FTSOL #6
FTSOL #6
"Saya hanya ingin menikah sekali seumur hidup saya, Aruna. Tapi rasanya, harapan saya itu terlalu muluk untuk jadi kenyataan."
"Lo kenapa dari tadi diem aja?"
"Eh? Apa?"
"Lo ngelamun."
Aruna menghentikan gerakan tangannya mencabik-cabik roti susu yang dibelikan Ira untuk dimakan sebelum meminum obat. Ia sudah makan bubur, namun rasanya tidak enak. Kerongkongannya lebih mudah menerima roti daripada bubur yang rasanya tidak jelas. Tekstur yang terlalu lembek, hancur, dan beraroma telur. Ira mengatakan, ia mencampurkan telur ke dalam bubur sehingga rasanya lebih kaya.
"Lo mikirin apa sih?" tanya Ira. Ia merapikan selimut yang menutupi bagian pinggang sampai kaki Aruna. "Atau lo kangen sama Damar?"
Senyuman manis Ira dibalasnya dengan delikan mata.
"Damar lagi ada urusan, katanya. Kalau-kalau lo nyariin dia."
"Gue jelas nggak nyariin dia," balas Aruna.
Ira menopangkan dagu. "Run, mendingan lo pikirin lagi deh rencana lo. Gue bukannya pengen ngatur-ngatur hidup lo. Tapi, Damar itu baik banget sama lo. Ya, mungkin kelihatannya dia ketus, tapi gue yakin sebenarnya dia perhatian sama lo."
"Gue nggak akan ngubah rencana gue."
Ira menggeleng. "Tapi apa lo nggak mikirin perasaan Damar?"
"Nggak."
"Hanya karena dendam sama orangtua Eryk, lo ngorbanin perasaan Damar?" Ira berdecak. "Gue nggak ngerti deh sama jalan pikiran lo."
"Gue nggak mau bahas soal ini lagi."
"Oke kalo gitu. Lupain aja. Gue ngeliat dia tadi, trus tiba-tiba aja kepikiran soal ini."
Aruna teringat percakapan dengan Eryk kemarin pagi. Apa yang ia katakan kepada Damar adalah hal yang berkebalikan dengan yang ia alami. Eryk seolah menolaknya, jelas bukan sedang merindukannya.
Isteri Eryk sedang dalam keadaan hamil.
Eryk sudah melanggar kesepakatan mereka. Ia pikir, Eryk akan setia, tapi kenyataan yang ada, hatinya mulai bercabang. Atau mungkin telah bercabang.
Keadaannya belum pulih benar namun entah mengapa, ia sudah sangat ingin melabrak Eryk dan isterinya. Tidak hanya mereka, namun juga orangtua Eryk. Terutama ibunya.
Tapi ia harus menahan diri. Bukankah targetnya membuat Eryk dan isterinya bercerai? Hal itu akan sangat adil buat mereka semua.
Lalu soal Damar...
Soal Damar...
"Udah pulang, Dam?"
Saya nggak bisa punya dua hubungan dalam waktu yang sama
Aruna merasa tersindir saat Damar mengatakannya.
Mengapa Damar harus mengatakan hal itu? Damar bisa saja mengaku ia punya atau tidak punya pacar. Selesai.
Tadi itu yang bertanya, bukan dirinya, tapi Ira.
Ira terlihat perhatian kepada Damar. Apakah sahabatnya itu memiliki perasaan kepada Damar?
Kemarin, mereka bersama-sama mencarinya. Ira juga selalu meladeni Damar dengan ramah yang dibalas Damar dengan respon yang baik. Bukan tidak mungkin jika mereka memiliki perasaan satu sama lain.
Ira juga tengah melajang. Katanya malas untuk memulai hubungan serius, karena ia merasa lebih nyaman hidup sendiri. Tapi jika Damar menyukainya, bukan tidak mungkin jika Ira mempertimbangkan untuk berhubungan serius dengan Damar?
"Akh!" Aruna tanpa sadar memukul kepalanya.
Baik Damar maupun Ira segera memfokuskan perhatian kepadanya.
Mereka sama-sama orang baik. Tentu saja mereka cocok.
"Nggak."
Damar mendekat, menunggunya berbicara. Tapi Aruna merasa tidak perlu mengatakan apa-apa.
"Nggak ada apa-apa," tambah Aruna. Ia berdehem. "Gue cuma mau minum."
"Ini, Run." Ira mengambilkan segelas air. Aruna menatap Ira hati-hati, yang dibalas Ira dengan tatapan bingung.
Bagaimana jika ternyata mereka punya hubungan?
Atau bagaimana jika mereka menjalin hubungan serius setelah ia dan Damar bercerai?
"Ra, emangnya lo nggak punya pacar?" tanya Aruna penuh rasa ingin tahu setelah meneguk air.
"Nggaklah," kata Ira sambil menggeleng. "Kenapa lo tiba-tiba nanyain soal itu? Kalo gue punya pacar, pasti gue ngomong ke lo."
"Kenapa lo nggak nyari?"
"Ya karena gue nggak pengen, Run." Ira berdiri untuk merapikan susunan bunga segar di dalam vas. "Kok tiba-tiba lo bahas soal itu? Aneh banget deh."
"Atau ada cowok yang lo suka?" cecar Aruna.
"Aduh, Aruna sayang. Lo kok jadi kedengaran pengen tau banget soal itu? Gue pasti ngomong kalo ada laki-laki yang gue taksir."
"Kira-kira ada kemungkinan gue kenal laki-laki itu?" tanya Aruna lagi.
"Ya mana gue tau?" Kedua bahu Ira terangkat tinggi-tinggi. Wajahnya menunjukkan tanda tanya besar.
Damar menempelkan tangan ke keningnya, membuat Aruna terkejut. "Gue nggak lagi panas."
"Minum obat udah bikin kamu hype ya?"
Aruna menurunkan telapak tangan Damar yang tadi sempat mendarat di keningnya. Jemari Damar terasa hangat dan lembut. Ia belum melepaskan lekat jemarinya di punggung tangan Damar, yang kini dibalas Damar dengan membalikkan telapak tangan Aruna hingga telapak tangan mereka saling bergesekan. Damar menggosok-gosokkan telapak tangannya ke telapak tangan Aruna untuk memindahkan panas tubuhnya.
"I'm fine." Aruna menarik tangannya dari jangkauan Damar.
"Bagus kalo gitu."
Damar tersenyum, tanpa sadar membuat Aruna menggigit bibir.
"Lain kali, jangan asal megang," ucap Aruna, berusaha diketuskan.
"Maaf."
Damar beranjak dari sofa, mengatakan jika waktu makan siang sudah lewat, namun ia sama sekali belum makan. Rupanya tadi ia membeli makanan di luar saat Ira bilang Damar sedang ada urusan. Kini Ira membantunya mengeluarkan kotak-kotak makanan dari dalam bungkusan.
Aruna memerhatikan Ira yang tengah menata piring-piring putih di atas meja kitchen set. Nampak antusias menyiapkan makanan. Tangannya mengambil sesuatu dari dalam kotak, entah apa dan mencicipinya.
"Enak banget. Aku suka ayam pop."
Ira mengambil wadah kerupuk warna ungu by Tupperware dari susunan wadah makanan di meja dan sebentar saja ia terlihat mengunyah kerupuk. Saat Ira melihatnya, Aruna berpaling dan menyandarkan punggungnya lebih dalam ke sandaran sofa.
"Makan yuk, Run?" Ira menawarkan makanan dengan ramah seperti biasanya.
"Hmm, nggak laper."
"Gimana lo bilang lo nggak laper? Lo makannya dikit banget tadi. ayo dong, makan. Biar lo kuat," bujuk Ira.
Aruna bergeming.
"Arunaa..." Ira memainkan suaranya.
Aruna tidak suka. Ia menatap Ira tajam, lalu berbaring dan membalikkan badan.
"Oke kalo lo nggak mau makan. Gue makan dulu ya kalo gitu? Padahal ini enak banget lho? Dam, nggak gabung di sini?"
"Nggak. Saya di sini saja."
Kenapa suara Ira terdengar semakin mengesalkan.
"Bisa diam nggak sih, Ra? Berisik banget lo. Gue mau tidur!" Aruna tidak bisa lagi mengontrol nada dan volume suaranya yang kian meninggi.
Di belakangnya, Ira menggumam, bad mood lagi.
Aruna menghela napas dalam-dalam.
Kenapa Ira selalu sabar menghadapinya sementara yang bisa ia lakukan hanya memarahinya? Ira adalah orang yang selalu ada saat ia butuhkan. Bertahun-tahun Ira bertahan menjadi sahabatnya.
Apakah Ira akan bosan padanya suatu saat nanti dan meninggalkannya sama seperti Eryk meninggalkannya?
***
Damar bisa mendengar dari tempatnya duduk, bagaimana suara Aruna terdengar jelas sedang membentak Ira. Ia sudah terbiasa dengan sikap temperamental Aruna, tapi baru sekali ini ia mendengar Aruna memperlakukan Ira seperti itu.
Mood Aruna benar-benar buruk saat itu.
Damar mencoba menyelesaikan makanannya dalam keadaan tenang, tapi bentakan Aruna tadi telah mendistraksi pikirannya. Nafsu makannya kini menghilang entah ke mana. Ia mencoba menghabiskan makanan yang terlanjur di ambilnya.
"Ayo dong, Run. Udah waktunya makan obat. Tapi gimana obatnya mau dimakan kalo lo nggak mau makan?"
Damar merendahkan badannya setelah duduk di sofa. "Aruna. Kamu harus makan. Sekarang sudah jadwal kamu minum obat."
Aruna memilih diam, tapi tubuhnya sedikit menggeliat merapikan selimut.
"Mau disuapin?"
"Nggak usah." Aruna menoleh kepadanya, lalu kembali ke posisi semula.
"Saya suapin."
Aruna terdengar menggeram. "Gue kan udah bilang nggak usah."
"Apa ada yang mau kamu omongin?"
Ira berdehem. "Gue pergi aja dulu. Kalau kalian ada hal pribadi yang mau diomongin."
"Mau ke mana?"
Baik ia maupun Aruna bertanya dalam waktu bersamaan.
Ira tergelak. "Duh kompak banget ya? Run, gue mesti pulang dulu, takut dicariin sama orang rumah."
"Kan lo udah bilang mau nemenin gue di sini?"
"Kan ada Damar? Ntar gue ganggu kalian lagi."
"Nggak ganggu. Gue minta maaf udah ngebentak lo tadi, tapi lo jangan pergi."
'Sorry, Sayang. I have to go. Ntar gue telepon, oke?"
Tanpa menunggu persetujuan, Ira mengecup kepala Aruna dan berpamitan kepada mereka berdua. Ia berbalik lagi karena terlupa sesuatu. Setelah Ira menghilang dari balik pintu, Damar kembali menghadapi Aruna.
"Aruna."
"You can call me, Run. Just Run. Gue kaya lagi dimarahin kalo dipanggil pake nama itu."
"Nggak biasa."
Aruna membalikkan badan secara tiba-tiba. "Lo bisa manggil Ira dengan sapaan lebih pendek, kenapa nama gue nggak bisa?"
Damar terperangah dengan respon Aruna. Apakah ia sedang marah untuk sesuatu yang sebetulnya sangat sepele?
"Apa kamu lebih suka dipanggil Anu? Karena kalau kamu nggak suka saya panggil dengan nama Aruna, maka saya akan panggil kamu Anu. Atau sebut saja Mawar."
Aruna memang suka menggeram seperti kali ini.
"Lo nyebelin tau nggak? Lo mendingan jauh-jauh deh sebelum gue makin marah sama lo."
Damar tidak salah dengar kan? Sampai sekarang tubuhnya belum pulih seratus persen karena mencari Aruna, dan sekarang Aruna mengatakan akan marah kepadanya?
Sebenarnya terbuat dari apa hati perempuan ini? Mungkin bukan lagi dari batu, tapi dari baja!
"Seharusnya yang pantas marah itu saya, Aruna." Damar menghela napas dalam-dalam. Kesabaran ada batasnya juga. "Kamu memang sulit dimengerti."
"Lo benci kan sama gue?" tanya Aruna.
"Saya nggak benci kamu. Saya benci sikap kamu."
"Basi," gumam Aruna. "Just leave me alone, and you'll be free."
Damar mengangguk. "Tenang saja. Saya pasti ninggalin kamu suatu saat nanti. Saat kamu dalam kondisi yang lebih baik. Bukan dalam keadaan seperti ini."
"Kenapa harus nunggu nanti?"
Damar tidak lagi menjawab. Bergegas ia meninggalkan tempatnya duduk.
Mengapa menghadapi Aruna harus sesulit ini?
***
Tadinya Aruna pikir, Damar akan meninggalkan rumah. Namun ternyata Damar masih bertahan. Damar tidak terlihat di ruang tengah, tapi Aruna sekilas melihatnya masuk ke dalam kamar.
Oh tentu saja. Rumah itu rumah milik Damar. Seharusnya ia yang angkat kaki dari rumah itu, bukan Damar.
"Aruna? Ini mama sama papa."
Papa dan mama berjalan diikuti Damar di belakangnya.
"Ngapain ke sini sih? Aku nggak apa-apa. Nggak perlu dijenguk."
"Papa sama mama khawatir sama kamu." Mama membelai rambutnya dengan lembut. "Kamu baik-baik aja kan?"
"Mhh, ya."
Papa mendekat, lalu mengusap puncak kepala Aruna.
"Kamu kalau ada masalah, cerita sama papa, sama mama. Damar juga ada dan siap mendengarkan keluhan kamu."
"Pa, bagaimana kalau kita cariin ART? Damar kan harus kerja, nggak bisa sepenuhnya jagain Aruna."
"Kenapa bukan mama sama papa yang nemenin Aruna?"
"Kamu mau papa sama mama tinggal di sini?" tanya mama, raut wajahnya serius.
"Yaaa, aku yang ke sanalah, Ma."
"Tapi, ini kan rumah kalian? Kalau kamu tinggal sama kami, Damar gimana?"
Damar segera menyahut.
"Jangan dipikirkan soal itu, Pa, Ma. Kalau Aruna mau tinggal bersama papa dan mama, pasti saya izinkan."
Papa tidak setuju. "Untuk sementara, kamu boleh tinggal sama kami. Tapi kalau sudah sembuh, kamu harus balik lagi ke sini."
Apakah papa tidak mengharapkan ia tinggal di sana?
"Paaa, nggak usah pikirin soal itu dulu. Yang penting sekarang itu, pemulihan Aruna." Mama sesekali bisa diandalkan dibanding papa yang terkadang mengucapkan kalimat-kalimat yang tidak enak didengar.
"Terserah Aruna saja kalau begitu." Suara papa terdengar lembut, namun Aruna yakin hatinya tidak demikian. Di pikiran papa hanyalah bagaimana pandangan orang-orang kepadanya. Tegas.
Bukan berarti papa tidak menyayanginya. Hanya saja, figur papa memang dikenal tegas, bahkan di saat-saat yang menurut Aruna, ketegasan tidak begitu diperlukan.
Apakah papa tidak melihat ia sekarang sedang sakit?
"Oh, ya. Papa sama mama mau minum apa?" tanya Damar. Ia menawarkan camilan dan menunggu apa yang ingin diminum sebagai pendamping keripik kentang dan kacang bawang.
"Jangan repot-repot, Damar. Kamu duduk aja di sini sama kami," Mama nampak tersanjung akan perhatian Damar.
Damar menantu yang baik.
Ia pilihan yang tepat untuk putri kami yang tidak bisa kami banggakan.
Aruna menciptakan kalimat-kalimat itu sendiri, berotasi di benaknya setiap papa dan mama memandang kagum kepada Damar.
Orangtua manapun akan mudah diambil hatinya oleh Damar. Sebab orangtua mana yang tidak senang dianugerahi menantu sesopan dan sebaik Damar.
Mengapa ia selalu merasa iri kepada Damar setiapkali orangtuanya memberi compliment atas sikapnya yang manis? Mengapa ia tidak bisa menjadi manusia berhati malaikat?
Sejauh ini, prestasi terbaik yang bisa ia lakukan adalah menyusahkan semua orang.
Bukannya ia tidak pernah mencoba untuk berubah, namun mengapa rasanya sulit sekali?
"Mungkin sedikit-sedikit kamu bisa menyiapkan diri untuk jadi bagian direksi. Waktu pemulihan bisa kamu isi dengan belajar."
Aruna tersengat dengan ucapan papa. Ia pikir papa akan berhenti membahas soal perusahaan.
"Aku nggak bisa, Pa."
Terdengar hembusan napas berat papa.
"Aruna. Sampai kapan kamu mau bersikap begini?"
"Aruna kan udah pernah bilang, Aruna nggak bisa. Aruna nggak sehebat Mas Abi, Mbak Anis. Yang ada malah, perusahaan bakal hancur kalau Aruna ada di sana."
Mama menggeleng ke arah papa. "Udah, Pa. Jangan bahas soal bisnis, bisa kan Pa? Gimana Aruna bisa betah kalo setiap saat yang papa omongin soal bisnis aja terus?"
"Ya udah. Papa minta maaf."
Papa memeluknya, dan Aruna merasa ingin menolak pelukan papa, namun sudah terlambat. Wajar jika papa suka memarahinya. Ia tidak pernah bisa memenuhi ekspektasi papa dan semua orang.
Ia selalu saja mengecewakan.
"Jadi kalo gitu, biar Mama bantu packing pakaian yang mau kamu bawa."
Aruna senang mama ada di sini. Ternyata mama tidak seburuk yang ia kira.
***
Selama tiga hari menginap di rumah orangtuanya, Aruna merasa kondisinya jauh lebih baik. Abi dan Anis datang menjenguk, tapi mereka tidak banyak mengobrol. Mereka lebih sibuk dengan anak mereka masing-masing yang masih butuh banyak pengawasan sebelum sempat memecahkan semua guci mahal koleksi mama. Atau mengotori dinding dan sofa dengan grafiti acak hasil goresan tangan kreatif anak balita. Mas Abi memiliki sepasang kembar perempuan, Kayla dan Nayla, sedangkan Mbak Anis memiliki seorang anak laki-laki bernama Arjuna yang nakalnya bukan main. Minggu pagi itu, Arjuna membuat Kayla dan Nayla menangis, juga menggunting acak bonsai mahal kesayangan papa, dan tidak lupa menumpahkan sabun cuci piring ke kolam ikan. Papa dan mama selalu merindukan cucu-cucu mereka, namun anak-anak kecil itu jelas lebih senang membuat mereka terkena vertigo dan serangan jantung ringan.
"Tanteee Runaaa. Bagus gak?"
Kayla menunjukkan hasil karyanya, mewarnai gambar Rapunzel dengan warna dominan pink. Ia jelas telah mengenal warna dengan baik, karena warna yang ia torehkan, sama dengan warna di gambar contoh. Tinggal merapikan cara mewarnai sehingga warna-warnanya tidak keluar dari garis. Di dekatnya, Nayla masih belum selesai mewarnai Cinderella.
"Hmm bagus sih. Cuma, tuh warnanya pada keluar-keluar garis."
Ia melihat gambar Rapunzel itu dengan lebih seksama.
Dibandingkan semua princess Disney, ia paling suka dengan Rapunzel. Ia menyukai rambut pirangnya yang panjang dan kedua matanya yang besar. Elsa dan Anna adalah tokoh favorit kedua kembar lucu itu, tapi hari itu mereka mengaku sedang bosan dengan Frozen. Aruna mengenalkan mereka dengan tokoh princess lainnya, dan kedua keponakannya ini langsung menyukainya.
"Mau tante bacain dongeng gak?"
Nayla masih serius menekuri gambar yang diwarnainya, sedangkan Kayla langsung menyetujui. "Mauuu. Dongeng apa, Tante?"
Aruna mengambil ponsel dan secepatnya mengetikkan di pencarian
"Kisah asli Rapunzel yang tragis."
Anak-anak ini perlu mengetahui kisah yang sebenarnya dari cerita-cerita Princess yang manis bak gulali.
"Okeee. Gimana kalo kita mulai dari kisah Rapunzel?"
Aruna menunggu sampai Kayla dan Nayla duduk manis, memangku bantal pisang dan wortel. Lalu ia mulai membaca.
Kedua gadis kecil itu serius mendengarkan.
"Pada zaman dahulu , hiduplah sepasang suami isteri. Mereka sangat menginginkan kehadiran seorang anak. Sang isteri gemar duduk di dekat jendela sambil melihat ke taman. Dia senang melihat bunga lampion yang sangat indah di taman itu."
"Tiba-tiba sang isteri jatuh sakit. Makin hari, wajahnya makin memucat. Sang suami menjadi kebingungan, apa yang sebenarnya terjadi dengan isterinya itu. Sang suami bertanya, 'apa yang bisa kulakukan yang bisa membuatmu sembuh?"
"Andai aku bisa mendapatkan bunga lampion yang terdapat di hamparan kebun itu," jawab sang isteri dengan sedih."
Aruna berhenti sejenak untuk melihat respon Kayla dan Nayla. Mereka menatapnya, wajah mereka serius.
Mereka menyukainya.
Karena kecintaannya terhadap sang isteri, sang suami menuruti keinginan isterinya. Setiap malam dia memanjat ke dinding taman untuk mengambil bunga lampion itu."
Semakin lama, kedua anak itu makin antusias mendengarkan kisah asli Rapunzel. Aruna mengagumi bagaimana keduanya tidak protes dengan kisah yang ia ceritakan. Tentu saja karena anak-anak seumuran Kayla dan Nayla, tidak akan begitu mengingat kisah film yang telah mereka tonton.
Lagipula, mungkin mereka sama sekali belum pernah menonton film Rapunzel versi Disney. Mereka pasti bisa menikmati cerita itu tanpa harus membandingkan dengan film buatan Disney.
"Nah, bagaimana kalau abis ini, Tante ceritain tentang Cinderella?"
"Mauu, mauuu."
"Sebelumnya Tante mau nanya. Apa nama sepatu Cinderella?"
"Sepatu kacaaa!!!" jawab keduanya tanpa perlu berpikir.
"Cinderella punya saudara tiri nggak?"
"Punyaaa!!!"
"Berapa?"
"Satu," jawab Nayla.
"Tigaaa," Kayla mengangkat jari-jari mungilnya. Kelima-limanya.
O...oke.
"Terserah kalian saja, Sayang. Mau jumlahnya berapa." Aruna melanjutkan. "Mmmh, bagus. Kalian tau nggak kalau kaki saudara tiri Cinderella itu dipot...,"
"Aruna."
Aruna berbalik, dan Damar berdiri bersidekap. Tubuhnya sebelah kanan bersandar pada pilar.
"Cerita semacam itu terlalu buruk untuk diceritakan."
Aruna merutuk.
Sejak kapan Damar berada di situ?
"Cukup soal Rapunzel."
"Lo sejak kapan di situ? Udah lama?"
"Cukup lama untuk mendengarkan dongeng Rapunzel versi Grimm Brothers yang kamu ceritain tadi." Damar pelan-pelan menghampiri tempatnya duduk.
"Versi aslinya emang gitu kok. Nih anak-anak jangan dibohongi dengan hal-hal manis buat nutupin kenyataan."
"Masa kecil anak-anak seharusnya diisi dengan cerita-cerita yang manis dan menyenangkan. Apalagi mereka ini anak perempuan." Damar bertukar pandang dengan kedua keponakannya, lalu kesempatan itu digunakan Kayla untuk menunjukkan hasil karyanya.
Anak itu butuh sanjungan dari orang lain.
"Good job, Anak manis. Gambarnya bagus banget."
"Tapi kata tante Aruna, warnanya, garisnyaaa keluar-keluar, itu apa maksudnya Om?" tanya Kalya. Nayla malah kini teralihkan perhatiannya pada gambar di ponselnya. "Whooa, serem. Kay, liat. Tante Aruna punya foto nenek sihir. Hiiii."
"Ini Maleficent, Nay. Keren kan?"
"Iya, tapi serem. Nggak cantik."
Damar menatapnya dengan tatapan dingin.
"Jadi, gini cara kamu mendidik anak-anak?"
Aruna menyerahkan ponselnya kepada Nayla dan Kayla yang kini duduk berdampingan melihat-lihat foto animasi. Terdengar suara Kayla mengusulkan agar mereka menonton Youtube.
"Sesekali aja kaya gini nggak bakal bikin mereka jadi Psycho."
***
Damar menghela napas lega setelah melihat sekilas ke layar ponsel milik Aruna yang dipegang Kayla. Kayla bersama adiknya, Nayla duduk berdampingan menonton kanal Youtube anak-anak yang sedang melakukan jual-beli es krim bohong-bohongan.
Aruna melemparkan senyum nyinyir. "Es krimnya aja boongan. Kenapa jadi terlalu serius soal ini?"
Damar mendengar percakapan singkat antara Kayla dan Nayla.
"Tante, aku boleh makan es krim nggak?" tanya Nayla, si bungsu.
"Boleh."
Kayla menggeleng, hingga kuncir duanya bergoyang-goyang mengikuti gerakan kepalanya. "Nggak boleh sama Mama."
"Boleh aja, asal nggak ketahuan sama mama kalian. Nanti Tante temenin beli es krimnya."
"Yeaay!!!" Nayla berseru senang. Kayla nampak terkejut, tapi kemudian ia bertanya. "Kayla boleh juga makan es krim, Tante?"
"Booleeeeh."
Kali ini Damar tidak habis pikir melihat kelakuan Aruna. Bagaimana ia memperlakukan keponakan-keponakannya, masih membuat Damar tidak bisa memahaminya. Semua orangtua harus diingatkan untuk menjauhkan anak-anak mereka dari Aruna karena ia bisa memberi pengaruh buruk. Sifatnya saja sudah cukup buruk, namun mengapa seakan-akan ia ingin menularkan sifat buruknya kepada orang lain? Ke anak-anak kecil pula yang nota bene adalah keponakan-keponakannya sendiri.
"Kamu memang sulit dimengerti." Damar beranjak dari duduk. Ia singgah untuk mengacak-acak rambut Kayla dan Nayla, lalu berjalan masuk ke dalam rumah.
***
FTSOL #7
"Lo pasti bisa jadi sosok ayah yang baik buat anak-anak lo nanti."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top