A W A L
AKU cerdas, perkasa, abadi. Aku bagian dari anugerah semesta.
"Kru Falcon 9, kita akan lepas landas. Perhitungan mundur dimulai pada hitungan 10 ... 9 ... 8 ...7 ... 6 ...,"
Walaupun sudah selama lima tahun lamanya aku menjalani karantina, sebelum akhirnya dinyatakan lulus klasifikasi demi menjadi manusia selanjutnya yang berangkat menuju Mars--aku tetap saja mengecap keringat yang mulai berlomba keluar dari pori atas mulutku, rasa gugup itu mengembang seiring hitungan angka yang makin mengecil. Aria--satu-satunya dokter dalam kru ini--selalu berkata bahwa apa yang aku alami saat ini wajar-wajar saja. Sebab biarpun aku cerdas, perkasa dan abadi, aku masih punya kepala normal--maksudku aku masih merasa kecil, tak berdaya, takut--hampir seperti manusia zaman dahulu.
Padahal berpikir demikian saja tak diperbolehkan, tapi Aria selalu punya alasan untuk melindungi rekan-rekannya.
"5 ... 4 ... 3 ...,"
Aku mungkin saja terkencing-kencing, andaikata indera pengelihatanku tidak menangkap gerakan tangan salah seorang kru yang tak henti-hentinya meraba-raba sabuk pengaman pada pinggang, dada dan bahunya. Dia gugup. Sama seperti aku. Dan hal itu mau tak mau, sedikit membuatku senang.
Kuperhatikan betapa sibuk tangannya selagi bibirku menyeriangi lebar di balik helm.
Pengalih perhatian sekaligus--kenapa tidak sekalian kuakaui--menjaga harga diriku supaya tetap berdiri setegak punggungku saat ini.
"2 ... 1 ... 0."
Aku mengerjap, teringat akan janji kami sebelum ini. Bersama-sama kami berteriak, Avgustin yang paling keras. "Poyekhali!!"
Dan begitu saja, maka dimulailah bencana yang sesungguhnya. Aku tak memikirkan apa-apa selain merasakan lantai logam yang kupijaki bergetar--tidak! Bukan hanya lantai saja, tetapi segala hal. Mesin-mesin, teman-temanku, aku. Terutama aku.
Ketika dudukanku tersentak, berikut dengan tubuhku dan dengung InterKom mulai menulikan telinga, tahulah aku bahwa pendorong roket sudah terlepas.
Hanya dua menit berselang sebelum gucangan yang kurasakan menghilang. Tidak secara tiba-tiba, tetapi perlahan, bertahap.
Selama beberapa saat nan menegangkan, keheningan merambati sekelilingku, mataku mengamati pulpen yang sengaja ditaruh dengan tali di tengah-tengah lingkaran para kru. Dengan debaran jantung makin menggila. Bagai mimpi benda kurus kering rentan itu mulai melayang, makin tinggi, tinggi dan tinggi--hingga menabrak bagian depan helm Aria. Aria terkekeh, mengulurkan tangan untuk menjauhkan pulpen. Diiringi ledakan sorak sorai para Teknisi di bumi.
Kami berhasil. Atau lebih tepatnya--Falcon 9 ternyata tidak serewel penampilannya.
Aku jadi tersenyum memikirkan lelucon itu, tak menyadari bahwa sedari tadi menahan napas. Dari seberang Aria memperlihatkan deretan giginua padaku. Tidak ada tanda-tanda gugup di senyumannya, malah aku pikir dia menikmati yang barusan. Perempuan perkasa.
"Bagaimana kabar kalian di sana, boys?" Tanya suara berat dari InterKom di telingaku. Aku bisa merasakan senyuman dalam suaranya.
"And girls." Koreksi Aria. Dan Surren menyetujui dengan menganggukkan kepala, sembari menepuk dada dengan bangga.
"Dan gadis-gadis," tambah Michaels kemudian, menyetujui protes Aria, disambut gelak tawa kru. "Mendengar nada suara kalian, sudah dapat aku tebak, rasanya fantastis sekali bukan?"
"Ya, lumayan." Kata Surren menyombong.
Michaels tertawa lagi. "Selamat!"
"Selamat untuk kita semua!" Seru Avgustin. Dialah yang berdiri paling awal, mengambil pulpen yang melayang-layang tanpa arah di tengah-tengah kami, memasukkannya ke sakunya sendiri.
Michaels bertepuk tangan seadanya, kemudian dia mulai dengan setius memberikan instruksi remeh, menegaskan pantangan-pantangan yang sudah kami hapal di luar kepala--saking seringnya mendengarkan. Namun tidak ada yang memotong omelan Michaels, sebab kami tahu melakukan hal itu sia-sia saja.
Setelah mengatakan, jangan makan terlalu banyak untuk yang keempat kalinya, dia mengakhiri dengan berat hati. "Semoga tuhan menyertai kalian. Sampai jumpa di Mars!"
Kemudian hening. Sambungan terputus. Itu artinya kami harus mulai bekerja.
"Baik-baik saja di sana?" Aria bertanya, suaranya yang lembut mendengung ke seisi telinga, berlama-lama menempel pada tengkorakku. Kami semua secara serempak mengacungkan jempol, terlalu kaku untuk membuka suara. Walaupun hanya Callum seorang yang terlambat beberapa detik memberikan reaksi--dia masih berkutat dengan sabuk pengaman--tangan kikuknya tergelincir dari tombol.
Seketika rasa senang yang sebelumnya aku rasakan berubah menjadi iba. Perlahan aku menghampiri pria malang itu. Untuk pertama kalinya merasakan betapa ringannya kaki-kakiku saat menapak di atas lantai.
Tanganku mencengkram pergelangan tangan Callum, memperhatikan dia mendongak padaku. Aku cengengesan. "Butuh bantuan?"
Callum tertawa serak. Aku jadi curiga jangan-jangan dia menangis sedikit. "Ya tolong." Bisiknya.
Dari balik helm yang masih dia kenakan, aku bisa membayangkan mulut Callum komat-kamit, merutuki martabatnya sendiri. Sudah pasti diiringi umpatan.
Sementara aku sudah lama menanggalkan helm menyesakkan itu. Callum sepertinya terlalu panik sampai tidak menyadari bahwa sedari tadi oksigen telah memenuhi udara dalam pesawat. Avgustin bahkan sudah menghampiri pintu yang akan membawa kami ke pekerjaan yang lebih berat.
Semuanya menanti. Menanti aku dan Callum.
Tanpa berkata-kata lagi, nyaris malu, aku menekan tombol dekat lengan kursi yang di duduki Callum, membantu menyingkirkan sabuk yang menghalau cepat-cepat.
"Pengawas bayi kita," goda Avgustin, cengengesan, yang lain menanggapi dengan tawa cekikikan.
"Bah!" Tukas aku dan Callum berbarengan. Perlahan menghampiri teman-teman kami yang sudah menunggu dengan hati dongkol. Biar puas, kutinju bahu kokoh Avgustin main-main. Yang di balas olehnya dengan gestur tak sopan.
Aria melihat apa yang kulakukan. Sudah tentu begitu. Perempuan itu selalu mengawasi aku. Aku balas memandangnya, sekalian menaikkan satu alis. Segera saja Aria berpaling, pura-pura sibuk dengan holo miliknya. Akan tetapi aku bersumpah melihat bahunya terguncang pelan.
Aku semata-mata memutar bola mata, mencibir. Terserah kau saja, Aria. Bukan urusanmu.
|_SWIPE UP_|
-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras, Kahni, Karnip, Kahn, Kahnivore.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top