FTSOL #3
FTSOL #3
Kindly, give me your thumbs up and comment. Thank you!
"Brengsek!!"
Aruna sampai tidak sadar memukul kemudi di hadapannya. Ia baru saja melihat dengan mata kepalanya sendiri jika Eryk mencumbu mesra Denise.
"Liat aja nanti."
***
Damar nyaris jatuh tersaruk saat memasuki rumah. Ia tidak memerhatikan handbag pink yang jelas-jelas bukan miliknya, tergeletak begitu saja di atas lantai. Tidak hanya itu, karena di sekitarnya berhamburan aneka benda, mulai kemasan bedak, botol parfum Body Shop, hingga kacamata hitam. Diambilnya tas tersebut dan memasukkan benda-benda yang terserak di lantai tadi ke dalamnya. Ia tidak tahu hal apa yang menyebabkan tas itu ditinggalkan pemiliknya.
Memasuki ruang keluarga, kali ini ia menemukan ponsel yang lagi-lagi tergeletak di lantai. Ponsel iphone keluaran terbaru berwarna ungu tersebut dalam keadaan baret. Layarnya sudah retak-retak, sepertinya karena benturan keras.
Dari tempatnya berdiri saat ini, ia bisa mencium aroma asap rokok. Aroma asing tersebut mengusik pikirannya. Ia tidak begitu mempedulikan benda-benda berserakan yang ia temukan, namun ia cukup penasaran dengan aroma rokok. Ia sudah sangat lama tidak lagi merokok. Di rumah itu hanya ia dan Aruna yang tinggal.
Mungkin bukan Aruna yang merokok.
Tapi pikirannya itu segera terbantahkan begitu melihat Aruna duduk menyesap rokok sambil matanya menatap lurus ke arah dinding.
Damar tidak berniat menegurnya. Merokok bukan hal yang luar biasa. Apalagi jika Aruna memang menginginkannya, itu bukan urusannya.
"Udah pulang," Aruna menggumam saat melihatnya melintas.
Damar merasa tidak perlu repot-repot berinteraksi dengan perempuan itu.
"Lo pernah patah hati?" tanya Aruna.
Damar juga merasa tidak perlu menjawab pertanyaan itu. Terlalu bersifat pribadi.
"Atau lo pernah dikhianati?"
Damar melonggarkan dasi dan melepasnya, lalu memasukkan ke saku celana. Dua kali Aruna bertanya. Mungkin jika ia tidak menjawab, akan ada lagi pertanyaan yang ketiga.
"Tidak."
Aruna menyesap lagi rokok, kali ini lebih dalam. Perempuan itu membuang napas, menciptakan kabut asap di sekitarnya. "Haah, apa bisa dipercaya?" Jawaban singkat itu jelas tidak memuaskan Aruna. "Lo kelihatannya cukup bisa bikin perempuan patah hati."
Maksudnya?
"Sopan, terpelajar, lumayan tampan. At least, waktu sekolah dulu, lo pasti punya banyak fans."
Tidak juga. Ia tidak pernah jadi siswa populer. Kecuali jika sesekali menang karya tulis ilmiah bisa dikatakan prestasi yang membanggakan. Gadis-gadis lebih menyukai siswa laki-laki yang jago basket, atau berandalan sekolah yang keren dan punya kendaraan bagus, bukan motor bebek tua milik ayahnya yang tidak pernah sekalipun menarik minat mereka.
"Lo cupu ya waktu sekolah? Cowok berkacamata yang jalannya selalu nunduk di koridor sekolah, trus ngga pernah berani nembak cewek yang lo suka?"
Aruna semakin sibuk berbicara, sementara ia sudah ingin menyuruhnya diam. Tapi Damar lebih memilih bergegas menuju tangga.
"Apa gue seburuk itu di mata lo, sampai lo nggak mau ngomong sama gue?"
Damar menggertakkan rahang.
"Apa gue mati aja baru lo senang?" Aruna setengah berteriak. "Harusnya emang gue nggak nikah sama orang yang nggak tau terimakasih kaya lo? Lo tuh sama aja dengan Eryk, tau nggak?! Sama-sama brengsek!"
Damar berbalik, memutar badannya dan berjalan menuju kursi tempat Aruna duduk. Ia mengepalkan tangannya, menahan emosinya untuk tidak sampai terpancing.
Aruna meliriknya dan menyodorkan sebatang rokok. "Lo baru pulang kerja, pasti lo capek, butuh refreshing."
Damar tadinya selangkah lagi mengambil rokok yang ditawarkan Aruna dan meremasnya sampai hancur.
Jelas, bukan seperti itu caranya menghadapi Aruna. Dengan bersikap setenang mungkin di hadapan perempuan itu, ia bisa mencegah lebih banyak lagi umpatan yang mungkin akan ditujukan Aruna kepadanya. Aruna pasti sedang bermasalah dengan laki-laki yang katanya dicintai setengah mati itu. Biarkan Aruna terbakar oleh amarahnya sendiri. Ia tidak perlu ikut campur.
Damar lalu berjalan menuju pantri, mengambil gelas, kemasan jus dari dalam kulkas, lalu membawanya ke meja makan.
"Minum jus lebih sehat daripada merokok," ucap Damar sembari menuangkan jus jambu ke dalam gelas dan meletakkannya di depan Aruna. Ia bisa melihat Aruna melemparkan tatapan tajam kepadanya.
"Lo tau kandungan gula dalam jus kemasan cukup tinggi?"
"Oh. Harusnya saya ngambilin air putih ya?" Damar mengambil gelas jus itu dan meminumnya.
Aruna tersenyum sinis. "Gue akan makan banyak gula, biar kena diabetes. Biar gue cepat-cepat mati."
"Kalau itu yang kamu mau." Damar menuangkan lagi jus ke dalam gelas dan menyodorkannya.
"Brengsek emang."
"Lidah kamu memang tajam, tapi nggak akan ada pengaruhnya buat saya. Jika kamu mau merusak diri kamu, lakukan saja. Yang jelas, bukan saya penyebabnya."
Setelah memastikan emosinya sudah lebih bisa dikendalikan, Damar meninggalkan meja makan dan tidak pernah berbalik lagi.
***
Apa gunanya memiliki seorang suami yang tidak becus seperti Damar? Aruna pikir, Damar akan berusaha menghiburnya atau sekadar memberikan semangat di saat ia sedang menghadapi persoalan yang membuatnya sulit untuk berpikir jernih.
Aruna tertawa pada dirinya sendiri.
Haah memang ia yang tidak becus menjadi isteri. Laki-laki mana yang mau memberikan perhatian pada perempuan seperti dirinya? Alasan mama Eryk untuk menolaknya sebagai calon menantu sepertinya cukup masuk akal.
Oh, apakah kini ia sedang menyalahkan diri sendiri.
"Saya mencari calon menantu yang bisa jadi ibu yang baik. Maaf sekali, Aruna. Tapi kepribadianmu sangat sulit kami terima."
Kalimat penghinaan itu masih terus terngiang di telinga. Rasanya menyakitkan, mengetahui jika kalimat tersebut berasal dari seseorang yang sudah ia anggap sebagai ibu sendiri. Ia cukup menghargai orangtua Eryk, tapi nampaknya hal itu tidak cukup bagi mereka. Hanya karena mereka mendapati kenyataan bahwa ia gemar merokok dan clubbing yang tentunya akrab dengan pergaulan bebas, seperti rokok, alkohol dan semacamnya, mereka merasa ia tidak bisa jadi menantu yang baik. Padahal Eryk memahami kebiasaannya itu. Lagipula ia belum pernah terlibat kasus kriminal. Setahun terakhir ini pun ia berusaha mengurangi kebiasaannya itu. Ia yakin jika ia bisa berubah perlahan-lahan.
Jadi sebenarnya di mana letak permasalahannya?
Aruna membuka pintu kamar yang tertutup rapat. Rupanya Damar belum tidur. Ia sedang duduk menghadap laptop. Buku-buku besar yang sudah pasti buku bisnis dan tetek bengeknya tergeletak di atas meja. Damar terlalu sibuk dengan pekerjaannya, sehingga melihatnya saja ia seolah tidak punya waktu.
Aruna sudah terbiasa diabaikan. Biarlah Damar sibuk dengan dunianya sendiri.
"Saya harap kamu nggak nyari masalah sama laki-laki itu dan isterinya."
"Bukan urusan kamu." Aruna melepaskan blazer yang membungkus tubuhnya hingga menyisakan blus kuning gading berbahan sifon yang mulai terasa lengket.
Damar melepaskan kacamata baca yang ia pakai. "Saya suami kamu."
"Oh, ya?"
"Kalau-kalau kamu lupa."
"Nggak usah diingatkan."
"Saya nggak mau selama saya menyandang status itu, kamu bikin masalah sama rumahtangga orang lain."
"Bukannya kamu nggak peduli? Gue, saya..." Aruna memotong ucapannya sendiri. "Saya nggak butuh tanggapan kamu."
Damar tidak diam begitu saja.
Aruna melanjutkan sebelum Damar sempat berbicara lagi.
"Oh. Kamu takut nanggung malu ya? Tanpa kamu ngomong pun, saya udah tau alasannya."
"Ya. Memang itu alasannya. Saya nggak mau dibikin malu sama kamu."
Aruna menelan ludah. Ia memang tidak pernah berharap banyak kepada pernikahan ini. Ia tidak pernah bermimpi Damar akan bersikap baik padanya, apalagi setelah Damar tahu rencananya terhadap pernikahan mereka.
***
Aruna tidak berkata apa-apa lagi dan memilih segera masuk ke kamar mandi.
Damar segera kembali memfokuskan diri dengan pekerjaan.
Ia memang tidak ingin menanggung malu. Sudah cukup pernikahan ini mempermainkan harga diri dan egonya, ia tidak ingin menanggung lebih banyak lagi. Jika Aruna bisa dengan entengnya memutuskan muara pernikahan mereka, ia juga akan memastikan niatnya itu tidak akan berjalan mulus. Jika akhirnya mereka hancur bersama-sama, itu akan terasa adil untuk mereka berdua.
Setiap interaksi di antara mereka selalu memercikkan api kebencian. Ia tidak pernah berniat membenci, tapi sepertinya Aruna memang ingin dibenci. Ia hanya melakukan apa yang Aruna minta untuk ia lakukan. Sekalipun, satu hal yang tidak pernah ia ingin lakukan kepada perempuan adalah menyakiti mereka baik dengan ucapan maupun perbuatan. Namun Aruna adalah pengecualian.
Nasib pernikahan mereka nanti ada di tangan Aruna. Itu fakta yang tidak bisa Damar hindari.
Kenyataan itu membuat Damar sangat marah, tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Harga dirinya sebagai laki-laki seolah sedang diinjak-injak. Jika Aruna berpikir untuk menjadikannya alas kaki, ia tidak akan pernah tinggal diam.
Tidak akan pernah.
***
Pagi-pagi sekali, Aruna sudah bangun. Hal pertama yang ingin dilakukannya pagi itu adalah memeriksa keadaan ponselnya. Ponsel iphone seri terbaru yang ia beli seminggu setelah resmi launching di Indonesia itu kini dalam genggamannya. Dalam keadaan rusak. Ia pasti terlalu marah kemarin sampai-sampai ponsel itu jadi sasaran.
"Dasar bodoh. Eryk bodoh." Aruna menggumam sambil memeriksa layar yang retak-retak. Anti gores yang dipasangkan ternyata tidak cukup memproteksi layar. Harusnya ia memang tidak membanting ponsel itu terlalu keras. Kemarahannya ternyata lebih besar dari keinginan untuk merawat benda penting tersebut.
Sambil menunggu daya mengisi baterai, ia masuk ke pantri. Perutnya lapar. Sejak semalam, ia tidak pernah makan. Siang kemarin, ia hanya makan burger McDonalds yang bentuk aslinya tidak sebagus di iklan-iklan. Hal itu sama saja dengan kemasan mie instant yang tidak sesuai dengan isinya. Waktu kecil ia begitu konyol, berpikir jika ia akan mendapatkan telur dan ayam seperti pada gambar di bungkusnya.
Nasi dalam rice warmer masih cukup untuk 2-3 porsi. Ia tidak sedang ingin makan mie instant, jadi ia beralih ke kulkas, memeriksa bahan termudah yang bisa ia olah menjadi makanan. Pilihannya telur Omega dan nugget.
Suara laci kitchen set yang digeser diikuti suara kucuran air dari dispenser, menandakan Damar juga berada di sana. Ia hapal kebiasaan Damar saat bangun tidur. Minum segelas air hangat. Pengetahuan Damar tentang gaya hidup sehat jelas tidak bisa dianggap angin lalu. Ia tidak minum minuman beralkohol, tidak merokok, rutin ke gym, dan setiap Minggu pagi, jogging di sekitar kompleks perumahan.
Ingatannya memang pendek soal makanan kesukaan Damar, tapi hal-hal lain di luar itu, ia bisa hapal tanpa ia perlu memaksakan diri untuk menghapalnya.
Damar juga sosok yang religius.
Oke. Detailnya sudah terlalu jauh untuk dibahas.
"Kamu mau bakar dapur?"
Aroma gosong dan suara Damar menyentakkan Aruna. Asap tidak sampai memenuhi pantri. Jadi jelas tidak akan terjadi kebakaran.
"Berlebihan." Aruna lalu mengambil penjepit untuk memindahkan potongan-potongan nugget yang tidak lagi berwarna keemasan seperti yang ia harapkan. Sebaliknya, daging olahan berbalur tepung panir itu warnanya sudah kecokelatan. Ia tidak akan berpikir panjang untuk membuang makanan itu. "Gue buang aja."
"Jangan."
Oh. Ia pikir Damar tidak melihatnya.
"Kenapa? Udah gosong, nggak bisa dimakan."
Aruna tetap bersikeras hendak memasukkan nugget gosong itu ke tempat sampah.
"Kamu nggak tau yang namanya menghargai makanan?" Damar mengambil piring itu dan mengambil sepotong nugget. Ia membuka bagian-bagian gosong satu persatu dan membelah satu potong menjadi dua. Ia memperlihatkan isinya yang kalau dilihat-lihat, memang masih menunjukkan rupa nugget.
"Jangan lebai deh. Gue buang makanan nggak bakal bikin rakyat dunia ketiga makin mati kelaparan."
Damar menarik sudut bibirnya, sebentar saja wajahnya terlihat sinis.
"Makanan saja nggak bisa kamu hargai, bagaimana dengan lain?"
Oh. Aruna tahu ke mana pembicaraan ini akan berujung.
"Ya ampuun. Gue baru tau nugget gosong bisa jadi pencetus perang dunia ketiga." Aruna bersidekap. "Lagian kenapa soal makanan jadi lo dramatisir kaya gini sih? Kalau mau, makan aja tuh nugget gosong sampe abis!"
Damar menghitung nugget di atas piring. "Jumlahnya ada 6 buah. Kita bagi dua."
"Haah? Dan kenapa gue harus makan makanan yang nggak mau gue makan?"
"Tadi kamu goreng nuggetnya, berarti memang mau kamu makan. Iya kan?"
"Tapi udah gosong! Gue nggak mau!!" Aruna sampai berteriak saking kesalnya.
Damar nampaknya tidak peduli. Ia menggeret Aruna untuk duduk di kursi, dan meletakkan piring berisi nugget di hadapannya. Jika perempuan ini tidak bisa diajari tata krama di aspek yang lain, paling tidak untuk urusan menghargai makanan, ia bisa punya sedikit manner. Lagipula nugget gosong itu adalah perbuatan Aruna. Siapa suruh tidak memerhatikan apa yang ia masak?
"Lepas!!" Aruna menjauhkan tangannya, namun ia akhirnya duduk. Damar menarik kursi di depan Aruna, dan duduk. Memastikan Aruna memakan makanan yang jelas masih layak makan itu.
Aruna memang keras kepala, namun untuk urusan mendisiplinkan soal makanan, Aruna harus tahu ia sedang berhadapan dengan siapa.
"Saya duluan kalo gitu." Damar mengambil sepotong nugget dan mengunyahnya pelan. Tersisa sedikit rasa getir, tapi memang masih layak makan. Setelah habis, ia menunggu Aruna mengambil sepotong.
Aruna bergeming. Jadi, Damar mengambil sepotong lagi.
"Gue bakal laporin tindakan lo ke papa."
Damar mengangguk. "Dengan senang hati."
Aruna menatapnya tajam. Napasnya yang memburu membuat Aruna terlihat sebentar lagi akan menerkamnya.
Aruna meninggalkan meja makan dan seperti yang sudah ia perkirakan, Aruna mengambil ponsel yang sedang ia charge. Tidak berapa lama, ia sudah berteriak-teriak dengan seseorang yang semenit lalu berbicara dengannya.
"Arrghh!!! Aruna benci sama papa!!"
Damar tersenyum puas.
***
Gimana??? Doain konsisten ngepost yaaa...
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top