FTSOL #16

DAMAR

Damar sampai di rumah sebelum malam. Warna langit masih menyisakan jingga kemerahan, warna yang sekilas mengingatkannya pada senja beberapa hari lalu di Bukit Bintang. Ia tidak bisa menghentikan memori tentang Jogja, karena selain liburan singkat itu baru saja berlalu sehingga masih lekat di ingatannya, untuk pertamakali itu juga ia menjadi imam saat beribadah berdua Aruna. Satu hal yang tidak berhenti ia syukuri hingga detik ini.

Hanya mengingatnya, ia bisa tersenyum. Betapa sebuah hal sederhana bisa menjadi alasan seseorang untuk berbahagia.

Keningnya mengerut melihat mobil Aruna terparkir di garasi. Tadinya ia berpikir Aruna tidak akan berada di rumah setelah pembicaraan mereka semalam.

Ia memarkirkan mobil di halaman rumah. Sengaja belum ia teruskan memarkir mobil di garasi. Siapa tahu saja, ada alasan baginya untuk keluar rumah di malam hari. Entah, hanya pikiran random itu yang berada di benaknya kini.

Ia tidak berniat mencari keberadaan Aruna. Tetapi hal itu tidak menghentikannya langkah kakinya menjejak di setiap ruangan, ketika ia tidak menemukan Aruna di dalam kamar tidur.

"Kamu masak?" tanya Damar seolah tidak percaya melihat Aruna tengah berdiri membelakanginya, masih mengenakan celemek. Aroma tumisan menguar di udara. Terdengar pula suara sesuatu yang digoreng di dalam wajan anti lengket.

"Lagi pengen makan masakan sendiri. Cuma pake bumbu instant buat tumisan. Ayam gorengnya juga pake bumbu ungkep yang udah jadi," jawab Aruna tanpa berbalik dari kompor di depannya. Ia mengambil penjepit untuk membalik potongan ayam yang tengah digorengnya.

"Saya mandi dulu kalau begitu. Kalau sudah selesai, kita shalat berjamaah lagi ya?" ajak Damar. Ia memosisikan dirinya, seolah keadaan biasa-biasa saja setelah Aruna mengemukakan keinginannya untuk berpisah.

Aruna hanya menggumam pelan, yang Damar tafsirkan sebagai jawaban iya.

Sambil berjalan menuju kamar, Damar kembali terpikir tentang pembicaraannya dengan Denise siang tadi. Ia sudah bertekad untuk menyelesaikan segala kerumitan yang ada. Kesabarannya kembali diuji, dan ia sudah siap menghadapi segala konsekuensi yang mungkin akan ia temui nanti. Eryk mungkin tidak menyukai konfrontasi, tetapi ia akan melakukannya untuk menolong rumahtangga Denise dan Eryk sekaligus mempertahankan rumahtangganya sendiri.

Ia tengah memasukkan pakaian kerjanya yang kotor ke dalam keranjang, ketika Aruna masuk ke dalam kamar. Sekilas ia mencium aroma masakan yang tertinggal di pakaian yang dikenakan Aruna.

Bisakah ia berharap hal ini bisa ia rasakan setiap hari? Ia tidak menuntut masakan yang sempurna tanpa bumbu instant. Ia hanya ingin bisa merasakan masakan Aruna lebih lama lagi.

Damar merasa konyol ketika membiarkan dirinya menonton aktivitas Aruna melepaskan pakaiannya. Aruna menyadari keberadaannya, tetapi sepertinya ia tidak peduli.

Rasanya frustrasi sekaligus berdebar di saat yang bersamaan.

"Kamu atau aku yang mandi duluan?" tanya Aruna yang kini telah membalut tubuhnya dengan handuk merah muda yang tadi ia ambil dari lipatan khusus handuk di dalam lemari. Untuk pertamakali, Damar memberanikan diri menatap tubuh Aruna yang hanya terbalut handuk.

Mengapa setelah Aruna menginginkan perpisahan, justru ia merasakan penolakan yang begitu dominan dalam dirinya untuk berpisah. Ia memang pernah menginginkan hal itu.

Tapi, pernah bukan berarti kini ia harus berpasrah diri menghadapinya, bukan?

"Kalau bisa bareng, mengapa nggak?" Damar balik bertanya. ia menelan ludah untuk jawaban yang ia akui sangat-sangat tidak mencerminkan kepribadiannya selama ini.

Tetapi jika ingin hubungan mereka berhasil, ia yang harus mengambil inisiatif.

"Aku duluan kalo gitu," kata Aruna, terlihat tidak tertarik dengan ucapannya barusan.

Damar merasakan wajahnya memanas karena perasaan malu.

Ia pasti sudah gila saat mengatakannya.

"Kalau nggak mau kelamaan nunggu, kamu pakai kamar mandi yang satunya saja," ucap Aruna saat berhenti di ambang pintu kamar mandi.

"Saya nunggu kamu saja."

Aruna terlihat mengangguk pelan, masuk ke kamar mandi. Membiarkannya menunggu sekitar sepuluh menit. Aruna tidak lama menggunakan kamar mandi. Saat pintu kembali terbuka, Aruna muncul kembali, kali ini dengan wangi vanilla yang begitu wangi membelai saraf penciumannya.

Aruna berhenti di hadapannya, seolah sengaja menunjukkan tubuh lembabnya sehabis mandi.

"Giliran kamu," ucapnya tanpa rasa bersalah saat menurunkan pinggiran atas handuknya, hingga garis lekukan dadanya terlihat jelas. Seringaian Aruna muncul setelah melihat kedua matanya tidak berkedip menyaksikan pemandangan indah itu.

Apakah Aruna berniat semakin menyiksa batinnya?

***

ARUNA

Damar pasti sudah setengah waras saat menawarkan mandi bersama.

Bukannya itu sebuah ide yang buruk. Hanya saja, Aruna tidak menyangka akan mendengar ucapan semacam itu mengalir dari bibir Damar yang sepertinya semakin sulit untuk tidak ia tatap berlama-lama. Bibir yang ia rindukan menjamah bibirnya yang seolah kerap merasa dahaga, dan hanya bibir Damar yang ia inginkan sebagai penawarnya.

Damn it. Ia bahkan telah mengatakan ingin berpisah.

Tapi bagaimana mungkin? Ia akan menjadi manusia paling bodoh jika meneruskan rencananya.

Lagipula Damar telah berulangkali meminta maaf, sekaligus meyakinkan dirinya jika Ningrum bukan siapa-siapa.

Level kecemburuannya telah mencapai batas maksimal. Hal ini sungguh tidak sehat untuk jantungnya.

Bagaimana jika Damar melirik perempuan lain? Aruna mungkin kalap dan akan melakukan tindakan kriminal untuk menyingkirkan siapapun perempuan lain yang dicintai Damar.

Hal ini sungguh tidak sehat, bukan? Ia benar-benar sosok perempuan posesif, dan ia tidak ingin berakhir dengan nasib mengenaskan. Ia tidak bisa membayangkan bagaimana tersiksanya Damar dengan perilakunya.

Damar pantas bahagia dengan perempuan yang lebih baik. Jika selama ini Damar terjebak dalam pernikahan bersamanya, maka inilah kesempatan untuk membebaskannya.

Tetapi apakah ia bisa berpisah dengan Damar jika ia mencintai laki-laki itu?

Aruna menggigit sendok ketika Damar selesai menyuapkan makanan ke dalam mulutnya, dan tersenyum sembari mengatakan jika masakannya enak. Thanks to produsen bumbu instant yang menyulapnya menjadi chef dadakan dengan hasil yang tidak mengecewakan.

"Kamu mau masak lagi besok?" tanya Damar yang tengah mencubit paha ayam goreng yang berwarna kuning keemasan.

"Tergantung."

"Tergantung apa?"

"Tergantung aku mau luangin waktu atau nggak. Hubungan kita juga masih nggak jelas gini kan?" Aruna masih memandangi piring berisi beberapa potong ayam goreng.

"Saya berharap yang terbaik untuk kita, Aruna." Damar menatapnya dengan sorot mata yang begitu fokus. "Seribu kali pun, jawaban saya tetap sama. Saya nggak mau pisah."

Aruna menghindari tatapan Damar.

Jika Damar tidak ingin berpisah darinya, apakah ia akan membatalkan rencananya menghubungi pengacara yang akan mengurus perceraian mereka?

"Siapa pengacara kamu? Biar saya yang bicara," tawar Damar.

"Kamu nggak perlu tau," jawab Aruna. "Kenapa kamu nggak nyari pengacara juga?"

"Karena saya nggak perlu pengacara. Saya nggak menginginkan perpisahan." Damar menatapnya tajam. "Kenapa kamu ingin berpisah dari saya, Aruna? Apakah upaya saya selama ini memperbaiki hubungan kita, nggak cukup buat kamu? Dan apapun kata-kata kamu kemarin malam, saya akan melupakannya dan menganggapnya tidak pernah ada."

Aruna mendesah. "Yang aku bilang soal kamu yang terlalu baik buat aku. Itu faktanya, Dam. Aku nggak pernah cukup baik buat kamu."

"Lalu menurut kamu solusi terbaik dengan berpisah? Kamu nggak ngasih saya kesempatan untuk menjadikan rumahtangga kita jadi lebih baik lagi. Kamu hanya selalu mikirin perasaan kamu sendiri, tanpa pernah memikirkan perasaan saya."

"Aku nggak mau ngomongin soal ini lagi."

"Kenapa nggak? Kita harus bicara sampai ketemu solusinya."

"Mau nyari solusi apalagi? Solusinya ya itu. Kita pisah."

"Kalau saya bilang saya mulai menyukai kamu, apakah kamu mau membatalkan rencana kamu?"

Aruna merasakan jantungnya berdebar-debar. Damar bilang suka saja, rasanya ia mau pingsan.

"Itu...belum cukup."

"Saya sedang dalam proses mencintai kamu."

Aruna mengerutkan kening. "Secepat itu? Kayaknya kamu kedengaran terpaksa. Lupain aja deh."

"Kamu mau apapun dari saya...saya akan berikan untuk kamu."

Aruna meringis.

Sepertinya Damar mulai melakukan segala upaya yang bisa ia lakukan untuk mencegah perpisahan mereka. Benar-benar totalitas yang patut diacungi jempol.

"Apapun?" Aruna meletakkan sendok di tangannya.

Oh, ia suka kata-kata seperti ini.

"Selesai makan, aku tunggu kamu di kamar." Aruna berbalik. "Di tempat tidur. Jangan lupa bersih-bersih dulu."

"Maksud saya bukan itu."

"Jangan lama."

***

DAMAR

"Ini kopinya, Pak." Odi, OB yang kemarin mengantarkan kopi ke ruangannya, meletakkan cangkir putih berisi cairan hitam kental dan pekat. "Kepalanya masih sakit, Pak?"

"Sudah nggak lagi," jawab Damar singkat. "Terimakasih ya?"

"Iya, Pak. Sama-sama. Silahkan dinikmati kopinya."

Kepalanya sudah sembuh. Mungkin penawarnya memang sesuatu yang ekstrim.

Seperti semalam.

"Eh, Odi."

"Iya, Pak?"

"Kamu tau florist yang rekomen?"

Odi menyebutkan beberapa nama yang terasa asing di telinganya.

"Bapak mau ngirim karangan bunga untuk acara apa?"

"Oh, nggak. Cuma tanya-tanya aja."

"Biasanya kan udah ada rekanan kantor juga, Pak." Odi mengingatkan.

"Oh, iya, iya. Terimakasih." Damar memerhatikan Odi yang masih belum beranjak, mungkin menunggu perintah darinya. "Kamu boleh ngerjain pekerjaan lain. Terimakasih ya kopinya?"

"Baik, Pak."

Damar mengetuk-ngetukkan jari telunjuknya ke atas meja.

Sebenarnya perasaan seperti apa yang sedang ia rasakan sekarang?

Sejak berangkat dari rumah menuju kantor, selalu saja bayangan wajah Aruna yang terlintas di benaknya.

Terlalu dini untuk mengakui, meski ia juga enggan mengingkari.

Apa iya kebersamaan semalam bisa membuat hatinya tunduk kepada sebuah rasa yang bernama cinta?

Ia dan Aruna belum sampai kepada tahap akhir. Ia masih berpegang pada prinsipnya hanya akan melakukannya jika ia benar-benar siap. Aruna telah menyerahkan dirinya, tetapi ia memilih menarik diri sebelum penyatuan itu terjadi.

Aruna tidak marah. Ia hanya tersenyum kepadanya dan mengatakan jika ia pun butuh waktu untuk mempersiapkan diri. Ia mengakui dirinya terlalu bernafsu hingga melupakan salah satu esensi dari bercinta, yaitu kenyamanan. Pada akhirnya, mereka berpelukan beberapa saat, dan kehangatan malam itu berakhir begitu saja.

Pagi itu mereka bersikap canggung satu sama lain ketika bertemu di meja makan untuk sarapan bersama. Lebih tepatnya, ia yang bersikap canggung. Tubuhnya yang jelas-jelas tidak sedang meriang, tetapi merasakan panas dingin setiapkali menatap wajah Aruna. Keadaannya telah berbeda sekarang. Hubungan mereka sampai pada tahap yang lebih maju. Tahapan yang tentunya merupakan kabar baik bagi rumahtangga mereka.

Tetapi apakah semua yang telah mereka lalui bersama telah cukup untuk memastikan kelanggengan pernikahan mereka.

Pemikiran Aruna bisa berubah, begitupun dengan pemikirannya.

Seolah masih meraba-raba, ingin maju tetapi di saat yang sama juga ingin mundur.

Apakah mungkin hati mereka telah terikat satu sama lain? Apakah mereka kini saling mencintai satu sama lain?

Ia tidak bisa menjawab, karena ia sendiri tidak yakin dengan jawabannya.

Mungkin hanya butuh waktu untuk meyakinkan dirinya tentang perasaannya.

***

ARUNA

"Kamu tau satu hal, Dam?"

"Apa?"

"Aku rasa aku jatuh cinta sama kamu." Aruna mengusap bibir Damar yang lembab karena ciumannya. "Kamu gimana?"

"Boleh saya nggak jawab sekarang?"

"Kenapa nggak bisa jawab sekarang?"

"Saya masih dalam tahapan memverifikasi dan memvalidasi perasaan saya ke kamu."

Aruna tergelak. "Perasaan itu bukan sesuatu yang bisa terukur. Please, Dam. Bahasa kamu tuh ya, baku banget tau, nggak?"

"Saya laki-laki yang butuh memastikan kontrol emosi dan pikiran saya, Aruna. Saya nggak mau salah menafsirkan apa yang saya rasakan ke kamu. Seperti yang pernah saya bilang ke kamu. Saya butuh waktu untuk meyakinkan hati saya."

"Kamu nggak pernah jatuh cinta sampai kamu nggak bisa memahami perasaan kamu sendiri? Just say you love me, selesai. Nggak ribet."

"It's easy to say i love you. Tapi kalau hanya sebatas di bibir buat apa?"

"Apa aku nggak pantas buat kamu?"

"Tidak. Jangan bicara seperti itu, Aruna." Damar berhenti untuk menghela napas saat Aruna menurunkan celana piyama yang tertahan di pinggangnya.

"Kamu bilang, kamu bakal lakuin apa saja untuk mencegah perpisahan kita." Aruna mengerutkan kening. "Atau kamu mau lepas sendiri?"

"Seks bukan solusi, Aruna. Saya dan kamu bisa saja melakukannya sekarang, tapi apakah kita sama-sama menginginkannya sekarang?"

"Aku mau," Aruna menjawab cepat. "Aku tebak. Kamu nggak mau karena kamu belum siap?"

"Kamu benar."

Aruna memalingkan wajah. "Fine. Aku ngerti. Kamu terusin aja prinsip dan idealisme kamu itu."

"Kamu marah." Damar menyentuh dagunya, memaksanya menatap ke dalam kedua mata Damar.

"Buat apa aku marah? Hak kamu buat nolak. Lain kali, aku nggak akan susah payah ngajak kamu lagi."

Aruna melangkahkan kakinya menuju sebuah meja di mana Eryk tengah menunggunya. Sejam lalu, Eryk menelepon, menanyakan di mana dirinya dan apakah ia punya waktu untuk bertemu. Ia sedang berbaring memikirkan sikap Damar semalam, dan tanpa pikir panjang memenuhi undangan Eryk bertemu di kafe.

Eryk memilih meja favorit mereka yang berada di dekat jendela.

"Hei, Ryk," sapa Aruna setelah duduk di hadapan Eryk. Eryk terlihat begitu tampan dengan potongan rambut undercut. Kulitnya kelihatan lebih putih, nampak serasi dengan kaus polo hitam yang ia kenakan.

"How are you, Run?"

"Selalu baik," jawab Aruna singkat. Ia melirik ke arah menu yang tersedia di meja.

"Kopi Toraja kesukaan kamu? Biar aku pesankan."

"Nggak. Aku udah nggak gitu doyan kopi. Sejak lambungku makin bermasalah, aku nggak minum kopi lagi."

"Serius, Run? Coffee is your alter ego."

"Air putih aja. Tapi aku tetap pengen burgernya."

Eryk tersenyum, lalu tanpa pamit meraih tangannya.

"Come back to me, Aruna."

Aruna tergelak. "Bukannya kamu yang pergi ninggalin aku, Ryk?"

"i'm coming back to you."

"You're insane." Aruna melepaskan genggaman tangan Eryk. "Kenapa sekarang, Ryk?"

"Karena aku sadar hanya kamu yang aku cintai."

"That's a lie. Kalau kamu cinta, kamu nggak akan ninggalin aku."

"Cinta itu butuh banyak ujian untuk menguatkan. Dan aku sadar, aku harus kembali sama kamu. Perempuan pertama yang mengajarkan aku cinta." Eryk mengeratkan genggaman tangannya. "Apa ada laki-laki yang mencintai kamu seperti aku?"

Aruna menggeleng. "Nggak ada."

***

DAMAR

"Mawar putih aja, Mbak. Iya. Dibuat buket bunga."

"Pakai kartu nama, Pak?"

Damar tersenyum. "Iya, Mbak."

"Baik. Atas nama siapa?"

"My wife. Aruna."

***
Haii ini update dadakan, hari ini baru ditulis :D memenuhi target dua kali update dalam seminggu. Jangan lupa vote dan commentnya :D see you di part #17

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #marriage