FTSOL #11

                FTSOL #11


DAMAR

Acara siraman yang digelar sore itu, berlangsung khidmat. Secara bergantian, tetua dari keluarga Bude Lasmi menyiramkan air siraman kepada Rizki yang duduk memakai sarung dan rangkaian melati yang tersampir di salah satu bahunya. Mereka menyiramkan ke calon pengantin pria, air yang diambil dari sebuah kendi tanah liat warna keemasan berhias bunga mawar dan melati. Air tersebut merupakan air yang berasal dari campuran tujuh mata air yang tadinya dijemput dari rumah calon mempelai wanita.

Biasanya, siraman pada calon mempelai pria tidak selalu harus dilakukan, tidak seperti halnya pada pihak calon mempelai wanita, yang menjadi sebuah tradisi yang lumrah dilakukan. Tetapi, jika pihak calon mempelai pria ingin melaksanakannya, juga tidak menjadi masalah.

Aruna duduk di sampingnya. Sejak tadi, ia terlihat berusaha keras menyesuaikan diri dengan suasana di rumah tempat penyelenggaraan acara siraman. Memaksakan diri tersenyum setiap ada pihak keluarga maupun relasi yang menyapa mereka. Sejak berangkat dari hotel, mood-nya tidak begitu baik. Aruna mengakui jika rasa kantuk serta malas mulai menyerangnya, tetapi Damar memaksanya untuk ikut menghadiri acara tersebut karena orangtua Damar sudah mewanti-wanti Damar untuk mengajak Aruna ikut serta.

"Ngebosenin banget, astaga," gerutu Aruna.

Berkali-kali ia menguap, berkali-kali juga ia berusaha menutup mulutnya. Damar sudah mengira akan hal tersebut. Namun semakin lama menyaksikannya, hal tersebut malah semakin nampak lucu di matanya.

Aruna tidak begitu menyukai segala sesuatu yang bersifat protokoler atau runut. Senada dengan sikapnya yang seringkali tidak sabaran.

"Ah, ini acaranya mau sampai kapan sih?" keluh Aruna. Ia menguap lagi.

Perempuan ini memang selalu membuat Damar geleng-geleng kepala karena keheranan. Di saat orang-orang terhanyut dalam suasana haru, yang Aruna pikirkan hanya bagaimana bisa tidur dan bersantai.

Apakah Aruna sedemikian tidak acuhnya terhadap hal-hal yang terbilang sakral? Sementara orang-orang di sekitar mereka terlarut dalam keharuan, ia mungkin berharap bisa segera lenyap dari situ.

"Kamu kaya nggak pernah siraman aja," ledek Damar.

"Iyaa. Dan sumpah mati ngebosenin."

Jawaban lugas Aruna membuat Damar tidak dapat menahan tawa.

"Siraman itu bagian dari ritual adat untuk membersihkan fisik dan mental pengantin sebelum menikah."

"Iya, gue tau." Aruna meliriknya dengan malas. "Nggak usah dilanjutin ya? Ntar gue keburu tidur gara-gara dengar penjelasan lo."

Dasar perempuan berhati batu.

"Acara seperti ini seharusnya bisa menyentuh hati siapapun yang memahami maknanya," balas Damar, sengaja membuat Aruna kesal.

"Please deh."

"Kamu tahu nggak, kenapa air siraman diberi campuran bunga? Bunga mawar, melati dan kenanga memiliki makna yang berbeda."

"Sumpah ya. Lo ngomong sekali lagi, gue tinggal nih."

"Kamu memang nggak bisa ya, sehari aja nggak marah-marah?" tanya Damar, dengan senyum di wajahnya. "Padahal, senyum itu ibadah. Keseringan marah bisa membuat tekanan darah meninggi. Kamu tau kan efeknya jika tekanan darah tinggi?"

"Lo ngeselin, sum-pah."

"Penyakit jantung, stroke."

"Astaga. Emang lo ya?" Aruna mendengus. "Cari gara-gara banget tau nggak?"

"Kamu mungkin nggak menyadari soal ini. Tapi wajah kamu berkali-kali lipat lebih manis kalau kamu tersenyum. Saya tau kamu tipe perempuan dengan emosi paling labil yang pernah saya temui seumur hidup saya. Tapi, juga perempuan dengan senyum termanis yang pernah saya lihat..."

"Seumur hidup lo?"

"Nggak. Jelas lebih banyak perempuan yang senyumnya lebih manis dari kamu."

***

ARUNA

Gila, nih orang niat memuji atau nggak sih?

Dan, sejak kapan ia suka dipuji? Nggaklah. Ngapain? Ia tidak pernah butuh pujian.

Tapi mengapa wajahnya sempat terasa memanas? Apakah mungkin karena Damar mengatakannya sambil tersenyum?

Damn. Ia ke mana saja selama ini hingga tidak memerhatikan senyum manis yang tidak boleh ia lihat berlama-lama karena bisa menyebabkan diabetes?

Oh, please. Jangan mulai lagi deh kekonyolan perasaan ini.

"Kayak gue peduli aja." Aruna mengibaskan tangan.

"You care." Damar menatapnya tanpa berkedip.

Jarak wajah mereka hanya sejengkal.

For God's sake, and for crying out loud. Kenapa sih wajah mereka harus sedekat itu?

Jujur, sejak siang tadi, setiap melihat wajah Damar dari dekat, pikiran Aruna mulai bertindak kurang ajar. She was staring at his lips and wondering how his lips taste.

"Apa sih? Nggak jelas." Aruna lalu mengalihkan perhatiannya pada tas yang berada di pangkuannya.

Bermain ponsel bisa membuatnya melewati perguliran waktu yang terasa begitu lambat karena prosesi adat yang sangat repot itu. Ia baru mendapatkan kesempatan bersua dengan benda yang tadinya ia pikir tidak akan bisa ia temukan lagi.

Nah. Ia belum pernah bertanya di mana Damar menemukan ponselnya.

"Tadi ketemu di mana ponsel gue?" tanya Aruna saat acara jualan dawet tengah berlangsung.

Sepertinya tidak lama lagi ia bisa kembali ke hotel.

"Sssh." Damar memberi isyarat dengan mulut dan telunjuknya.

Dasar laki-laki aneh. Apa pentingnya coba mengikuti prosesi jualan dawet dan dodol?

Serius banget deh.

Setelah acara yang selintas Aruna dengar dari MC yang dari suara lemah gemulainya saja sudah membuat rasa kantuknya melambai-lambai bernama Sadeyan dhawet dan dodol tumpang, seharusnya kan acara mecah kendhi.

"Kok nggak ada bagian kendi yang dipecahin?"

"Mecah kendhi hanya dilakukan pada siraman calon mempelai wanita." Damar menjawabnya. "Mecah kendhi sebagai simbol pecah pamor, supaya aura dari calon mempelai wanita semakin cantik dan mempesona. Istilahnya manglingi."

"Gue tau soal apa itu manglingi. Nggak usah dijelasin."

Aruna jadi bertanya di dalam hati. Apakah saat pernikahan beberapa bulan lalu, auranya sebagai pengantin bisa keluar sehingga ia terlihat...cantik? Waktu itu ia tidak memedulikan hal tersebut karena ia terlalu sibuk mengabaikan segala prosesi yang harus dijalani. Lagipula, di dalam hatinya ketika itu memang tidak ada sedikitpun ketertarikan dengan segala sesuatu yang terjadi pada hari yang kata orang adalah hari istimewa. Lucu, mengingat di saat kedua orangtua dan keluarganya kompak menangis haru, ia malah tidak tersentuh, menginginkan rangkaian acara membosankan itu segera berlalu.

"Gue emang manglingi nggak waktu itu?" tanya Aruna ragu.

Sekalipun ia tidak mengacuhkan pernikahannya sendiri, saat menjelang akad nikah, ia mematut dirinya di depan cermin, ia seolah nyaris tidak mengenali dirinya sendiri. In a good way. Kata Ira waktu itu, mungkin karena ia jarang berdandan. Lalu Ira bercanda bahwa mungkin semua dosanya di masa lalu, terangkat semuanya di hari bahagia itu.

Bangke emang tuh anak.

"Kamu nggak akan peduli penilaian saya," jawab Damar. Lempeng.

"Udah deh, jawab aja. Susah banget."

"Kenapa tiba-tiba kamu jadi pengen tau? Udah hampir 6 bulan, kamu baru nanya sekarang." Damar menghela napas. "Acaranya udah selesai. Kita ke dalam sebentar, setelah itu baru balik ke hotel."

Aruna menarik ujung kerah kemeja putih yang dikenakan Damar. Menuntut jawaban.

"Kamu yang paling cantik hari itu." Damar tersenyum tipis. "Puas?"

"Bohong."

"Ya udah kalo nggak percaya. Nggak ada ruginya buat saya." Damar lalu meraih tangannya.

Hih. Ngapain gandengan sih?

Damar menggandeng tangannya sambil berjalan memasuki rumah bude Lasmi. Menghampiri Bapak dan Ibu yang saat itu berdiri di teras. Mereka memakai pakaian adat Jawa lengkap, menunjukkan jika mereka adalah keluarga dekat dari calon mempelai pria.

"Pakde, Bude. Kulo badhe wangsul. Mugi-mugi acara benjing mlampah."

"Amiin. Terimakasih. Matur nuwun. Benjing dugi, nggih. Nak Damar, Nak Aruna."

"Nggih. Salam buat Rizki, Pakde, Bude." Damar sedikit menundukkan kepala saat berpamitan kepada mereka.

Bapak dan Ibu tidak banyak bicara kepada mereka, karena mereka masih harus ikut mengurus upacara pernikahan yang akan dilaksanakan keesokan hari. Tapi, raut wajah mereka nampak senang melihat kedatangannya bersama Damar. Mereka mengatakan mungkin tidak akan sempat mengunjungi dirinya dan Damar di hotel.

Lebih baik seperti itu sih. Karena ia tidak yakin topik apa yang bisa ia bicarakan berlama-lama dengan mertuanya. Sewaktu makan malam bersama saja, ia lebih banyak diam mendengarkan.

Kecuali jika mereka ingin mendengarkan dongeng Timun Mas, mungkin?

***

DAMAR

Malioboro di waktu malam selalu menyenangkan untuk dinikmati. Setiap sudut jalan begitu menarik untuk dikunjungi.

Di salah satu sisi jalan raya dibatasi oleh pagar besi bercat hitam. Deretan rapi bangku-bangku taman berada pada satu garis lurus. Sementara di sampingnya tersedia area khusus untuk para pejalan kaki.

Berhubung malam ini adalah malam Minggu, dapat dipastikan suasana malam akan menjadi lebih ramai. Siapa yang bisa memungkiri, jika malam Minggu dimanfaatkan banyak pasangan untuk menghabiskan waktu di luar rumah. Sekadar berjalan-jalan, duduk santai, makan malam bersama, hingga berbelanja.

Sebagai salah satu destinasi wisata favorit di Indonesia, Jogjakarta tidak pernah sepi. Meskipun yang membedakan Jogja dan kota-kota besar lainnya terletak dari penataan kota yang memerhatikan pendekatan humanis dan kelestarian budaya Jawa yang begitu kental.

Malioboro sebagai jantung pariwisata Jogja menyimpan banyak kenangan. Semasa kecil, setiap malam Minggu, Bapak selalu mengajak Ibu dan dirinya berjalan-jalan di tempat itu. Meski tidak banyak hal yang bisa dilakukan selain makan di lesehan sambil mendengarkan pemusik jalanan menghibur dengan bermacam-macam lagu. Kata Bapak, sekadar bernostalgia masa kuliah. Namun, sebenarnya lebih kepada modus mengenang masa pacaran dengan Ibu. Ya sekalian, pacaran juga, lebih tepatnya. Bedanya, Damar selalu dibawa serta karena tidak ada yang menjaga di rumah. Sebelum lulus SD, mereka pindah ke Jakarta. Namun, berhubung keluarga mereka masih banyak di Jogja, dan Bapak selalu kangen Jogja, setiap dua atau tiga bulan sekali, Bapak selalu mengusahakan pulang ke sana.

Jogja is a place of thousand memories. His first love too.

Lamunan Damar masih mengembara ke masa lalu. Sambil berjalan-jalan di sepanjang kawasan Pedestrian, ia mengamati street furnicast mulai bangku, tree gates hingga sandaran parkir sepeda. Ia pamit duduk sejenak kepada Aruna yang masih sibuk dengan Leica-nya.

Di balik sikapnya yang pemarah, perempuan itu ternyata cukup menyukai fotografi. Alasannya, fotografi adalah salah satu cara melihat dunia, sekaligus memberikan penyadaran baru akan segala keindahan yang ada di sekitar kita. Belakangan, Aruna mengakui apa yang ia katakan itu adalah kata-kata motivasi yang ia comot dari Mbah Google.

Seharusnya ia tidak langsung merasa takjub akan filosofi yang ia dengar dari Aruna.

Tapi sejujurnya, jika sifat Aruna bisa sedikit melunak, ia jadi terlihat ... menarik.

Damar tidak pernah sekalipun menyangkal tentang itu. Physical attractive adalah hal pertama yang dilihat seseorang dari lawan jenisnya, bukan?

And yeah. She's attractive. More than what people called beautiful.

Kedua bola matanya bening, dan indah. Alisnya masih alami, meski tidak begitu tebal. Hidungnya bangir, wajahnya dihiasi freckles samar di sekitar pipinya. Dan bibirnya yang cukup berisi memberi kesan seksi. Aruna tidak pernah berusaha terlihat cantik di mata orang lain, karena dandanannya sehari-hari pun sederhana.

Tapi jika perangainya begitu keras hati, kecantikan itu akan terasa sia-sia saja. Bagaimanapun sebagai laki-laki yang ingin menjalani long term relationship, ia tidak bisa menghabiskan hidupnya dengan ujian kesabaran menghadapi pasangan setiap hari. Ia butuh jantung dan pikiran yang sehat sampai usia tua. Kehidupan yang tidak bahagia, bukankah tidak akan pernah baik untuk siapapun.

Ia mungkin tidak bisa merubah Aruna, karena hanya Aruna-lah yang bisa mengubah dirinya sendiri.

"Aruna, ayo kita cari makan dulu," ajak Damar setelah sejam lebih Aruna bermain dengan kamera mahalnya.

"Mau makan apa?" tanya Aruna, masih berkonsentrasi membidik tugu Jogja.

"Saya mau makan gudeg ceker. Atau nyari angkringan."

"Angkringan? Makanan di pinggir jalan gitu?"

Damar menjawab ragu. "Iya. Memangnya kenapa? Ada yang salah?"

Aruna mengerutkan kening. Suaranya terdengar cukup nyaring. "Pasti nggak higienis."

Damar menutup mulut Aruna dengan telapak tangannya. Bagaimana mungkin ia bisa enteng mengucapkan kalimat seperti itu?

Damar melirik kiri kanannya. Ia cukup lega karena nampaknya ia berhasil mendiamkan mulut Aruna sebelum berbicara lebih banyak lagi tentang makanan tidak higienis dan semacamnya.

"Gue nggak bisa napas," protes Aruna setelah menurunkan telapak tangannya.

"Bisa bicara sopan nggak kamu?" ujar Damar kesal.

"Siapa suruh ngajak makan di tempat kaya gitu?"

"Tempat sederhana bukan berarti nggak higienis."

"Iya, tapi..."

"Saya dari kecil juga dikasih makan makanan angkringan tapi nggak kenapa-napa?" potong Damar tanpa pikir panjang. "Bisa nggak, kamu lebih menghargai lingkungan kamu berada sekarang?" Damar tidak bisa menyembunyikan kekesalan.

"Gue mau nyari tempat makan yang sesuai sama selera gue," sahut Aruna.

"Kamu mau ke mana?"

"Gue punya aplikasi di ponsel gue. Yang bisa mikir bukan lo aja." Aruna menjejalkan kamera ke dalam tas selempang. "Lo pergi aja ke tempat yang lo suka, dan gue juga bakal pergi ke manapun tempat yang gue mau. Nggak usah cari gue!"

Tanpa menunggu balasan, Aruna setengah berlari meninggalkannya.

Dalam diri Damar berkobar api kemarahan. Ia bahkan sampai mengumpat, dan nyaris menendang ujung bangku yang kosong.

Ia tidak mau peduli lagi.

Bodo amat.

***

Aruna melangkahkan kaki menuju alun-alun Kidul. Mencari tempat gelap yang sepi. Ia yang semula berdiri kini duduk berjongkok memeluk lutut sambil menyeka airmata yang meleleh di pipinya.

Ia benci kemiskinan.

Ia benci makanan murah, kotor dan tidak higienis.

Karena semua itu mengingatkannya pada kenangan buruk masa kecilnya.

Ia tidak mungkin melupakan bagaimana hari-harinya yang kelam menghantui hidupnya.

Ia menangis lagi tanpa suara. Bibirnya digigit kuat-kuat.

"Kenapa nggak dimakan, Hah?"

"Nasinya basi, Om," jawab Aruna takut-takut. Ia tidak berani memandang sosok menakutkan yang berdiri di hadapannya. Ia sendiri sedang duduk berjongkok menghadapi piring logam berisi nasi basi dan lauk tempe yang meskipun belum basi, tapi rasanya hambar dan alot. Kemarin ia dihukum memakan kerak nasi gosong dan ikan goreng yang dagingnya sudah dipreteli, menyisakan sedikit daging yangmelekat di tulangnya.

Belum lagi luka di punggungnya belum kering terkena sabetan sabuk dari laki-laki yang kerap ia panggil dengan sebutan Om itu.

"Kamu makan atau saya pukul lagi kamu. Dasar anak setan! Kerja nggak becus."

"Aruna lapar, Om. Tapi nasinya basi."

Bagaimana ia bisa memakan makanan yang tidak layak dimakan? Meskipun perutnya terasa melilit karena lapar, bukan berarti ia harus memakan makanan basi. Perutnya bisa jadi akan semakin sakit.

Lalu tiba-tiba saja, seseorang menarik rambutnya dari belakang lalu menendang bokongnya hingga ia jatuh terduduk di lantai yang basah.

"Makan nggak?"

"Nggak mau, Tante."

"Dasar anak sial! Cari makan di tempat sampah aja sana."

Lalu seseorang yang ia panggil tante itu menyeretnya keluar dari rumah yang lebih mirip gudang, saking kumuhnya itu.

"Malam ini kamu tidur di luar," bentaknya.

Tidak berapa lama, ia kembali dengan piring lain berisi nasi sisa kemarin malam. Aruna bersyukur, paling tidak lauk tempe gorengnya masih bisa dimakan dan nasinya bukan nasi basi.

Ia mengusap airmatanya. Ia rindu Bapak. Ia rindu Ibu.

"Nggak boleh nangis. Harus kuat. Nggak ada yang bisa nolongin kamu," ucapnya berulangkali.

Namun tetap saja airmatanya masih meluruh juga saat ia berusaha menikmati makan malamnya yang jauh dari kata enak itu. Sekadar mengganjal perut. Agar malam itu ia bisa tidur lelap tanpa kelaparan lagi. Setelah merasa cukup kenyang, ia kemudian mengambil beberapa lembar kardus yang ia susun sebagai alas tidur. Ia mencari-cari kalau saja ada sesuatu dari tumpukan barang rongsokan yang bisa ia gunakan sebagai selimut.

Ia hanya berharap malam itu adalah malam terakhir dari segala penderitaan selama bertahun-tahun. Harapan yang sama di setiap malam sebelum tidur semenjak nyaris dua tahun belakangan ini.

Dan, ternyata Tuhan mengabulkan permintaannya dua hari kemudian.

***

Pagi-pagi sekali, Damar memeriksa ponselnya. Berharap ada komunikasi yang terhubung dengan Aruna.

Nihil.

Sambil mengusap wajahnya yang terasa agak hangat, ia berjalan bangkit dari sofa tempatnya berbaring semalaman.

Ada suara ketukan berkali-kali di pintu. Saat Damar membukanya, ia menyaksikan Aruna, perempuan yang semalaman ia tunggu kabarnya, berdiri di hadapannya. Aruna tidak berkata apa-apa saat masuk ke dalam suite. Ia melewati Damar begitu saja dan berjalan menuju kamar.

Mereka sama-sama dalam tensi tinggi semalam. Damar mengakui jika khilaf karena membiarkan dirinya dikuasai emosi. Aruna pun seperti itu. Tidak bisa menjaga mulutnya dari mengucapkan kata-kata yang kelewat lancang.

Sampai kapan mereka akan saling menyakiti seperti ini?

Damar terdiam sejenak. Tidak bergerak seperti patung.

Bagaimana menghadapi Aruna lagi, hal itulah yang menjadi momok dalam pikirannya.

Sekarang jam delapan lebih. Mereka harus bersiap-siap menuju venue pesta pernikahan Rizki dan Mega. Lokasi akad terangkai resepsi berada di sebuah hotel di sekitar Candi Prambanan. Jarak menuju ke sana sekitar beberapa kilometer. Mereka harus berangkat paling lambat pukul sembilan, jika tidak ingin terlambat.

Damar bermaksud menanyakan apakah Aruna akan menghadiri pesta itu. Ia tidak akan memaksa Aruna pergi setelah pertengkaran mereka semalam. Lebih baik menahan diri dari kemungkinan membuat masalah baru. Ia tidak lagi terpikir untuk menyalahkan siapa-siapa tentang semalam. Ia berusaha melupakannya dan memilih fokus menyiapkan diri sebelum pergi ke lokasi pesta pernikahan Rizki.

Aruna keluar dari kamar mandi, mengenakan bathtrobe dan rambut tergelung menghindari basah. Damar tidak perlu memerhatikan lebih intens untuk menyadari kedua mata Aruna yang agak bengkak. Aruna duduk di depan meja rias dan mulai membersihkan wajahnya dengan kapas sebelum mengoleskan krim di kedua pipinya, berikut dahi, hidung dan dagunya hingga merata. Damar bukannya sengaja memerhatikan. Ia hanya...pikirannya buyar, lupa jika ia harus segera mandi.

Damar menyelesaikan aktivitas mandi tanpa berlama-lama di dalam kamar mandi. Sambil menggosok gigi, ia kembali memikirkan bagaimana menghadapi Aruna sebelum mereka berangkat ke pesta.

Apakah ia yang terlebih dulu meminta maaf?

Saat keluar dari kamar mandi, Aruna tengah mencoba pakaian pestanya. Sebuah kebaya brokat modern berwarna pink lembut yang dipasangkan dengan sarung bernuansa gradasi biru, ungu dan pink.

Aruna akan menghadiri pesta bersamanya?

Memang itu rencana awalnya, jadi mengapa ia harus terkejut?

Tidak. Bukan begitu.

Damar hanya tidak menyangka, setelah insiden semalam, Aruna masih mau berinisiatif menghadiri pesta itu. Mereka akan berangkat bersama, jadi sebaiknya mereka secepatnya berbaikan.

"Saya sebenarnya nggak mau ngungkit yang semalam. Tapi, kalau kamu sedang kesal, saya mohon jangan pergi begitu saja."

"Gue udah pernah bilang, kalo gue pergi, nggak usah dipikirin. Nggak usah dicari."

Damar tidak mungkin lupa.

"Saya nggak berusaha mencari kamu semalam. Tapi saya nggak tidur nungguin kamu. Berharap kamu ngirim pesan atau menelepon, mengabari kamu ada di mana."

Menunggu bukan pekerjaan yang menyenangkan. Melelahkan. Sebab tanpa kepastian. Tanpa kejelasan. Benak selalu dipenuhi tanya yang tidak mau pergi. Menghadirkan keresahan yang tidak berujung.

Menyedihkan, mengingat kekhawatiran yang Damar rasakan tidak pernah dipedulikan oleh Aruna. Karena Aruna selalu bertindak sesuka hati, sesuai yang ia kehendaki. kalaupun ada satu hal di dunia ini yang membuat Aruna peduli, ialah kepedulian pada dirinya sendiri.

Benar-benar tipikal egosentris.

"Gue pergi ke tempat yang gue suka."

Pandangan Aruna menerawang ke arah dinding di hadapannya.

"Gue ke alun-alun Kidul. Abis itu gue nginap di hotel yang nggak jauh dari situ." Aruna berhenti sejenak. "Gue akan selalu baik-baik aja. Gue pergi ke mana-mana seorang diri, juga nggak masalah buat gue. Sendiri, bikin gue nggak perlu nyusahin orang lain. Gue bisa bebas."

"Hal yang terjadi semalam bukan hal besar yang harus membuat kamu pergi."

Aruna menggeleng. "Lo nggak akan ngerti. Karena lo memang nggak tau apa-apa tentang gue. Hal yang menurut lo kecil, bisa berarti besar buat gue. Lo seharusnya bersyukur, lo nggak pernah ada di posisi gue."

Damar terdiam. Bukan karena ia mengaku kalah beradu argumen. Namun, ia menyaksikan sendiri Aruna menarik napas dalam-dalam, seolah tengah menanggung beban berat. Hal itu membuatnya tidak ingin berbicara apa-apa lagi, untuk sementara.

"Yang lo lihat gimana keras kepalanya gue. Tapi lo nggak akan bisa melihat di dalam diri gue, perasaan yang udah lama hancur. Hingga kadang gue berpikir, apa yang gue punya saat ini, bukan gue, bukan milik gue, bukan tempat gue." Aruna mengerjapkan matanya. Menarik napas dalam berkali-kali.

Damar merasa tersentuh, ingin memberinya paling tidak sebuah pelukan hangat. Ia tidak memahami apa yang Aruna maksud. Namun yang ia pahami adalah sebuah kesedihan yang tidak ingin Aruna tunjukkan, tetapi aura kesedihan itu tanpa ia sadari menyelusup ke dalam relung hatinya.

Mengapa ia mulai berpikir jika masa lalu Aruna tidak bahagia? 

***

Akhirnyaa update lagi ya kaan??? Bagaimana pendapat kalian tentang part ini?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top

Tags: #marriage