera membuka daftar panggilan. Memilih nama orang yang terakhir kali menghubunginya. Berkali-kali.
Namun, saat ibu jarinya hendak memilih nama Hifumin, suara bel pintu terdengar nyaring. Membuat jari Jane terhenti di udara.
Jane menoleh ke pintu kamarnya. Mengernyitkan kening dan berpikir siapa itu. Siapa yang mengganggunya di saat genting seperti ini?
Masa bodoh.
Jane pun memilih untuk mengabaikannya. Jika sang tamu nantinya protes, Jane bisa beralasan ia sedang tidur karena sakit. Itu masuk akal, 'kan?
Tapi sepertinya, pihak tamu tak mau melakukan itu. Karena detik berikutnya, bel kembali berbunyi. Tanpa henti.
"Ck. Berisik sekali!" gerutu Jane kesal. Ia belum sepenuhnya pulih dari flu-nya. Jadi, hanya dengan mendengar suara bel rumahnya berbunyi--apalagi tanpa henti seperti itu--jelas membuat Jane terusik.
Jane segera turun dari kasurnya. Kaki telanjangnya, seketika merasakan lantai dingin rumahnya setelah sekian lama. Dan itu sempat membuat wanita itu berdesis.
Saat Jane hendak melangkah, dirinya tersentak oleh suara keras yang ia tak yakin apa. Serta suara teriakan Hifumi yang memanggil namanya.
Tunggu, Hifumi?
"JANE!" panggil Hifumi tiba-tiba membuka pintu kamar Jane.
Jane jelas tersentak. "Astaga, Hifumin!" gerutu wanita itu kemudian. Beruntung ia tidak memiliki gejala penyakit jantung. "Tunggu. Bagaimana kau bisa masuk kemari? Aku belum—"
"Aku mendobrak pintu rumahmu," potong Hifumi. Napas sang host itu nampak terengah-rengah. Sepertinya ia terus berlari dari rumahnya, hingga ke kediaman Jane.
Mulut Jane menganga lebar. Dan wanita itu speechless. Mendobrak? Yang benar saja! Memerbaikinya itu perlu uang, tahu!
"Itu bukan cara yang baik untuk bertamu, Hifumin," ujar Jane sambil memijit keningnya dengan jemarinya. Suaranya masih terdengar serak.
"Itu tidak penting!" balas Hifumi menggebu.
Tentu saja penting, bodoh! Yang kau hancurkan itu pintu rumah orang lain!
Jane hendak berucap. Ia bahkan sudah membuka lebar mulutnya. Sebelum Hifumi menyela cepat.
"Maafkan aku!" sela Hifumi membungkuk--tidak, bersujud cepat.
"Apa?" Jane membelalak. "T-tunggu, kenapa kau—"
"Maaf sudah menghabiskan semua camilan simpananmu!" lanjut Hifumi lagi.
Jane mengerjap beberapa kali. Menggeleng beberapa kali guna menjernihkan pikirannya.
"Camilan?" ulang Jane memastikan.
"Ya. Aku tahu dimana kau menyimpan camilan terbaikmu," jawab Hifumi memulai pengakuan dosanya. "Dan saat kunjunganku kemari minggu lalu, aku sudah menghabiskan semuanya. Maaf, aku sungguh minta maaf! Aku menyesali perbuatanku! Jadi tolong ... tolong jangan mencuekiku!"
Jane tak merasa iba. Sedikitpun tidak. Karena ia sungguh tak mengira hal ini. Dan ini sungguh konyol.
"Hifumin," panggil Jane lembut. Walau suara seraknya berhasil menutupi kelembutan nada wanita itu. "Sudahlah, ayo bangun,"
Hifumi nampak tersentak ketika tangan Jane menyentuh punggungnya. Dan ketika ia mendengar pintaan Jane, ia mematuhinya langsung. Tapi laki-laki itu hanya mengangkat kepalanya.
Oke. Terserah.
"Maaf aku tak menghubungimu selama lima hari terakhir ini," ujar Jane lagi kala iris emas Hifumi mengarah lurus padanya. "Aku butuh istirahat penuh. Jadi aku sengaja mengaktifkan ponselku pada mode senyap,"
"Eh?" Hifumi serasa bodoh--tidak, dia memang bodoh--ketika mendengar ucapan Jane. Dan pada akhirnya, ia menyadari keanehan di diri Jane. "Jane, suaramu ...,"
"Yah ...," Jane menggaruk belakang kepalanya sambil menatap ke arah lain. "Aku baru saja terkena flu berat,"
"Flu?"
Jane mengangguk. "Sekitar lima hari yang lalu, aku pulang dalam keadaan basah kuyub karena kehujanan," jelasnya, "dan malamnya, aku langsung ter—"
"Kalau begitu kenapa tak menghubungiku?" potong Hifumi, lagi. "Aku pasti akan merawatmu, Jane,"
"Justru karena itu," balas Jane dengan tenang. "Selain aku perlu istirahat penuh, aku juga tak ingin merepotkanmu dan tak ingin kau tertular. Kak James juga sempat berkunjung secara tiba-tiba. Ia sungguh panik ketika melihatku sakit,"
"Aku tak peduli!" balas Hifumi kini berlutut di depan Jane. "Masa bodoh jika aku tertular penyakitmu. Asalkan itu bisa membuatmu sehat, aku rela! Aku ini kekasihmu, Jane!"
Jane tampak membelalak. Dan ia berusaha sekeras mungkin agar tidak menunjukkan rona merah di pipinya. Walau finalnya, rona itu tetap muncul di kedua pipinya. Oh astaga, ia sungguh malu mendengar itu.
"Kau ini ...," Jane berucap kemudian, sambil menutupi wajahnya yang memerah dengan kedua tangannya. "Bisa tidak berhenti bersikap seperti budak cinta,"
"Aku tidak bertingkah seperti budak cinta," jawab Hifumi mengoreksi tanpa ragu. "Aku rela melakukannya karena aku mencintaimu. Dan aku tak ingin kau menderita,"
Jane semakin menutupi wajahnya. Ucapan Hifumi yang berikutnya, membuat tingkat malu pada dirinya meningkat lebih tinggi. Ia berani bersumpah, kedua telinganya pasti juga sudah memerah.
"Jane, kau baik-baik saja?" tanya Hifumi meraih kedua tangan Jane. Perlahan menurunkan keduanya dari wajah wanita itu
".... ka ...," ujar Jane lirih. Sehingga melahirkan kerutan berlapis di kening Hifumi. "Hifumin ... baka ...."
Sebuah panah serasa menembus jantung Hifumi ketika dirinya melihat wajah Jane.
Merona merah--yang ia yakin bukan karena flu-nya--menghiasi wajah hingga telinga. Nada bicara cemberut, dan tingkah seolah tak peduli yang justru terlihat menggemaskan.
"Oh Jane. Tolong izinkan aku merawatmu." Ucap Hifumi merasa saraf otaknya terputus seketika.
...
"Hifumin,"
Suara Jane berhasil membuat Hifumi membuka kedua matanya perlahan, dan ia langsung menatap kekasihnya itu.
"Hm?"
"Apa kau yakin tidak apa menemaniku begini?" tanya Jane malu.
Kini, keduanya tengah berbaring di kasur milik Jane. Dengan wanita itu yang tidur di dalam pelukan Hifumi, dan menjadikan salah satu lengan laki-laki itu sebagai bantal tidur. Wajahnya mengarah lurus ke dada sang host. Dan Jane bisa merasakan aroma parfum yang digunakan Hifumi dengan amat jelas.
Oh ya ampun. Ia seperti akan meledak.
"Tidak apa," jawab Hifumi lembut. Salah satu tangannya bergerak mengusap kepala Jane. "Sudah kubilang, 'kan? Aku ingin merawatmu,"
"Tapi kau sungguh bisa tertular jika berdekatan denganku seperti ini,"
"Tidak peduli~"
"Hifumi, aku serius!"
"Dan aku juga."
Jane mengatup mulutnya. Serasa terpojokkan dengan pernyataan jujur itu.
"Sudahlah, kau tak perlu memikirkannya," ujar Hifumi mendorong Jane agar lebih mendekat kepadanya. Dan ia pun mempererat pelukannya. "Sekarang tidurlah. Aku akan bersamamu hingga kau bangun."
Jane jelas ingin protes. Bahkan pikirannya juga menyiapkan kalimat apa yang akan diutarakannya. Tapi ternyata, pikirannya kalah dengan perasaannya yang ingin berada di pelukan Hifumi. Ingin merasa sangat dilindungi oleh sang host itu.
Jane menghela napas panjang. Akhirnya memilih untuk menerima keadaannya. Walau sejujurnya ia sangat menikmati itu.
"Oyasuminasai, Hifumin." Salam Jane sebelum memejamkan matanya.
"Oyasumi, Jane." Balas Hifumi mengecup lembut kening Jane. Sebelum ia juga ikut memejamkan matanya.
Kesunyian yang begitu hangat pun terlahir di sana. Baik Jane maupun Hifumi, mereka menikmati kebersamaan itu setelah sekian lama. Yah ... tidak selama itu juga.
"Jangan lupa menggantikan camilan yang kau habiskan." Ujar Jane tiba-tiba. Tapi matanya masih terpejam.
Hifumi refleks membuka matanya lagi. Melirik Jane, dan seketika terkekeh.
"Iya, aku akan mengganti semuanya," jawab Hifumi santai. "Bahkan akan kuberikan versi edisi spesial. Aku janji."
Setelahnya, sebuah kecupan kembali mendarat lembut di kening Jane. Dan wanita itu tersenyum tulus dalam tidurnya.
•••
Here your happy ending!!!!
Well ... karena ane orang baek--pura-pura merasa gak pernah ngasih cerita heavy angst--jadi ane berikan kisah happy ending :)
Scene favorit ane saat menulis ini adalah, ketika Hifumi mendobrak pintu rumah Jane :v poor pintu rumah Jane xD dan ketika menulis Hifumi itu bodoh xD
Btw, hope you like this. Dan semoga, cerita ini bisa membayar kesedihan cerita "Fake Utopia" :) dan maapkeun sudah mengatakan Hifumin-mu bodoh. LOL
Sincerely,
Shizu Reiku
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top