For Yesterday And Tomorrow
Hmm ... Yoon Ji Sung, ya?
Sebenarnya aku tidak ingin membicarakan lelaki itu lagi. Namun, jika kalian memang menginginkannya maka apa boleh buat. Akan kuceritakan.
Yoon Ji Sung, dia bukan lelaki istimewa, bukan seorang populer, dan bukan pula seorang kaya raya. Setidaknya itulah yang kuketahui sejauh ini.
Sama sepertiku, kami lahir dan besar dari keluarga yang serba biasa saja hingga akhirnya dipertemukan, melalui cara paling membosankan sejagat raya.
Aku dan Ji Sung bertemu pertama kali di depan supermarket, saat hujan turun di malam hari—membuat kami terjebak bersama karena kehabisan stok payung.
Saat itu, ketika Ji Sung baru saja keluar dari supermarket dengan wajah putus asa, kulihat ia sedang melapaskan mantelnya.
Aku tidak berbohong, saat melihat Ji Sung melakukan hal tersebut, aku sempat berharap bahwa dia akan rela meminjamkan mantelnya untukku.
Bagaimana pun aku sudah cukup basah kuyup dan aku kedinginan, sedangkan dia ... mungkin masih bisa menahannya.
Oh, mustahil. Pikiran pertama yang terlintas ketika aku mengharapkan hal demikian. Pasalnya kami tidak saling mengenal—hanya mengetahui satu sama lain—tanpa pernah menyapa, saat berpapasan.
"Ami, benar, 'kan?" Jisung bertanya padaku, terdengar canggung. Namun, bersahabat dan itu bukanlah hal buruk, daripada tidak membuka obrolan sama sekali.
Aku mengangguk, sembari memeluk lengan dengan gigi saling menggelatuk. "Ya. Kau Ji Sung. Err ... tetangga dua rumah dari tempat tinggalku."
Jisung tertawa kecil kemudian berdiri di sisiku, sambil menyerahkan mantelnya.
"Kau basah kuyup dan aku yakin kau tidak berpikir untuk berlari melawan hujan."
Aku menoleh sesaat lalu kembali menatap hujan. "Ya, kau benar. Itu bunuh diri, karena harus menunggu selama dua puluh menit di dalam bis dengan keadaan basah kuyup."
Kudengar Jisung tertawa lagi, seolah itu adalah hobinya lalu menyampirkan mantelnya di lenganku.
Menerima perlakuan tersebut, seketika wajahku menampilkan ekspresi kecewa.
Dan ... haha, kupikir kau bisa membaca pikiranku karena setelah melihat mimik wajahku barusan, Ji Sung langsung menutupi bibirnya dengan tangan kanan.
"Omo!" serunya sedikit tertahan, sambil terus menatapku. "Kau tidak berharap bahwa aku akan menyampirkan mantel itu di bahumu, 'kan?"
Aku terdiam. Mengernyit tipis dengan senyuman khas seolah tertangkap basah. "Mian. Terlalu banyak menonton drama, tapi ... gomawo," kataku, sambil buru-buru mengenakan mantel milik Ji Sung.
Reaksi pertama, aku suka aroma parfumnya. Buah persik dan menyegarkan.
Reaksi kedua, jantungku hangat sekaligus berdebar dan kuharap aku tidak memerah.
Reaksi ketiga, ya Tuhan, aku akan meleleh sebentar lagi
"Apa kau demam?"
"Huh?" Aku menoleh ke arah Ji Sung—lagi—dengan tampang paling idiot.
"Wajahmu memerah. Apa kau demam?" tanyanya lagi dan saat itu pula, aku menyadari kebodohanku yang tidak bisa menyembunyikan reaksi rahasia setiap kali bertemu Ji Sung.
"Tidak. Ini warna kulit alamiku." Aku berbohong, sembari menepuk-nepuk pipi kemudian merogoh kantung plastik dan mengambil dua botol minuman gingseng. "Satu botol untukmu. Setidaknya cukup menghangatkan."
Tersenyum ramah, Ji Sung selalu berhasil mencairkan hatiku. Dia mengambil satu botol minumanku, mengucapkan terima kasih dan meminumnya beberapa teguk.
Aku hanya mengamati Ji Sung dalam diam dan setelahnya dengan penuh kepercayaan diri, dia mulai bernyanyi.
Ini adalah pengalaman pertama. Sekian lama aku memerhatikan Ji Sung dan baru sekarang kulihat dia bersinar melebihi lampu pijar yang menyorot panggung idol.
Saat itu, aku merasakannya lagi. Namun, kali ini berbeda karena sekarang Ji Sung berada di sisiku.
Seolah mengatakan bahwa aku tidak perlu bersembunyi lagi seperti dulu, karena akhirnya malam itu adalah awal kami menjadi dekat.
Dan aku yakin kau tahu bagaimana akhirnya.
Kami berkencan selama beberapa tahun, melakukan banyak hal indah, merencanakan masa depan bersama, hingga mulai membicarakan mimpi masing-masing. Percayalah, selama itu kami tidak pernah berdebat, hubungan percintaan kami teramat mulus hingga membuatku berharap bahwa Ji Sung adalah takdirku.
Namun, harapan itu merupakan suatu kesalahan terbesar.
Ji Sung mengatakan bahwa ia ingin melanjutkan mimpinya, berharap agar kehidupan masa depan kami menjadi lebih baik sehingga memutuskan untuk mengikuti audisi idol.
Sebenarnya tidak ada yang salah dengan keputusan Ji Sung. Dia adalah lelaki paling setia yang pernah kukenal. Namun, saat itu aku terlalu terobsebsi dengan hubungan kami. Merasa tidak aman jika Ji Sung terlalu jauh denganku, merasa takut jika Ji Sung mencintai gadis lain di lingkungannya kelak.
Dengan kata lain, aku tidak memercayai Ji Sung dan hanya memikirkan diri sendiri, tentang seberapa besar cintaku untuk Ji Sung.
Dan di sinilah awal pertengakaran kami sekaligus akhir hubungan kami.
Ji Sung menggenggam kedua tanganku erat-erat. Matanya tidak pernah berhenti menangis. Bibirnya tidak pernah berhenti mengucapkan maaf, serta seribu janji yang mengatakan, bahwa ia akan setia dan kembali.
Akan tetapi, obsesi dan rasa cintaku yang terlalu dalam telah membutakan akal sehatku saat itu. Jadi tanpa berpikir panjang, aku memutuskan hubungan kami, meninggalkan Ji Sung, mengabaikan suaranya yang memanggil namaku.
Hari itu, bukan hanya Ji Sung yang menangis, tapi aku juga.
Hatiku terasa hampa tanpa kehadiran Ji Sung dan setelah sadar akan perpisahan kami, beberapa jam lalu ....
Pikiranku kacau.
Tidak. Bukan hanya pikiranku, tetapi seluruh yang berkaitan denganku terasa kacau hingga takdir buruk itu hadir, setahun setelah perpisahan kami.
Aku kehilangan penglihatanku dan kupikir ini adalah hukuman.
Kecelakaan itu mengambil penglihatanku. Mengambilnya di saat aku ingin menemui Ji Sung, sebagai permohonan maaf dan ucapan selamat karena kudengar, Ji Sung berhasil mencapai babak final dalam audisi idol tersebut.
Selain itu, para tentangga juga sempat mengatakan bahwa Ji Sung masih mencari kabar tentangku.
Aku teramat bahagia karena Ji Sung menepatinya janjinya, yaitu masih mencintaiku meski kutahu dia memiliki jadwal teramat padat.
Sayangnya, Tuhan berkata lain. Dia lebih menginginkan agar aku menerima hukuman.
Membuatku terpaksa menerima kenyataan, bahwa lebih baik meninggalkan lelaki yang jelas-jelas kucintai itu dan berakhir dalam penyesalan karena tidak memercayai Ji Sung.
Percayalah, hingga saat ini, lima tahun dalam keadaan buta pun aku masih mencintainya. Namun, setiap hari kudengar tentangnya, Ji Sung terasa semakin jauh dari jangkauanku.
Terlebih ketika seseorang pernah mengatakan, bahwa sekarang Ji Sung telah menjadi idol terkenal, hingga memiliki fans internasional.
Aku hanya bisa tersenyum mendengarnya, terutama ketika kutahu yang mengatakan hal tersebut adalah penggemar Ji Sung. Ia bahkan sampai berkhayal ingin menikah dengan Ji Sung, tanpa sadar bahwa mimpi kita serupa dan hanya memiliki perbedaan waktu.
Ji Sung telah berhasil menggapai mimpinya, tanpa aku dan kuharap dia juga telah melupakanku. Gadis tidak bersyukur karena meragukan kesetiaan Ji Sung.
Asal kalian tahu, aku selalu turut bahagia jika tidak sengaja mendengar nyanyian Ji Sung. Aku masih bisa mengingat bagaimana seluruh ekspresi wajahnya dan aku masih mengingat jelas bagaimana sentuhannya.
Kupikir, meski sudah tidak bisa melihatnya lagi, Tuhan ternyata masih berbaik hati. Tuhan meninggalkan banyak memori tentang Ji Sung di seluruh indraku dan aku akan menjaganya baik-baik, hingga—
"Ami. Kau Ami, bukan?"
"Ji-Ji Sung." Tongkat penunjuk jalanku seketika terjatuh. Aku tahu sekali pemiliki suara itu dan refleks tanganku menjadi sibuk, mencari-cari Ji Sung dari arah suara yang kudengar.
Tuhan punya rencana dan Tuhan tahu apa yang terbaik. Namun, aku tidak tahu hal itu akan terjadi, sehingga ....
... aku terkejut luar biasa.
Tanganku meraba-raba mencari apa pun yang bisa kusentuh, meyakinkan diri bahwa suara Jisung yang memanggil namaku barusan bukanlah ilusi di tengah keramaian taman.
Aku menangis—entah sudah keberapa kali, setiap kali teringat Ji Sung dan ketika tanganku tidak mampu menyentuh apa pun.
Di waktu bersamaan, lagi-lagi aku khawatir jika suara itu hanyalah halusinasi. Namun, beberapa saat kemudian seseorang memelukku dan aku mengenal jelas siapa pemiliknya.
Yoon Ji Sung. Aku mengingatnya dengan jelas di dalam memori otak dan juga di dalam hatiku.
"Mianhe." Kata pertama yang kuucapkan pada Ji Sung, di sela tangisanku. "Aku telah salah dan—"
"Aku masih mencintaimu. Untuk selamanya dan sehari setelah itu. Kumohon, jangan tinggalkan aku lagi."
Suara Ji Sung terdengar sangat merdu di telingaku, hingga tangisku kembali pecah dan aku membalas pelukannya.
Aroma buah persik. JI Sung tidak berubah dan ....
Dia menerima kekuranganku saat ini. Dia tidak meninggalkanku. Dia masih setia.
"Kau bisa merabanya, jika kau lupa bagaimana wajahku. Tapi asal kau tahu, aku tidak bisa melupakanmu bahkan semua lagu itu adalah untukmu."
"Kau tahu aku ...."
"Ya. Aku menemukanmu lagi dan aku tidak peduli."
"Ji Sung ...."
"Biarkan aku menciummu dan setelah itu, biarkan aku membayar semua janji yang kuucapkan sebelum kepergianmu."
Aku terdiam. Tidak sanggup menjawab apa pun, memilih pasrah ketika Ji Sung meraba ke dua pipiku dan sentuhan itu kembali kurasakan.
Ji Sung masih melakukannya dengan lembut dan aku masih sangat mengingatnya.
Yoon Ji Sung ... terima kasih karena masih mencintaiku, bahkan setelah aku meninggalkanmu dan menyepelekan mimpimu.
Saranghaeyo.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top