10. Jalani dengan Santai
"Aku tidak tahu harus bagaimana?" Lintang menghela napas panjang di atas rooftop. Angin menderu mengibaskan rambut kedua lelaki itu.
"Kamu kenal dekat dengan Carissa, harusnya bisa menghentikannya." Gema membalas sembari meremukkan plastik. "Sesuatu yang berlebihan terkadang tidak baik, kawan."
Sudah hampir seminggu, Carissa selalu fokus pada laptop di saat-saat seperti ini. Wajar sih kalau ia memang sedang fokus pada kompetisi. Seolah sikap Carissa sedikit berubah dari biasanya.
Sosoknya yang selalu menjadi teman bicara Lintang di kelas, kini telah sirna perlahan. Meski begitu, hati terdalam Lintang sedikit terguncang. Namun, di sisi lain, ia tak bisa meninggalkan Carissa begitu saja. Tekadnya ingin melindungi impian Carissa itu masih tersisa dalam benak. Tak bisa sirna begitu saja.
Apa yang diucapkan Gema memang ada benarnya. Wajah Lintang kini berkerut.
"Ada apa?" tanya Gema menaikkan alis.
Lintang hanya menggeleng. "Enggak ada apa-apa kok."
***
Membaca buku sembari menopang dagu, Lintang menguap lebar. Karena tak ada yang bisa dilakukan saat ini, jadinya membaca jadi opsi paling terakhir. Jam kali ini guru yang mengajar tengah pergi dinas ke luar kota, alhasil jam kosong yang paling dinanti-nantikan pun telah tiba.
Sebagian siswa menyelinap keluar dari kelas ke berbagai tempat dituju, toiler atau kantin. Dua tempat itu yang sering jadi tujuan para siswa.
Tak ada informasi tugas yang muncul, malah semakin membuat jam kosong semakin bermakna. Walau terkadang ada guru killer yang akan masuk untuk melakukan pemeriksaan. Sangat menyebalkan bagi Lintang.
Tengah fokus membaca, ketukan papan ketik kian mengeras dan cepat. Segera Lintang menoleh ke samping, wajah Carissa mengerut sembari menatap lurus pada layar laptop.
Lintang bangkit dari tempat duduk, menghampiri Carissa. Ia turut membaca naskah yang ditulis Carissa. "Semakin cepat, berarti idemu yang semakin mengalir deras?"
Hanya mendapat respon anggukan Carissa. Kembali fokus menulis cerita. Tiba-tiba sangat lengah, Lintang membelai rambut Carissa. Tangannya berhenti mengetik, menoleh ke belakang.
"A-apa yang kamu lakukan?" wajah Carissa memerah merona.
"Kenapa memangnya?" Lintang memiringkan kepala.
"Yang tadi, kenapa kok langsung 'tap tap' kepalaku?"
"Oh kamu enggak mau?"
Carissa pun terdiam sembari menunduk, menarik napas panjang lalu menghembuskannya. "Entahlah." Degup jantung Carissa berdetak kencang. Ia pun kembali menekan papan ketik.
"Santai saja, kamu tidak perlu terburu-buru, lagi pula masih akhir bulan 'kan?"
Carissa mengangguk samar.
Lintang kembali ke tempat duduknya, hendak melanjutkan baca buku. Namun, sebelum benar-benar duduk, Carissa memanggilnya, "Lintang, sabtu nanti kamu mau temani aku ke perpustakaan Balai Pemuda? T-tapi kali ini kamu boleh t-tunggu di depan gang."
Mendengar permintaan Carissa, Lintang mengangguk. "Baiklah kalau begitu." Setelahnya ia mengambil buku, melanjutkan kegiatan membaca di saat jam kosong seperti ini.
***
Menguap lebar, memarkirkan sepeda motor di depan gang rumah Carissa. Mata Lintang sayu, mulai terbentuk mata panda akibat kurang tidur. Ia lupa kalau hari sabtu ini ada janji untuk mengantar Carissa ke Balai Pemuda.
Carissa melangkah keluar, menutup pintu pagar menghampiri Lintang yang telah menanti di depan sana. Namun, saat jarak mereka kian dekat, Carissa menyadari mata Lintang sayu dan kantung mata mulai menghitam.
"Tidur larut malam?" tanya Carissa.
"Aku lupa kalau kamu minta ke Balai Pemuda hari ini." Lintang membalas dengan menguap.
Pipi Lintang mengembang seperti balon, ia pun mengenakan helm, menaiki sepeda motor. Motor melaju memasuki jalan raya yang perlahan mulai padat di sabtu pagi. Waktu libur seperti ini paling banyak yang ingin menghabiskan waktu di rumah seorang diri tanpa melakukan apa pun, termasuk Lintang yang berniat malas-malasan dan enggan mengambil foto untuk latihan.
"Bagaimana lombamu?" Lintang bertanya.
"Masih buntu, aku tidak tahu mau dibawa ke mana tokohku. Aku sudah mencoba mengonsep ulang, tapi tetap saja buntu."
"Begitu ya, pantas saja tidak seperti biasanya."
"Seperti biasanya?" tanya Carissa memiringkan kepala. "Maksudnya seperti apa?"
Lintang hanya menghembuskan napas panjang walau tak terdengar karena deru angin yang begitu kencang menerpa saat mereka melintas.
"Enggak jadi deh."
Carissa semakin mengembangkan pipi dan memajukan bibir.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top