FTSOL #23

DAMAR

"Belum tidur?" tanya Damar ketika Aruna membuka kedua matanya.

"Nggak bisa tidur," jawab Aruna singkat.

"Nggak mimpi buruk kan?" tanya Damar lagi. Ia selalu ikut terbangun jika Aruna terjaga setiap tengah malam. Bukan karena merasa terganggu, tetapi karena ia pun ikut mencemaskan kalau-kalau Aruna terbangun karena bermimpi buruk.

"Nggak. Memang nggak bisa tidur aja." Aruna menggeliat dalam pelukannya. "Maaf ya, gara-gara aku, tidur kamu jadi terganggu. Padahal besok mesti masuk kantor lagi kan?"

"It's okay." Damar tersenyum. "Tinggal minum kopi aja kalau pagi. Beres kan?"

"Besok kita nginap di rumah mama aja ya? Biar kamu bisa istirahat dengan tenang. Nanti aku bisa tidur sama mama."

"Kamu bilang nggak bisa tidur kalau nggak sama saya?" Damar mengingatkan.

"Iya juga sih. Tapi daripada kamu keganggu terus...," Aruna berhenti berbicara. Ia menggosok-gosokkan permukaan pipinya ke permukaan dada Damar, dan menghirup aroma tubuhnya. "Udah terlanjur nyaman sih kaya gini."

"Makanya, jangan nawarin solusi yang kamu sendiri nggak yakin buat dilakuin."

"Aku takut aja kalo bangun, aku nggak liat kamu." Aruna mendesah pelan. "Aku kan masih takut, Dam."

Damar mengusap-usap lembut punggung Aruna yang kini tengah berbaring di sampingnya, dengan menjadikan lengan dan sebagian dadanya sebagai bantal. Aruna mengakui, akhir-akhir ini ia sulit tidur di malam hari. Ia kerap terjaga, dan ketika ia terbangun, ia membayangkan dirinya masih terjebak di dalam mobil yang tengah ringsek pasca kecelakaan. Entah, mengapa di masa-masa pemulihan, justru Aruna diserang gangguan kecemasan. Alhasil, Damar tidak berani meninggalkan Aruna di rumah, jika hanya berdua saja dengan Imah. Aruna sesekali ikut dengannya ke kantor, tetapi Aruna masih merasakan perasaan kurang nyaman ketika berada di lingkungan kerjanya.

"Kamu jangan mikir yang macam-macam lagi ya?" pinta Damar, sekalipun ia tahu hal tersebut bukan hal yang mudah untuk dilakukan. Dokter mengingatkan jika gangguan panik bisa datang sewaktu-waktu, meski dalam kasus Aruna, hal itu masih cukup bisa dikendalikan.

Hal yang cukup menggelikan ketika tiba di akhir pekan, Aruna malah ingin menghabiskan waktu di area bermain anak yang ada di mall. Duduk di sana berjam-jam, hanya dengan memerhatikan tingkah polah anak-anak yang sedang bermain. Jika sudah bosan, ia akan meminta Damar menemaninya berkeliling, berpindah ke satu gerai ke gerai yang lain. Kadang membeli pernak-pernik lucu untuk dekorasi kamar, aksesoris rambut, jajan es krim. Atau membeli buku dongeng di toko buku yang biasanya akan Aruna minta untuk dibacakan sebelum tidur.

Aruna telah menceritakan semuanya yang bisa Aruna ceritakan kepadanya. Banyak hal. Mulai dari kehidupannya di masa kecil yang begitu suram hingga ia diadopsi. Aruna berpikir kehidupannya yang berubah drastis akan melenyapkan segala memori kelam yang sudah terlanjur tertanam di otaknya. Ia pikir, ia akan sangat berbahagia dengan kehidupan barunya. Nyatanya, tidak semua sesuai dengan ekspektasinya. Sebagian orang menerima statusnya sebagai anak adopsi, sedangkan sebagian lain menjadikan hal itu sebagai bahan olokan. Tepatnya saat ia bersekolah di sekolah menengah. Teman-teman dari kalangan populer memilih menjauhinya setelah mengetahui statusnya sebagai anak adopsi. Menyakitkan karena status sosial tidak bisa menghapus kenyataan bahwa ia tidak memiliki hubungan darah dengan papa, mama dan saudara-saudaranya. Ia tetaplah anak angkat, atau anak pungut untuk istilah lainnya.

Hanya Ira dan Eryk yang betah menjadi sahabatnya sejak jaman sekolah hingga sekarang. Selebihnya, Aruna tidak ingin mengingat apa-apa lagi tentang masa lalu yang kurang menyenangkan.

***

ARUNA

Aruna merasa beban pikirannya jauh lebih berkurang setelah menceritakan kisah hidupnya kepada Damar. Kisah hidup di bagian-bagian tersuram yang masih membekas hingga kini. Rasanya memang berat bila ia menceritakannya, karena hal itu seakan menguak luka lama yang semestinya telah sembuh. Tetapi jika terus-menerus menyimpannya sendiri, ia tidak yakin akan mampu berdamai sepenuhnya dengan masa lalunya. Meski hatinya tidak sepenuhnya lega, tapi paling tidak, kondisinya kini jauh lebih baik. Seperti gumpalan benang kusut yang mulai terurai sedikit demi sedikit, seperti itulah perasaannya sekarang.

Aruna mengelus-elus pipi Damar. Menatap wajahnya dalam keremangan penerangan lampu kamar yang hanya ditunjang oleh cahaya dari lampu tidur. Wajah Damar kini tengah tersenyum kepadanya. Tidak hanya senyum, Damar juga berulangkali mengucapkan kata-kata yang bersifat menenangkan, menghibur, meyakinkan jika semuanya akan baik-baik saja.

Ya, ia akan selalu merasa baik-baik saja bersama Damar di sisinya. Kenyataan yang tidak henti ia syukuri hingga kini.

Mereka kini berbaring berhadapan, dengan lengan Damar yang tengah mengusap-usap punggungnya, menenangkannya setelah Aruna selesai bercerita.

"I'm so happy, Dam. Punya kamu dalam hidupku sekarang."

Damar hanya menanggapinya dengan seulas senyum. Sepertinya Damar sudah mengantuk.

"Kamu udah ngantuk?" tanya Aruna. Begitu selesai mengatakannya, Damar langsung menguap, pertanda kantuk telah menyerangnya.

"Mhh. Gimana kalau obrolannya dilanjutkan besok?" tanya Damar.

Aruna mengangguk. Ia lalu membalikkan badan, bermaksud mengambil ponsel yang ia letakkan di nakas, untuk melihat penunjukan jam. Astaga, sudah jam 1 lewat. Pantas saja Damar sudah mengantuk.

Setelah menyimpan lagi ponselnya ke tempat semula, Aruna kembali berbalik menghadap Damar yang kini sudah memejamkan mata. Aruna tersenyum. Ia mencubit pelan pipi Damar dan memandangi wajahnya beberapa saat.

"Don't you know how gorgeous you are?" Aruna mengucapkannya sambil telunjuknya menelusuri hidung Damar hingga berhenti di permukaan bibirnya.

"I know," gumam Damar pelan.

"Aku pikir kamu udah tidur."

"Gimana bisa tidur kalau kamu nyentuh saya seperti itu?"

"Kamu lupa ya? Sebelum tidur kan biasanya kamu nyium aku?" Aruna mengingatkan. Yeah, seharusnya ia tidak mengingatkan. Tadinya kan Damar memang tidak sengaja sampai ketiduran?

Damar membuka kedua matanya. Ia mendekatkan wajahnya, meski dengan sebelah pipi yang masih menempel di permukaan bantal. Aruna tersenyum girang saat bibir mereka bersentuhan. Tidak banyak yang terjadi. Hanya sebuah kecupan lembut sebagai pengantar sebelum tidur. Tetapi bukan hal mudah melepaskan diri dari kecupan yang baginya seperti candu. Sekali tidak akan pernah cukup.

Damar tersenyum sebelum Aruna memajukan wajahnya untuk balas mengecup bibirnya. Mengulumnya berkali-kali sambil menunggu respon yang tidak kunjung tiba. Aruna tahu ini sudah terlalu larut malam untuk bermesraan. Tetapi apakah ia bisa menahan dirinya jika itu berkaitan dengan Damar?

Sampai detik ini, mereka belum berhasil sampai pada tahap penyatuan, karena nyeri di pinggangnya masih menolak untuk berkompromi. Menurut dokter, kondisinya akan membaik, meskipun harus mundur dari perkiraan awal.

"Sorry, aku...," Aruna memotong ucapannya sendiri, tidak menyangka jika kini ia kembali mengganggu tidur Damar. "Dam?"

"Begini?"

"Hmm. Iya," angguk Aruna. Tadinya ia memang ingin menarik tangan Damar untuk disusupkan ke dalam piyamanya. Tidak disangka, ternyata Damar yang berinisiatif sendiri. Kini ia menikmati sentuhan lembut Damar di permukaan kulitnya. Sesekali Damar mengecup leher, bahu dan lengannya sambil mengusap bagian-bagian tubuhnya yang sensitif. Orgasme yang ia rasakan sungguh menyenangkan sekaligus menyebalkan, menyadari mereka tidak bisa melakukannya dengan lebih leluasa karena kondisi tubuhnya. Ia hanya harus puas menikmati sentuhan demi sentuhan di kulit telanjangnya tanpa berekspektasi lebih.

Saat sentuhan itu berakhir, mereka saling melempar senyum.

"Saya ke kamar mandi dulu ya?" ucap Damar pelan.

"Maaf ya, aku jadi nyusahin kamu," jawab Aruna tanpa bisa menahan tawanya. Ia menahan Damar sebentar untuk menciumnya lalu melepaskannya menuju kamar mandi.

Saat Damar kembali, Damar membantu mengancingkan piyamanya lalu merapatkan selimut di tubuhnya. Memeluknya, kemudian pamit untuk tidur. Menyisakan letupan perasaan yang sulit ia kendalikan. Bagaimana ia bisa tidur sekarang?

Aruna memejamkan mata sambil tersenyum.

Ia tidak pernah memungkiri jika ia sangat mencintai Damar.

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #marriage