A K H I R
HARI ke-29
Suara sirine yang memekakkan telinga, membuatku tersentak dari tidur. Tabung tidurku terbuka secara otomatis. Neon merah menyala-nyala ke seisi ruangan. Menyeret pemikiranku akan warna rambut Surren. Aku menekan jam pada pergelangan tangan. Jam itu memperlihatkan bahwa ada masalah pada badan pesawat. Mungkin disebabkan oleh gesekan asteroid.
Di ujung lorong tempatku tidur, Surren sudah menunggu. Aku bergegas menghampirinya. Seperti yang kuduga, Surren menyatakan ada masalah dengan asteroid yang bandel. Bagian lambung pada sisi kiri kapal yang kena. Penyok, sudah pasti. Semoga tidak berdampak pada bagian mesin yang penting.
Hide sudah siap, dia mengepit helm di pinggang. Menungguku dengan wajah tegang tak biasa. Surren membantuku memakai suit putih sama yang seperti yang dikenakan Hide. Saat sudah selesai Surren menepuk telingaku, berkata dengan suara terkeras yang pernah kudengar dari mulutnya. "Ingat, aku akan selalu ada di sini."
Aku mengangguk. Maksudnya alat komunikasi. Kalau ada apa-apa dia siap membantu.
Kami melayang ke lorong yang berlawanan arah dengan yang tadi. Surren memimpin sementara Hide dibelakangku. Jantungku kembali bertalu-talu, bukan karena takut atau gugup, ini perasaan lainnya. Sesuatu yang biasa kurasakan saat menyadari ada yang tidak beres.
Aku mendengar seseorang berteriak. "Denta awas!"
Aku menoleh untuk melihat Hide, tetapi yang datang dalam jarak pandangku adalah tabung pemadam kebakaran, menghajar pelipisku dengan keras. Mataku sontak saja berkunang-kunang. Aku abadi. Tapi bukan berarti aku tak bisa terluka apalagi berdarah. Tengkorakku sudah pasti penyok--bernasib sama seperti lambung pesawat.
Ada yang menyergap tubuhku, menahannya menggunakan otot lengan dan kaki. Pengelihatanku yang awalnya memburam sekarang makin jelas, melihat siapa saja yang mengkhianatiku. Orang tolol keparat. Avgustin menahan tubuhku yang sudah lemah, Hide dengan tabung berdarah di tangannya, dan Callum.
Aku ingin sekali meludahi mereka semua.
Callum sepertinya mengetahui keinginanku yang sia-sia, sebab dia kemudian tertawa seperti orang sinting. Percuma saja. Begitu arti tawanya. "Kau pikir mengapa Michaels menempatkanmu ke sini bersama kami?"
Aria terisak dan menggeleng dalam cengkraman otot lengan Surren. Dia tahu. Sundal sialan itu. Dia kira aku bakal bersimpati padanya.
"Dia ingin bereksperimen apakah manusia abadi seperti kita bisa mati di angkasa ini," lanjut Callum.
Tidak. Bohong belaka. Lebih tepatnya Michaels tidak mau orang sepertiku ada di dunia ini. Dia tidak ingin aku melihat dan memberitahu dunia tentang kebenaran yang kulihat darinya. Tentang rencananya setelah ini.
Aku sekarang mengerti mengapa seluruh keluargaku memutuskan untuk membekukan diri mereka. Rupanya mereka sudah melihat dampak keabadian mereka. Sudah memikirkan keselamatan mereka sendiri. Orang-orang menyedihkan itu menggunakanku sebagai pion. Tumbal untuk kebahagiaan mereka di bumi. Ketenangan mereka.
"Keparat kau!" makiku. Keparat kalian semua. "Semoga neraka selalu menyertai kalian semua!"
"Neraka menyadarkan kita semua, Denta," kata Hide, tetapi dia bahkan tak sanggup menatapku. Pengecut tolol.
"Benar sekali," sudut mulut Callum melebar, jemari tangannya berkedut-kedut. Dia memasangkan helm padaku, yang lain juga melakukan hal yang sama. Callum menekan sensor untuk mengaktifkan pembuka pintu. Di saat-saat terakhir aku menyadari apa yang diperingatkan Aria padaku, apa yang dipertengkarkan Avgustin dan Callum. Semuanya tentang aku.
Korbankan aku atau khianati Michaels.
Aku mendengus dalam hati. Nyatanya mereka sudah memutuskan pada siapa mereka berpihak.
Dengan satu sentuhan dari tangan gemetar Avgustin, dia mendorongku. Membiarkan jiwa beserta ragaku menyongsong dunia hampa, kegelapan total.
Aku mengambang, menjauh dari sosok-sosok yang dulu kuanggap teman. Aku tak pernah menganggap mereka teman. Yang aku tahu hanya. Keparat tolol pengecut sundal dungu. Transmiter radio di telingaku mengeruk kulit kepalaku dengan suara jeritan Aria yang rusak, patah-patah, lalu tak lama kemudian menghilang secara keseluruhan.
Setidaknya Aria menangis untukku. Tangis buaya. Kenyataan itulah yang membuatku berhenti berusaha menggapai-gapai udara kosong. Dan membiarkan saja kehampaan arus gravitasi membawa aku kemanapun yang dia inginkan.
Untuk kali terakhir aku menatap puluhan bintang-bintang di sekelilingku, untuk pertama kali menyadari hawa napasku berembun pada kaca helm yang retak. Di antara kesesakan yang menghimpit dada. Indera pengelihatanku tak mungkin salah menangkap ketika satu asteroid paling besar mengarah tepat ke arahku dengan kecepatan tetap. Tidak lambat, tak pula terlalu cepat. Seolah-olah tuhan sedang menungguku untuk menyesal lagi.
Namun, aku rasa sudah cukup sampai di sini saja. Aku takkan lari lagi. Aku hanya melayang menjauh.
Aku cerdas, perkasa, abadi, dan semesta ini sendirilah yang pada akhirnya menggilasku dengan bantuan tangan serta hati jahanam.[]
PARADISE
-Your Fav Author, Prasanti
Call me Pras or Kahnivore
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top