DWC 1 - Pintu Ketiga Belas
Prompt 1: buat cerita dengan awalan "Pagi ini, aku dibangunkan oleh ...."
*
Pagi ini, aku dibangunkan oleh sebuah mimpi tentang seorang perempuan. Ketika aku melihat ke arah kananku, aku menemukan saudaraku juga terbangun dengan ekspresi tertegun yang sama.
“Seorang perempuan yang kehilangan anaknya?” tanyaku.
Saudaraku itu mengangguk.
Kami memang selalu, ya, selalu, memimpikan hal yang sama. Saudaraku itu kemudian beranjak ke satu-satunya meja yang ada di kamar kami dan mulai mengatur mesin tik. Mimpi-mimpi yang kami alami harus segera ditulis, atau kalau tidak, kamu akan memimpikan hal yang sama berulang-ulang sampai jengah.
Jadi, inilah cerita tentang seorang perempuan, sebuah kebohongan, dan sebuah pintu yang dilarang untuk dibuka: pintu ketigabelas.
*
Alkisah ada seorang penebang kayu dan istrinya yang memiliki seorang anak perempuan—yang kini sedang ditutup matanya dengan sebuah kain dan diajak berjalan ke tengah hutan.
Mereka hendak menunjukkan sebuah gubuk di tengah hutan di mana di dalamnya, sang istri sudah memasak berbagai hidangan daging rusa yang lezat, yang tentu saja, itu adalah sebuah kebohongan belaka.
Faktanya mereka akan meninggalkan anak mereka di gubuk tua yang reot dan tidak berpenghuni, kemudian, mereka tidak berani melanjutkan angan-angan mereka tentang apa yang bakal terjadi selanjutnya terhadap anak mereka.
“Sudah sampai?” tanya bocah itu?
“Sebentar lagi,” jawab ayahnya dengan riang.
Ibunya pun hanya tersenyum sambil mengelus perutnya.
Baru beberapa langkah sebelum mencapai gubuk yang mereka maksud, sang penebang kayu dan istrinya terkejut bukan main, bahkan sang suami sampai jatuh terlutut saat melihat sebuah sinar yang hangat, terang, tetapi tidak menyilaukan ada di depan matanya.
Sinar itu menyelimuti seorang perempuan paruh baya yang kepalanya ditutupi oleh sebuah kain yang menjuntai panjang sampai menyentuh mata kakinya.
“Jangan melakukan ini,” ujar perempuan itu.
“Oh, Maria, ampuni kami,” ujar si istri yang kini menangis terisak.
Anak mereka itu hanya menoleh kebingungan tak tau arah, kenapa mereka tidak berjalan dan kenapa ibunya menangis.
“Kami tidak bisa memberi makan anak kami.” Kini sang suami yang berbicara, kali ini juga sambil tersedu-sedan.
Namun, wanita bercahaya yang ada di depannya itu hanya tersenyum tipis.
“Biar aku yang akan merawat anak kalian. Jangan khawatir, ia akan aku rawat seperti anakku sendiri.”
Mendengar hal itu, si penebang kayu dan istrinya makin menangis, entah penuh dengan rasa haru, syukur, atau sedih karena mereka harus kehilangan anak yang mereka perjuangkan untuk hidup.
Saat Maria, si perempuan bercahaya itu mendekati mereka, mereka menyambut tangan perempuan suci tersebut dan menyerahkan anak mereka.
Si istri memeluk anaknya.
“Kita sudah sampai, tapi jangan buka kain penutup matamu, ya! Nanti akan ada yang membukakannya untukmu.”
Si anak mengangguk meski di kepalanya penuh dengan kebingungan, mengapa ia tetap harus menutup matanya? Siapa yang akan membuka penutup matanya? Kenapa ibunya berbicara seperti itu?
Kemudian bocah perempuan itu merasakan ada yang menggamit tangannya dengan lembut, kulitnya hangat seperti disentuh oleh matahari di musim semi.
Lalu, mereka pun kembali berjalan.
Bocah perempuan itu kemudian mendengar suara derit pintu yang dibuka, lalu ditutup dengan pelan di belakangnya.
“Nah, mari kita buka penutup matamu, pelan-pelan.”
Suara siapa, batin bocah tersebut.
Namun, pertanyaannya langsung sirna begitu melihat bahwa ia berada di dalam sebuah ruangan berdinding batu marmer yang berkilauan, lengkap dengan banyaknya makanan di sana.
Singkat cerita, bocah tersebut kemudian memanggil seorang perempuan yang bersinar di depannya sebagai “Ibu Maria”, dan mengakui perempuan tersebut sebagai ibunda angkatnya.
“Nah,” perempuan tersebut berlutut, menyejajarkan pandangan matanya, “aku akan memberimu sebuah kunci ini. Tiap tahunnya, kamu bisa berkeliling di setiap ruangan di gubuk ini, jumlahnya ada di belas ruangan.”
Maria terdiam sejenak.
“Sebenarnya, tiga belas ruangan. Tapi, kamu hanya boleh membuka 12 ruangan. Kamu mengerti, Nak?” tanya Maria.
Bocah kecil itu mengangguk. Kini ia menghabiskan masa kecilnya di gubuk indah tersebut, dan setiap tahunnya ia akan berkeliling di ruangan-ruangan yang dimaksud dan bermain dengan setiap tuan-tuan bijak yang ada di balik pintu.
Ia tumbuh dengan pelajaran dan kebijakan yang diajarkan oleh Maria dan Tuan-tuan tersebut. Ia akrab dengan Tuan Peter, Tuan Andrew, Tuan John, dan lainnya.
Kini di ulang tahunnya yang ke 16 tahun, gadis itu berdiri di sebuah pintu—pintu ketiga belas di gubuk itu. Dengan senyum penuh antusias di wajahnya, gadis itu memasukkan kunci ke pintu dan memutarnya.
“Ah!” Gadis itu pun terperanjat saat cahaya yang sangat silau memenuhi penglihatannya.
Ia lalu menutup pintu dan menguncinya, saat itu juga ia mengetahui bahwa tangannya sudah berubah menjadi emas yang berkilauan.
Sekuat tenaga gadis itu menyembunyikan tangannya dari Ibunda Maria, tetapi, Ibunda suci itu tahu kebenarannya, lagipula kebohongan yang tampak nyata tersebut tidak dapat disembunyikan.
Kecewa dengan kebohongan dan tindakan pembangkangan tersebut, Ibunda Maria mengambil kemampuan berbicara anak angkatnya itu saat tertidur.
Esok paginya, si bocah yang sudah beranjak remaja itu terbangun di tengah hutan. Selama setahun ia tidak dapat mengeluarkan suara dan hanya makan-makanan yang ada di hutan, seperti hewan.
Bajunya pun menjadi compang-camping, bahkan hampir telanjang.
Saat itu juga, seorang pangeran menyelamatkan hidupnya, membawanya ke istana dan mereka pun menikah. Namun, di kelahiran pertamanya, tiba-tiba si bayi menghilang, dan sang Ibu sama sekali tidak tahu bayinya hilang ke mana.
Kejadian itu terus berulang sampai kehamilannya yang ketigabelas, hal tersebut membuat pangeran yang sudah menjadi raja murka dan menuduh bahwa istrinya adalah penyihir.
Karena tidak bisa bersuara, perempuan tersebut tidak bisa membela diri, dan ia tidak dapat selamat dari panasnya bara yang menyelimuti tubuhnya hingga menjadi abu.
Begitulah kisah seorang perempuan yang hidup dengan berbagai kebohongan dalam hidupnya.
*
“Itu seperti tidak adil. Bukankah Maria harusnya bisa menyelamatkan anak angkatnya?” tanya saudara kembarku.
“Maria?” tanyaku.
“Kau tidak melihatnya di mimpimu? Aku melihat Maria yang mengambil semua anak dari anak angkatnya.”
Aku tertegun, aku tidak melihat kelanjutan mimpi tersebut.
“Begitu? Apa yang beliau lakukan terhadap cucu-cucu angkatnya itu?”
Saudara kembarku—Jacob—melihat ke luar jendela kamar. “Mungkin dia merawatnya agar tidak jatuh dalam lubang kebohongan seperti ibunya.”
Aku melirik ke jendela, melihat seorang perempuan bertudung panjang, tubuhnya bercahaya, dan di sekelilingnya dikerumuni oleh 13 anak kecil.
“Semoga begitu,” ujarku.
Jacob kembali ke mesin tik dan menuliskan kata “TAMAT” di sana.
“Mari kita kembali bekerja, Wilhelm.”
Aku mengangguk, mengikutinya ke luar kamar.[]
*
Diceritakan ulang dari cerita Marienkind oleh Grimm Bersaudara.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top