FTSOL #4
Kindly reminder, give your votes and comments. Happy reading!
FTSOL #4
"Aruna benci sama papa!!"
Ucapan papa benar-benar tidak seperti yang ia harapkan. Alih-alih membujuknya, setelah mendengar curahan hatinya tentang sikap Damar kepadanya pagi itu, Papa malah mendukung tindakan Damar. Padahal ia telah membumbui laporannya kepada papa, kalau Damar terlalu memaksakan kehendak, melakukan kekerasan dalam rumahtangga dan kalau beberapa hari saja ia di sana bersama Damar, maka ia akan mati. Ia menderita sampai-sampai ia berniat melapor kepada polisi.
Tapi papa tidak percaya!
Kenapa papa tidak percaya?
Ng, meskipun ia berbohong, tapi tetap saja, sebagai orangtua yang baik, papa harusnya mendengarkan apapun yang ia katakan.
Ia tidak tahan lagi dengan sikap papa.
Papa pernah mengatakan setelah menjodohkannya dengan Damar, jika ada masalah dalam kehidupan rumahtangga dengan Damar, papa dan mama tidak mau ikut campur. Bahkan papa dengan teganya menyuruh Aruna mendengarkan Damar apapun yang ia katakan.
Damar itu baik, kamu saja yang banyak tingkah.
Baik, baik, my ass!
Ini benar-benar persekongkolan. Semesta dan seluruh isinya seolah bersatu untuk membencinya. Setelah Eryk, Damar, dan kini papa. Mama selalu seiya sekata dengan papa, jadi mama jelas tidak masuk hitungan.
Dengan semua kenyataan ini, Aruna jadi semakin yakin, dunia ini tidak pernah adil!
Kalau adil, itu namanya bukan dunia, tapi surga.
Siapapun yang membuat pepatah itu, bodo amat!
Ia merasakan dadanya naik turun dengan cepat karena napas yang tiba-tiba sesak. Matanya memanas. Ingin rasanya ia kembali melampiaskan kemarahan kepada ponsel di tangannya. Rusak, rusak saja sekalian!
Ia sudah bersiap-siap melemparkan ponselnya, saat Damar datang dan di saat yang benar-benar tepat, Damar menahan tangannya.
"Kalau kamu berniat melempar ponsel ini lagi, urungkan saja. Sudah cukup melampiaskan emosi kamu dengan merusak barang-barang."
"Bukan urusan kamuu!!"
"Apapun yang terjadi di rumah ini adalah urusan saya, tanggungjawab saya." Damar berhasil mengambil ponsel dari tangannya.
Tidak hanya itu, karena kini Damar dengan gerakan cepat juga mengambil charger yang tadi terpasang, dan membawanya pergi.
Sekarang bukan hanya ikut campur, tapi laki-laki kurang ajar itu juga sudah mengambil benda miliknya.
Astaga. Laki-laki ini benar-benar minta dirajam!
"Kembalikan ponsel gue!" Aruna mengikuti Damar dan berhasil menjangkau ujung kaus putihnya dengan tangan kanan. Dengan tangan kiri, Aruna berusaha mengambil ponselnya yang digenggam Damar.
Ia butuh berdiri dengan posisi berjinjit untuk meraih ponsel yang diacungkan Damar ke atas. Damar melemparkan tatapan mengejek karena ia berhasil berkelit dari jangkauan tangan Aruna.
Mereka terlihat seperti anak kecil yang berebutan mainan.
"Lo nggak punya hak ngatur-ngatur gue! Lo bukan siapa-siapa gue!" Aruna merasakan tenggorokannya mulai sakit karena terus berteriak-teriak.
Kini perebutan ponsel itu berjalan semakin sengit. Harusnya ia mengingatkan dirinya jika pertarungan ini jelas tidak imbang. Ia menghadapi Damar yang secara fisik jelas lebih unggul.
Bukan berarti ia akan menyerah.
Women are equal to men.
Nggak ada yang namanya menurut dan mengalah sama laki-laki!
Dengan menggunakan kekuatan penuh, ia mendorong Damar ke dinding.
Teknisnya tubuh Damar yang seharusnya terdorong ke dinding, tapi Aruna mendapati Damar membalikkan keadaan hingga kini justru Damar yang mendorongnya hingga punggungnya merapat ke permukaan dinding yang terasa dingin.
"Saya nggak mau berbuat kasar sama kamu, jadi- jaga sikap kamu."
Suara Damar terdengar dalam dan berat. Kedua manik matanya berada pada satu garis lurus dengan manik mata Aruna.
Aruna menelan ludah. Damar kini terlihat begitu mengintimidasi hanya dengan kalimat singkat namun penuh penekanan. Damar tidak pernah bermain-main, sepanjang yang ia bisa ingat. Ia pasti tidak tahu humor, meski itu sekadar humor dingin. Hidupnya pasti tidak bahagia.
Damar itu laki-laki yang dingin, kaku, membosankan...
Damar masih berdiri, mengurungnya dengan dua tangan yang ditolakkan ke dinding. Aruna merasakan napasnya tertahan di ujung tenggorokan.
Kenapa mereka harus berdiri dan berhadapan sedekat ini sih? Ia jadi tidak bisa berpikir normal.
"Biasanya lo nyuekin gue. Kenapa sekarang lo peduli?" Aruna berhasil meloloskan ucapan itu dari mulutnya.
"Karena kamu liar. Dan harus dijinakkan."
"Emangnya lo pawang macan?"
"Berarti kamu macannya."
"Iya! Sampai-sampai gue pengen nyakar lo," ucap Aruna dengan kedongkolan yang semakin besar.
"Oh, mau main kasar?" Damar memajukan tubuhnya, meniadakan jarak di antara mereka.
Aruna merasakan tubuhnya merinding, darahnya berdesir. Ia tidak punya pilihan. Dalam keadaan terdesak seperti itu, satu-satunya hal yang bisa dilakukan adalah mendorong tubuh Damar menjauh.
Kedua tangannya menyentuh perut Damar. Ia bisa merasakan dari balik kaus putihnya, keras dan liatnya bagian tubuh Damar yang satu itu.
Dia kan rajin nge-gym? Perutnya pasti sudah mirip roti sobek.
Aruna beralih semakin naik, kali ini di permukaan dada Damar.
Tubuh Eryk jelas tidak seliat dan sekeras ini. Padahal Eryk menjaga fisiknya dengan baik. Tubuh Eryk begitu sempurna.
Tapi tubuh Damar terasa lebih menggiur...menyenangkan untuk disentuh.
Laki-laki ini sudah pasti bekerja lebih keras untuk menghasilkan tubuh atletis. Hampir bisa dipastikan, kadar lemak di bawah kulitnya sekitar 0 koma sekian persen. Lemak agaknya jadi minder, tidak betah berlama-lama di dalam tubuh sebagus dan se-fit ini.
Astaga, apa yang gue pikirin?
"Kenapa?"
"Kenapa apa?" tanya Aruna.
"Nyakar sama ngelus jelas aktivitas yang berbeda."
"Maksud kamu?"
"You caress me and enjoy every second of it."
"No waayy!!!"
Aruna buru-buru mendorong tubuh Damar menjauh. Wajahnya terasa memanas.
Bahkan untuk sekadar melihat wajah Damar, ia tidak mampu.
Arggh!!!
***
"You caress me and enjoy every second of it."
"No waayy!!!"
Aruna melepaskannya, terlihat begitu gugup. Aruna dan gugup adalah dua kata yang tidak bisa bersanding dalam satu kalimat yang sama. Mengenalnya dalam waktu singkat, kesan angkuh dan sesukanya adalah karakter yang paling bisa diingatnya sampai sekarang. Ia sangat berani, dalam artian negatif. Tidak mudah mengalah. Gugup adalah pertanda awal dari kekalahan.
Atau ia hanya salah mengira? Apakah Aruna sengaja melonggarkan keangkuhannya?
Namun, satu hal yang pasti, kemenangan hari itu ada di tangannya.
***
"Aruna memang seperti itu. Kamu harus banyak sabar menghadapi dia."
Papa Aruna tidak pernah berhenti mengingatkan Damar tentang hal itu di setiap obrolan mereka. Segera setelah Aruna meneleponnya, papa Aruna menghubungi Damar. Pembicaraan mereka tidak berlangsung lama, karena ia hanya diingatkan, bukan memberikan nasihat panjang lebar.
Jika bukan karena janjinya kepada orangtua Aruna untuk berusaha mengurangi kekerasan hati Aruna, ia tidak akan ada di sini. Mereka sudah berbaik hati kepada keluarganya. Ia hanya melakukan apa yang bisa ia lakukan untuk membalas budi.
Damar masih bersiap-siap menuju ke kantor.
Dihelanya napas dalam-dalam. Ia memijit-mijit pelipisnya, rasanya pusing. Menghadapi Aruna adalah salah satu ujian terberat dalam hidupnya.
Sabar. Ini tidak akan lama.
Ia akan bebas suatu saat nanti.
***
Aruna sudah menyatakan perang kepada semuanya, tanpa terkecuali. Sehabis menemui Eryk, ia akan langsung ke rumah orangtuanya untuk mengkonfrontasi papa dan mama. Mereka semua harus mendapatkan pelajaran, tanpa terkecuali.
Dari tempatnya menunggu, mobil Benz E-Class yang dikemudikan Eryk bergerak melewati gapura kompleks perumahan di mana Eryk dan isterinya tinggal. Sepagi ini, suasana di sekitar perumahan lumayan ramai oleh aktivitas kendaraan, mungkin orangtua mengantar anak-anak mereka bersekolah atau orang-orang yang berangkat kerja. Kompleks perumahan di darah Petamburan itu tergolong elit. Bangunan-bangunan berlantai dua dengan desain minimalis berjajar rapi.
Alangkah nyaman bisa tinggal di sana bersama Eryk dan anak-anak mereka kelak.
Ia bisa mengambil satu unit jika ia mau dengan cara cash. Tapi, kenyataan yang ada saat ini mengharuskannya tinggal di cluster yang lebih sederhana. Ia menyalahkan Damar yang tidak mampu membeli satu saja unit rumah mewah. Percaya atau tidak, harga mobil Audi RS 5 Coupe yang ia beli cash saja harganya lebih mahal daripada rumah yang dibeli Damar. Hal memalukan jika harga mobil lebih mahal daripada harga rumah. Mengingat percakapan waktu itu, Aruna mempertanyakan mengapa harga diri Damar harus setinggi itu. Ia menawarkan untuk membeli rumah mewah, yang segera ditolak Damar di 5 detik pertama setelah mendengarnya. Kondisi keuangan keluarganya tidak dalam keadaan baik-baik saja, seharusnya ia tidak punya gengsi setinggi itu.
"Saya setuju dengan mobil mewah itu, tapi kamu juga harus setuju dengan rumah yang saya beli."
"Berapa harganya?"
"1,5 milyar, cash."
"Nggak mungkin harganya segitu. Audi RS 5 Coupe saja harganya dua milyar lebih. Rumah macam apa dengan harga semurah itu?"
Rumah murah tidak punya lantai mahal impor dan langit-langit yang dilukis tangan. Rumah itu sempit. Ia tidak bisa berjalan ke sana kemari tanpa menyenggol furniture dan perabotan lain. No jacuzzi and home theatre. Periodt.
"Tabungan saya cuma cukup segitu." Damar terlihat menyedihkan saat mengucapkan kalimat itu. Ia mungkin sudah menguras semua tabungannya demi mendapatkan properti yang tetap saja di mata Aruna masih jauh dari kata memuaskan.
"Gue punya rumah di Lebak Bulus. Tahun 2015 gue beli 5,5 milyar. Sekarang sepertinya harganya sudah nyaris 10 milyar. Daripada dibiarin kosong kan, mending kita tempati?"
"Rumah itu sudah siap huni."
"Tentu saja. Luas bangunan 900 meter persegi, luas tanah 3000 meter persegi. Bebas banjir. Semua perabotan kelas satu...,"
"Rumah saya."
"Oh."
"Saya nggak perlu beli rumah yang terlalu luas. Asalkan nyaman, itu sudah cukup. Nilai tambahnya, rumah itu di kawasan bebas banjir."
"Tttapi...,"
"Perdebatan selesai. Kamu suka atau nggak, kita harus tinggal di rumah saya." Damar terlihat tidak tertarik dengan kemewahan.
Dasar selera rendah.
"Lagipula, Lebak Bulus jauh dari kantor," tambahnya.
"Terserah lo deh."
***
Aruna menemukan momen yang pas ketika mobil Eryk melaju di jalanan lengang. Mungkin ia sedang menerima telepon sehingga laju kendaraan diturunkan. Aruna mengambil kesempatan memanuver mobilnya dan menghentikan mobil Eryk.
Aruna menunggu sampai Eryk keluar dari mobil. Ia seratus persen yakin, Eryk akan menghampiri mobilnya hingga tanpa sadar ia tersenyum lebar.
Aku harus buat perhitungan sama kamu, Eryk.
"Aruna?" Eryk kini berdiri di samping pintu kemudi. "Kamu ngapain?"
"Kamu nggak jawab teleponku. WA-ku juga nggak pernah dibalas."
"Aku sibuk."
"Ooooh." Aruna melepaskan kacamata. Ia menuding kursi penumpang di sampingnya. "Masuk, gih. Biar ngobrolnya enak."
"Aku udah hampir telat ke kantor."
Aruna membuang napas, tidak menerima penolakan. "Aku bilang masuk."
Eryk menggeleng pelan, namun akhirnya menurut. Ia memutari mobil, membuka pintu dan kini duduk di samping Aruna. "Please, Aruna. Aku beneran udah telat kalo ngobrolnya sekarang."
"Memangnya kapan kamu ada waktu, mmh? Bukannya sekarang waktu kamu udah tersita sama isteri sialan kamu itu?"
"Run, stop it."
"No. Aku bakal berhenti sampai kamu cerain dia."
"Tapi...,"
"Tapi apa? Ini udah lima bulan, Eryk. Dan kamu nggak lakuin apa-apa. Aku udah cukup sabar. Jangan sampai kesabaran aku hilang."
Eryk menghela napas. Aruna meliriknya, mendapati Eryk mengacak rambutnya frustrasi.
"Kamu pikir ini mudah buat aku, Run?"
"Dan kamu pikir keadaan sekarang ini mudah buat aku?" balas Aruna cepat. "Aku udah ngasih tau Damar soal ini. Kelihatannya dia setuju. Sekarang giliran kamu."
"Run, ini nggak semudah yang kamu bayangin."
Ck.
"Aku juga nggak mau keadaan ini makin sulit buat kita. Mending kamu cepat-cepat ngambil keputusan deh, sebelum semuanya semakin runyam."
Eryk terdiam.
Seperti ada yang menyalakan lampu di kepalanya, Aruna teringat kemarin ia memergoki kemesraan Eryk dan isterinya di depan rumah mereka. Untuk urusan yang satu itu, ia harus melakukan konfrontasi.
"Karena yang aku lihat, kamu berpotensi melanggar kesepakatan kita."
Eryk menunjukkan ekspresi bingung. "Maksud kamu?"
Berarti Eryk memang tidak menyadari Aruna telah mengikutinya.
"Aku lihat kamu nyium isteri kamu di teras rumah. berkali-kali, Eryk. Soo disgusting."
"Kamu ngintain aku, Run?"
"Menurut kamu? Nggak usah bahas soal itu. Aku cuma mau mastiin kamu nggak sampai kelewat batas."
Eryk menggeleng. "Ini terlalu berlebihan, Run. Aku nggak pernah nguntit kamu karena aku percaya sama kamu. Tapi kenapa malah kamu yang ngintai aku."
"Sekarang aku yang nggak bisa percaya kamu." Aruna mendesah. "Aku udah 5 bulan serumah sama Damar, dan aku nggak pernah ngelakuin apa-apa sama dia. Aku menjaga diri aku sebaik mungkin buat kamu."
"Kamu nggak perlu...," Eryk terdengar ragu dengan perkataannya. 'Aruna, apa bisa aku jujur aja sama kamu?"
"Jujur?" Aruna memandangi Eryk dalam beberapa detik. "Kamu udah ngapain aja sama dia?"
Eryk tidak menjawab. Aruna merasa tidak puas. Entah mengapa pikirannya telah menemukan jawaban tanpa Eryk mengatakannya.
"Have you slept with her?"
Eryk mengangguk. "Udah hamil juga, Run."
Damn.
Kepala Aruna langsung terasa pusing. Ia benar-benar butuh obat sakit kepala dosis tinggi. Ia mencegat Eryk hanya untuk mendengar kabar buruk ini.
"Kenapa, Eryk? Kenapa?"
"Aku minta maaf, Aruna. Semuanya terjadi begitu saja."
Aruna merasakan darahnya mendidih. Jika marah seperti ini, ia butuh pelampiasan. Mencekik Eryk terasa tidak akan cukup untuk menurunkan kadar emosinya yang mulai meninggi.
"Shut the fuck up!"
"Ya, aku nggak akan ngomong apa-apa lagi. Kamu udah tau."
"Pengkhianat."
"Dia isteri aku. Aku tau di mata kamu, aku seorang pengkhianat. Tapi pernikahan aku sama Denise itu sah secara hukum."
Selain merasa marah kepada Eryk, kini Aruna merasa marah pada dirinya sendiri. Mengapa ia bisa percaya Eryk akan memegang janjinya?
"Sekali pengkhianat tetap pengkhianat!!"
Suara Aruna tidak begitu nyaring namun terdengar tajam. Menghujamkan tatapan kebencian terhadap laki-laki di hadapannya yang sudah melanggar kesepakatan mereka.
"Aku kasih kamu kesempatan untuk mencari cara gimana cerain Denise dan sekarang kamu malah mesra-mesraan sama dia. Mau bilang dia isteri kamu? Apa perlu kamu bilang soal itu? Iya, Eryk!!! Denise memang isteri kamu! Tapi kamu nggak pernah cinta sama dia!!"
Eryk menggumam. "Pukul aja aku, Run. Sampai kamu puas. Kalau itu yang bisa bikin perasaan kamu lega."
"Keluar."
"Aruna. Tolong. Jangan lakuin tindakan bodoh."
Aruna melayangkan tamparan keras ke pipi kiri Eryk.
"Aku mati juga bukan urusan kamu!"
***
Sudah jam sepuluh malam, Aruna belum juga pulang.
Damar sudah menghubungi orangtua Aruna, tapi kata mereka Aruna tidak pernah ke sana seharian ini. Papa dan mama Aruna mulai panik, namun Damar meyakinkan mereka, ia akan membawa Aruna pulang dengan selamat. Sebelum menikah, sifat Aruna memang sudah seperti itu. Berkeliaran sampai malam, bahkan terkadang pulang Subuh. Bukannya orangtua Aruna sudah lepas tangan, mereka hanya tidak tahu lagi bagaimana mengatasi Aruna.
Damar lalu menghubungi Ira. Namun kata Ira, Aruna tidak sedang bersamanya.
"Bantu saya cari Aruna ya?" kata Damar yang segera diiyakan Ira.
***
"Dragonfly, X2, Ratatouille, Fiesta, Colosseum."
Ira menyebutkan nama-nama kelab malam yang suka Aruna kunjungi secara bergantian. Mereka menyasar ke hiburan malam, karena menurut Ira, jika Aruna tidak ada di rumah sampai malam, kemungkinan ia sedang clubbing.
Apakah mereka harus memasuki semua tempat itu dalam waktu satu malam? Sekarang sudah nyaris pukul 1 dinihari, dan mereka baru memasuki tiga kelab dari yang disebutkan oleh Ira.
Apa Aruna sampai seliar itu berkelana dari satu kelab ke kelab yang lain? Ia hanya tahu dua di antaranya, karena dua nama kelab itu memang tenar di kalangan eksekutif muda dan anak gaul Jakarta. Ia hanya pernah masuk ke sana, untuk keperluan acara kantor.
"Coba ke Viola."
"Viola?"
"Nama kelab malam, Dam."
Sejak mulai melakukan pencarian, Ira telah menyebutkan paling tidak lima nama kelab berbeda. Tapi ia tidak pernah mendengar nama tempat itu.
"Club kecil aja sih. Aruna punya saham di situ. Dia sesekali ke situ, katanya."
"Saham di kelab malam?"
Ira mengangguk. "Mungkin kedengaran ganjil buat orang baik-baik macam kamu, Dam."
"Nggak. Bukan seperti itu."
"Tapi letaknya cukup jauh. Kalau sampai ke sana, mungkin sekitar sejam lagi. Kamu masih kuat nyari Aruna sampai Subuh?"
Damar mengerutkan kening, karena pertanyaan Ira barusan. "Kalau kamu?"
Ira tersenyum tipis. "Udah biasa. Biasanya dulu nyarinya bareng Eryk. Tapi sejak Eryk menikah, ya seperti inilah. Aruna pernah cerita?"
"Nggak. Nggak pernah," jawab Damar.
Damar melihat pantulan wajahnya di kaca jendela.
Ia memang tidak tahu banyak soal Aruna.
***
Pintu kelab malam yang dijaga oleh dua sekuriti berbadan besar sudah tertutup saat Damar tiba di sana. Jam telah menunjukkan pukul 03.12 dinihari. Menurut Ira pula, jam tutup kelab itu, pukul 03.00, agak berbeda dari beberapa kelab yang baru tutup pada pukul 04.00.
Ira berjalan lebih dulu menghampiri pintu masuk. Sepertinya, kedua sekuriti berpakaian hitam-hitam tadi sudah mengenal Ira karena begitu melihat Ira, dalam waktu singkat, mereka sudah terlibat percakapan.
Damar menunggu sambil memindai keadaan di sekitarnya. Ia tidak menemukan mobil yang biasa dipakai Aruna, Audi RS 5 Coupe berwarna merah. Parkiran hanya terisi tiga motor bebek, kemungkinan besar milik karyawan kelab. Bangunan menyerupai ruko pada umumnya. Tulisan nama kelab Viola sudah dipadamkan. Suasana hening. Hanya sesekali kendaraan melintas di jalan raya.
Sesaat berikut, pintu berwarna hitam di depan mereka dibukakan oleh salah satu sekuriti yang ia dengar dipanggil Teddy oleh Ira.
"Ayo, Dam. Aruna ada di dalam."
Damar mengikuti langkah Ira memasuki kelab. Tidak ada sinar laser warna-warni dan dentuman musik, menandakan kelab memang sudah tutup. Di sebelah kanan, letak meja bartender, seorang pemuda berkaus merah menenteng ransel berseru kepada mereka.
"Udah tutup, Mbak Ira!" Ia memakai topinya dan berbicara lagi, setelah Ira menanyakan apakah ia sudah akan pulang atau belum. Pemuda yang dipanggil dengan penggalan nama Sam, itu mengiyakan.
"Samuel, bartender di sini." Ira sempat-sempatnya memperkenalkannya dengan Samuel.
"Pak Damar kan? Taulah, Mbak. Kan kemarin saya diundang juga ke nikahan bu bos."
"Oh, ya udah kalo gitu," kata Ira setelah Samuel berpamitan.
Seorang karyawan yang juga akan pulang, berpapasan dengan mereka. Damar mendengar sekilas namanya Rendi.
Damar mengikuti langkah Ira hingga mereka sampai di depan sebuah pintu bercat hitam. Sekilas, pintu tersebut tidak terlihat bentuknya karena tersamarkan warna dinding hitam kelab. Letaknya sedikit menjorok ke dalam, tepat di sisi kanan bartender dan letak alat-alat yang biasa dipakai DJ saat memutarkan musik.
"Gelap banget." Ira menyalakan senter ponsel, mencari-cari letak saklar. Ruang khusus owner seperti yang dikatakannya itu dalam keadaan kosong. Saat lampu dinyalakan, tidak ada seseorang pun di situ. Hanya ada meja kerja beserta kursi, sofa empuk memanjang berwarna marun, dan coffee table. Lukisan abstrak, dan sebuah kulkas kecil. Warna dinding marun dan hijau memberikan kesan misterius dan sensual.
Damar tidak pernah masuk ke ruangan seperti ini sebelumnya.
"Ruuun, are you thereee???" Ira setengah berteriak seraya mengetuk-ngetuk pintu, yang sepertinya pintu kamar mandi. Damar berbalik saat Ira membuka pintu tersebut. Tidak berapa lama, Ira keluar dari balik pintu.
"Aruna lagi tidur. Pules banget lagi."
Tidur?
Perempuan itu tidur tidur dengan pulasnya, sementara ia sejak malam sampai menjelang pagi berkeliaran mencarinya?
"Jadi, gimana sekarang?" tanya Ira. "Mau dibangunin apa gimana?"
Damar menghela napas, pasrah bercampur lelah. Dan marah.
Ia butuh istirahat sebelum kembali pulang.
"Kamu istirahat di dalam aja, Ra. Biar saya tidur di luar."
"Oh, oke. Aku keluar dulu, ngasih tau sekuriti. Eh, sekalian mobil kamu, masukin garasi."
Damar tidak mengerti, tapi Ira cepat-cepat menjelaskan. "Di samping kelab ada garasi khusus owner. Bisa muat dua mobil kok."
"Oh. Oke."
Damar melihat jam di dinding, sudah nyaris Subuh.
***
Kurang baik apa coba, Damar ampe nyusulin Aruna? :D
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top