5. Keputusan yang Bulat

Kembali ke masa kini, usai berakhir pekan yang menyenangkan. Semua kembali seperti sedia kala. Masuk hari senin ke sekolah, mengikuti pelajaran. Aktivitas normal seperti hari-hari sebelumnya.

"Kamu yakin ingin mendukungnya?" tanya lelaki sepantaran dengan Lintang sembari memegang botol kopi yang dibeli dari kantin.

Mereka berada di rooftop sekolah. Bersandar di pagar pembatas.

"Mungkin," balas Lintang ragu-ragu. "Aku tidak tahu harus seperti apa mendukungnya."

"Memberinya pujian sebenarnya sudah lebih dari cukup sih." Lelaki bernama Gema pun mengedikkan bahu. "Walau mungkin beberapa tidak cukup sih."

Lintang tak merespon tanggapan Gema, memilih melanjutkan memandang bangunan yang menjulang tinggi jauh dari sini.

"Tapi, kamu punya alasan enggak, kenapa harus dukung dia?" lanjut Gema.

Kalau diingat-ingat kembali, itu sudah terjadi setahun yang lalu, lebih tepatnya sewaktu Lintang dinyatakan tak bisa bermain sepak bola lagi.

***

Setahun yang lalu ....

Tak bisa menghadiri kelas, Lintang hanya berdiam diri sembari berbaring di atas kasur. Kakinya telah diselimuti oleh gipnasium setelah menjalani operasi. Tatapannya hanya tertuju pada pemandangan berupa gedung-gedung dari balik jendela. Namun, soal perasaan tak bisa dibohongi. Amarah masih melunjak tinggi akibat seseorang menjegal dengan keras membuat dirinya mengalami luka.

Walau sosok yang menjegal itu sudah melayangkan permintaan maaf, tetapi tetap saja segalanya hancur lebur bagaikan patung yang hancur akibat salah memahat. Lintang menerima permintaan maaf itu, tetapi ia tak bisa melupakan kesalahan sosok yang membuatnya seperti ini.

Terdengar ketukan pintu dari luar, membuyarkan lamunan Lintang. "Masuk," ucapnya.

Sosok perempuan memasuki ruangan sembari membawa kantung plastik berisikan cemilan. Perempuan itu, Carissa yang masih mengenakan seragam putih dan abu-abu. Tampaknya baru pulang dari sekolah langsung mampir kemari.

"Ternyata kamu toh, padahal sudah kubilang enggak perlu repot-repot datang kemari." Lintang menyeringai.

Menghela napas panjang, seolah Carissa sebal dengan kelakuan Lintang. "Astaga kamu ini, semua temanmu sudah menjenguk, masa aku enggak boleh menjengukmu?"

Lintang membalas dengan senyum tipis.

"Omong-omong aku bawa camilan dan buah untukmu."

Perlahan, Carissa mengupas buah apel yang dibeli dari supermarket. Menyuapinya pada Lintang yang tengah duduk sembari memandang Carissa mengiris kulit.

"Kenapa jadi perhatian gini?" Lintang tiba-tiba bertanya.

"Diam saja deh." Sorot mata Carissa melirik tajam ke arah Lintang, membuatnya sedikit begidik. Apa lagi Carissa membawa pisau, tak lucu juga jika nanti pisau itu disodorkan tepat di depan wajahnya.

Potongan apel terakhir diberikan ke mulut Lintang. "Baik itu yang terakhir."

"Terima kasih," ucap Lintang, "bagaimana kabar di sekolah?"

"Sama seperti biasa, teman-teman sekelas sering membicarakanmu belakangan. Itu juga yang enggak bikin aku betah. Awalnya aku enggak ingin kemari."

Kejam amat, celetuk umpatan dari benak Lintang.

"Tapi karena itu juga, aku jadi ingin menjengukmu. Pasti enak ya punya banyak teman."

"Dibilang enak juga enggak sih, malah aku ingin sepertimu. Sendirian, enggak ada yang ganggu sama sekali, asyik menulis cerita di pojokan."

Carissa memicingkan mata, "Jadi kamu memerhatikanku setiap hari?"

"Enggak diperhatikan pun, kayaknya aku sudah langsung sadar sih." Setidaknya Lintang bisa menepis pertanyaan yang mematikan itu. "Intinya sih, kadang populer di sekolah juga belum tentu asyik," lanjut Lintang mengangkat kedua bahu. "Apa lagi sekarang, aku sudah tidak bisa bermain bola kembali, jadi aku belum tahu apa yang ingin kulakukan besok."

"Aku minta maaf soal itu," ucapnya perlahan. Carissa memandang ke jendela luar. Langit sudah semakin padam, mentari perlahan mulai terbenam sempurna di luar sana. "Sudah hampir malam, aku harus pulang." Carisaa berdiri, mengambil tas yang ada di samping.

"Besok kamu mau ke sini lagi?" tanya Lintang.

"Enggak, memangnya kenapa?"

"Kupikir mau ke sini lagi." Lintang menggaruk kepala yang tak gatal. "Aku sedikit kesepian di sini." Ia tertawa tipis dengan ucapan barusan.

Menghembuskan napas panjang, Carissa tahu ke mana arah pembicaraan ini. Rasanya tak mungkin juga setiap hari kemari hanya untuk menjenguk. Meski begitu, ia mengangguk. "Akan kuusahakan. Sampai bertemu besok."

Setelahnya sampai Lintang keluar dari rumah sakit, Carissa sering menjenguk, meski tak setiap hari. Bahkan pernah suatu momen orang tua Lintang bertemu dengan Carissa. Membuat suasana makin canggung awalnya, hingga ibu Lintang berhasil mencairkan suasana sambil menunjukkan foto Lintang saat masih anak-anak.

Saat memandang foto itu, Carissa membandingkan dengan wajah saat ini. "Perbedaan yang cukup jauh." Ia tertawa lepas.

Itu pertama kalinya Lintang memandang Carissa tertawa lepas. Aku ingin melindungi senyumannya, seperti itu yang terucap di benak Lintang. Sampai saat ini pun keinginannya masih digenggamnya dengan erat.

***

"Jadi begitu ya?" tanya Gema usai Lintang menceritakan masa lalunya bersama Carissa. "Alasanmu karena ingin melindungi senyumannya. Terkesan konyol sih, seperti cerita-cerita anime saja, tapi setidaknya masih lebih baik punya alasan dari pada tidak sama sekali." Gema menepuk pundak Lintang. "Jadi ada yang bisa kubantu?"

Lintang tersenyum tipis, satu hal yang ia inginkan ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top