3. Akhir Pekan
Tiba hari sabtu, sesuai janji Lintang yang bakal menjemput Carissa di rumah. Keberuntungan memihaknya, sang ayah yang paling ditakuti oleh Lintang pun tengah dinas ke luar kota. Tak ada lagi pertanyaan yang mendalam atau mengguncangkan kedekatan mereka.
Balai Pemuda, sebuah kawasan di Kota Surabaya yang dekat dengan balai kota. Memiliki arsitektur khas bangunan Belanda lama. Meski sudah tua, tetapi bangunan masih tetap kokoh berdiri. Mengalami renovasi pun tetap tak menghilangkan ciri khas.
Carissa duduk di pelataran depan perpustakaan dengan buku catatan yang berisikan cerita-cerita pendek miliknya. Menampilkan lembaran kosong dengan pena yang sedari tadi di ketuk-ketuk di bawah dagu. Lintang pun demikian duduk di samping, sembari mempersiapkan kamera yang dikenakan, berulang kali memandang layar digital, mengatur ISO, shutter speed, dan apperture.
Kelihatannya sudah pas. Lintang segera berdiri dari tempat duduk. Mengambil gambar bangunan yang ada di sebrang. Merupakan bangunan Hall dengan gaya khas arsitektur Belanda lama. Kini ia mengatur angle untuk mendapatkan sudut yang tepat. Ketika merasakan sudah tepat, Lintang menekan tombol ambil gambar.
Saat tengah memandang foto itu, rasanya masih ada yang kurang. Ia hendak kembali duduk di samping Carissa. Namun, saat berbalik, Lintang memandang sahabat dekatnya mulai menulis dengan anggun. Diam-diam ia mengambil gambar dengan angle yang tepat. Tersenyum saat gambar yang diambil mendapatkan sudut yang tepat.
"Kelihatannya kamu sudah dapat ide ya, Car," celetuk Lintang membuat Carissa henti menulis.
"Mungkin saja, tapi yang ini kamu enggak boleh baca!" ucapnya sembari memeluk buku itu erat-erat.
Lintang hanya membalas tersenyum, kembali ke pelataran dan duduk di samping Carissa. Saat Lintang tengah asyik memandang foto di kamera, Carissa melirik. "Boleh aku lihat?"
"Kalau yang saat ini enggak boleh," balasnya menjulurkan lidah.
Tatapan antusias Carissa berubah menjadi datar. Seolah apa yang dibalasnya merupakan sindiran Lintang.
Hampir satu jam di sana, Lintang berulang kali mengambil gambar, tetapi raut wajahnya menjadi lebih sebal. Kehabisan ide saat mengambil sudut gambar yang tepat. Ia menghela napas lesu, mematikan kamera.
"Ingin pergi ke mana setelah ini?" tanya Lintang dengan lesu.
"Entahlah."
"Mau pulang?"
Carissa menopang dagu. "Aku juga tidak tahu mau ngapain di rumah. Bosan juga kalau di rumah."
Lintang tak membalas, menyelonjorkan kaki. Tatapan tertuju ke angkasa yang berwarna biru bersih tanpa ada awan yang bergelantungan. "Kalau ke TP (Tunjungan Plaza) mau enggak nih, sekalian cari makan siang?"
"Ke mal? Memangnya enggak kemahalan makan siang di sana?"
Lintang menyeringai. "Enggak masalah kalau sekali-sekali." Ia bangkit dari tempat duduk.
Perjalanan menuju Tunjungan Plaza cukup dekat walau mengambil jalan memutar. Hampir mendekati Tunjungan, kendaraan-kendaraan mulai memadati area itu. Ditambah suhu yang begitu panas, sering membuat Lintang mengeluh.
Namun, hanya beberapa saat mereka tiba di Tunjungan Plaza. Pada akhir pekan ditambah jam makan siang seperti saat ini pastinya sudah dipadati pengunjung. Lebih parah lagi ada event yang digelar di TP 3 membuat pengunjung semakin memadati mal.
Mendapatkan bangku saja di saat ramai seperti ini saja sudah melegakan. Lintang menjatuhkan kepala di atas meja, bernapas lega.
"Kita belum pesan nih, kamu mau pesan apa?"
"Apa saja deh, kamu mau pesan apa memangnya?"
Melirik sekitar, bola mata Carissa terhenti pada satu counter. "Yoshinoya mungkin."
Lintang mengangguk.
Bangkit dari tempat duduk Carissa pun melangkah menuju Yoshinoya. Karena counter itu satu-satunya yang tidak terlalu dipadati pengunjung.
Makan siang berakhir dengan lega. Melanjutkan keliling tanpa arah. Kadang mampir ke toko aksesoris dengan gantungan yang menggemaskan. Berlanjut ke toko buku, melihat berbagai buku yang terpajang dengan rapih di rak.
Pada meja bertuliskan new arrival, Carissa memandang beberapa judul di atas meja. Kebanyakan light novel bermunculan dengan gambar anime. Mungkin sedang naik daun belakangan ini.
Lintang entah ke mana sudah berkeliling memasuki area rak buku pendidikan.
Saat hendak mengambil salah satu judul yang terpajang, muncul tangan dari sisi kanan Carissa yang hendak mengambil judul itu.
Sontak ia menaikkan pandangan, rupanya seorang gadis seumuran dengan Carissa dengan rambut hitam panjang sepunggung.
"Kamu mau ambil judul itu?" tanya sang gadis.
"Enggak kok, hanya ingin melihat, kalau kamu ingin ambil silakan." Carissa memasang senyuman ramah.
Gadis itu mengambil judul yang di maksud, sembari mengucapkan terima kasih. Namun, lelaki di belakangnya segera memanggil nama gadis itu. "Elaina, kamu sudah dapat bukunya belum?"
"Ah iya sudah." Gadis bernama Elaina itu berbalik meninggalkan Carissa.
Omong-omong di mana Lintang sekarang? Carissa bertanya-tanya, sampai saat ini Lintang masih belum kembali. Ia memutuskan untuk mencari dengan berkeliling.
Saat mengitari setiap rak, Carissa selalu membayangkan suatu saat buku yang ditulis terpajang di rak toko buku. Seandainya saja mendapat dukungan dari keluarga mungkin ia sudah bersemangat untuk menulis buku.
Jangankan menulis buku, menulis cerita pendek di rumah saja sering membuat Carissa kena cibiran sang ayah yang dianggap bukan pekerjaan. Menyebalkan, celetuknya dalam hati.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top