8. Malam yang Tenang
Seharian penuh berkeliling Jakarta telah usai, kini malam menyambut dengan pancaran cahaya dari bangunan-bangunan menjulang tinggi sebagai penerang. Langit malam gelap gulita, tak menyisakan bintang satu pun. Wajar saja semua terjadi karena polusi cahaya yang tinggi, sehingga sulit menatap bintang di kota besar. Bahkan di Surabaya pun hanya di beberapa tempat saja masih bisa memandang bintang.
Angin dingin berhembus menerpa tubuh Carissa yang tengah berdiri di restoran lantai atas dengan konsep indoor dan outdoor. Carissa memilih outdoor pun menggigil kedinginan. Ia menghangatkan tubuh dengan menggosok kedua telapak tangan.
"Lagi pula kenapa kamu mengajakku kemari?" Lintang baru saja tiba, membawa jaket.
"Enggak apa-apa 'kan fasilitas hotel, ditambah di kamar aku tidak bisa tidur." Carissa tersenyum simpul, kembali memandang bangunan-bangunan yang berdiri cukup jauh dari hotel.
Lintang hanya mengedikkan bahu, mendekat pada Carissa. Ia pun mengenakan jaket yang dibawa pada Carissa. "Kamu ini benar-benar menyiksa diri ya, sudah tahu kalau udara malam itu dingin, tapi kamu malah enggak pakai jaket."
Hanya membalas dengan menggaruk kepala dan terkekeh. "Habisnya kupikir Jakarta bakal panas."
Lintang mengambil tempat duduk di hadapan Carissa. Lengang menyelimuti mereka sembari memandang gemerlapan bangunan di malam hari. Walau membawa buku catatan yang berisikan cerita pendek, nyatanya Carissa belum membuka sama sekali buku itu.
Melirik buku itu, Lintang pun mulai membuka mulut. "Sudah menemukan ide?"
"Hari ini kamu sudah bertanya dua kali soal itu," balas Carissa singkat.
Benar juga ya, pikir Lintang baru teringat. Kalau sedang kehabisan topik seperti saat ini, ia benar-benar kebingungan ingin membahas apa. Lalu, kenapa Carissa mengajak Lintang kemari? Meski begitu, Lintang tak keberatan melanjutkan menonton bangunan bercahaya. Dipikir kembali ternyata indah juga.
Perlahan Lintang mulai bisa menikmati pemandangan. Setidaknya bisa meredakan pikiran meski berada di kota besar. Terdengar dering ponsel singkat, segera Lintang merogoh saku ponsel. Sebuah pesan masuk dari sepupunya, ia membuka pesan lalu membalasnya.
"Car, coba buka ponselmu, aku mengirim sesuatu untukmu." Lintang mematikan ponsel, menopang dagu.
Menuruti ucapan Lintang, Carissa menyalakan ponsel. Sebuah notifikasi masuk dari Lintang. Ponselnya memang sengaja di silent untuk menikmati ketenangan di momen-momen tertentu.
Pada layar ponsel Carissa muncul sebuah pamflet mengenai kompetisi menulis novel. Ia mengangkat wajah memandang Lintang.
"Ada kompetisi novel sebentar lagi. Pendaftaranya akan berakhir dalam seminggu. Kompetisi baru dimulai pada bulan depan," kata Lintang menjelaskan lomba itu.
"Tapi aku belum pernah membuat novel."
"Setidaknya yang satu ini bisa jadi batu loncatanmu. Kamu ingin jadi sastrawan 'kan?" Lintang bertanya kembali memastikan.
Namun, Carissa tertunduk mendengar pertanyaan Lintang. "Meski aku pernah menang dalam lomba cerpen, tapi kalau tiba-tiba ikut lomba novel aku takut—"
"Setidaknya kamu hanya perlu mencoba," potong Lintang mengubah posisi duduk menghadap Carissa. Sorot bola mata serius memandangnya. "Aku tahu orang tuamu melarangmu untuk menjadi sastrawan, tapi yang kamu butuhkan adalah pembuktian kalau kamu memang berpotensi di sana."
"Tapi bagaimana jika gagal? Bagaimana jika aku kalah dan mereka malah melarangku untuk menulis cerita-cerita lagi?"
Pertanyaan Carissa rasanya sulit untuk dijawab oleh Lintang. Berat juga meyakinkan orang tua Carissa. Padahal aku hanya ingin kamu mewujudkan impianmu.
Tiba-tiba saja terlintas sesuatu di benak Lintang. Kembali teringat masa-masa saat ia tak bisa bermain sepak bola lagi.
***
Ketua klub sepak bola datang menjenguk Lintang seorang diri di rumah sakit. Lelaki itu cukup tinggi, bahkan lebih tinggi dari Lintang.
Ia duduk di samping Lintang berbaring. "Kecelakaan itu, aku benar-benar minta maaf."
"Untuk apa kak Ilham minta maaf?" Lintang melontarkan pertanyaan.
Ketua klub sepak bola itu, Ilham tertunduk. "Tetap saja kejadian itu menjadi tanggung jawabku sebagai ketua, walau aku tak bisa melakukan apa pun."
Lintang tak membalas ucapan Ilham.
"Meski kamu tak bisa sepak bola lagi, kamu masih menjadi bagian dari kami. Kamu keluar atau tidak itu adalah keputusanmu," lanjut Ilham.
Lintang mengangguk samar. "Sebenarnya aku sedang memikirkan hal baru yang ingin kulakukan, tapi aku ragu apakah bisa melakukan hal baru itu? Bagaimana jika aku tak bisa menemukan hal baru itu?"
"Setidaknya dicoba terlebih dahulu," balas Ilham, "memang hal baru kalau tidak kita coba, kita tidak akan tahu hasilnya dan tidak bergerak sama sekali. Setidaknya banyak hal baru yang mungkin ingin kamu coba. Risiko buruknya akan besar, tetapi setidaknya kamu bisa nyaman dengan hal baru itu."
***
Benar saja, percakapan saat itu masih tersimpan dalam memori di kepala Lintang. Kini ia mengangguk paham. Meski berbeda, tetapi intinya sama. Mencoba terlebih dahulu hingga tahu hasilnya.
"Lebih baik kita kalah," ucap Lintang tiba-tiba.
Carissa memasang raut wajah bingung. "A-apa maksudmu?"
"Seseorang pernah mengatakan padaku, setidaknya kita harus mencoba hingga tahu hasilnya. Sebenarnya sangat berisiko buruk, tapi tidak ada jalan lain lagi."
Hening menyelimuti mereka berdua, angin kembali bertiup kali ini dingin menusuk membuat tubuh Lintang semakin menggigil padahal ia sudah mengenakan jaket.
"Mungkin orang itu benar, aku hanya perlu mencoba. Kuharap aku bisa membuktikannya."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top