stray

Aku tidak percaya kalau kasih sayang Tuhan itu nyata.

Mungkin, aku pernah belajar untuk menyayangi diriku sendiri, atau menyayangi orang yang kucintai, atau hewan-hewan terlantar, atau tumbuhan layu. Mungkin juga menyayangi kenangan lapuk di meja tua, atau makanan sisa di tong sampah, atau pigura keluarga.

Aha, pigura keluarga.

Ketika kau memberi dengan ketulusan, kau tidak mengharapkan apa-apa selain, "Semoga ini bisa bertahan lebih lama."

Tuhan mungkin begitu cemburu dengan kasih sayang yang kuberikan, sehingga Ia mengambil semuanya. Tanpa sisa.

Seorang kawan pernah berkata, "Bukan begitu cara main Semesta."

Kami berkawan baik, nyaris seperti saudara sendiri. Awalnya kami sama-sama memiliki kesan pertama yang buruk terhadap satu sama lain ketika kali pertama bertemu. Dia menganggapku sebagai bocah suram menakutkan, sementara aku menganggapnya bocah tengil menjengkelkan.

Tetapi waktu itu kami masih terlalu muda untuk saling membenci. Bahkan ketika memilih untuk tidak bertemu lagi, selalu ada kejadian yang mempertemukan kami. Jadi, daripada membuang-buang tenaga, apa salah mencoba saling memahami. Ternyata, berkawan dengannya tidaklah buruk. Sampai menginjak usia dewasa, kami masih saling peduli.

Kawanku ini adalah sosok yang agamis. Wajar saja dia marah ketika aku mempertanyakan kuasa Tuhan. Beberapa kali kami terlibat pertengkaran, dan selalu berakhir enggan melanjutkan. Kami sadar, tali pertemanan ini begitu berharga. Sebaiknya tidak usah macam-macam agar tidak putus. Aku tahu dia selalu berusaha memahami pandanganku mengenai Tuhan. Aku juga berusaha memahami ketika dia menjelaskan.

Entahlah, mungkin aku hanya enggan untuk percaya.

Aku tidak ingin menjadi rapuh dan bersandar pada siapa pun lagi. Jika kasih sayang Tuhan itu nyata, lalu mengapa Dia memberiku penderitaan ini? Aku mencoba menahannya, tetapi aku sadar, sedari kecil aku tidak pernah memiliki masa kecil yang berbahagia. Aku tidak pernah mengenal makna keluarga.

Lalu aku bangkit dan mencoba hidup dengan mencintai seseorang. Saling memberi. Saling menjaga. Berbagi suka dan duka.

Lagi-lagi, semua itu diambil dariku.

Suara kawanku berbisik, "Bukan begitu cara main Semesta."

"Lalu bagaimana?"

"Aku sudah menjelaskannya padamu. Kau mau aku menjelaskan lagi? Apa kau tidak bosan? Ah, kau bukannya bosan. Kau mencari jawaban lain."

"Entahlah, Ji. Aku tersesat."

"Betul, kau adalah domba yang tersesat."

Sejak kapan dia mudah menghakimiku? Jika dia tertawa di atas penderitaan orang lain, kedengarannya tak masuk akal. Dia bukan orang yang seperti itu. Jika aku menyuruhnya pergi, kupikir dengan senang hati dia akan pergi. Konyol. Aku tak tahu apa yang kupikirkan.

"Jawaban seperti apa yang ingin kau dengar?"

"Jawaban yang ingin aku dengar?"

"Kau hanya ingin seseorang memvalidasi perasaanmu."

Aku terdiam begitu menyadari nada bicaranya berubah. Sejauh yang kuingat, obrolan ini tidak pernah terjadi. Apakah aku bermimpi? Apakah aku berhalusinasi? Apakah ini nyata?

Apakah ini akan menjadi akhir dari pertemanan kami? Tidak mungkin. Kami pernah bertengkar hebat sebelumnya, lebih dari sekadar membicarakan Tuhan. Mungkin soal uang. Mungkin soal kuasa. Tetapi tidak ada yang sampai menghancurkan kami. Kami bertengkar, lalu kembali seperti sedia kala. Seolah pertengkaran hebat tidak pernah terjadi. Seolah hasrat saling membenci tidak pernah terlintas.

Kupikir, begitulah rumitnya menjadi manusia. Tetap memelihara hubungan yang bisa saja menusukmu dalam diam.

Jika ke mana pun aku mencari, seluruh tanda tanyaku tidak pernah terjawab, kupikir, mungkin sudah saatnya giliranku pergi. Giliranku yang meninggalkan segalanya, meninggalkan kesedihan, juga kenangan.

Lagi, suara kawanku berbisik halus di telinga, "Bukan begitu cara main Semesta."

[]

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top