1/2 dari L I T T L E

SEJAM kemudian kami sudah melayang-layang. Masing-masing menuju pos yang sudah menjadi tugas kami. Callum berada di biliknya, sibuk memilah-milah berkas. Aria mengecek persediaan obat dan makanan. Sementara Hide dan Avgustin sudah lama berada di bagian depan pesawat. Berjaga-jaga kalau kami sewaktu-waktu harus melepas mode otomatis menjadi manual. Aku dan Surren kebagian memeriksa ruang mesin di belakang. Memang pekerjaan kamilah yang mengharuskan demikian.

Aku sedang sibuk membaca daftar pekerjaan di holo sembari menekan-nekan beberapa tuas yang memang harus diaktifkan atau sebaliknya, ketika aku merasakan ketukan pelan pada bahu kiriku.

Aku menoleh.

Surren menunjuk pada apa yang ada di belakang sana, di antara tuas-tuas dan tombol yang berkedip-kedip.

Aku seketika terperangah, apa yang kulihat saat ini lebih menakjubkan daripada mimpi-mimpi serta bayanganku akan angkasa luar. Sejenak aku melupakan tugasku. Rasanya seperti kembali menjadi anak kecil saat aku menempelkan telapak tangan pada kaca yang menghalangi, wajahku hanya beberapa senti saja dari kaca.

Rupanya benar, kalau kita menyaksikan kebenaran dengan mata kepala sendiri, rasanya lebih memuaskan. Seakan-akan kau menemukan puzzle yang telah lama hilang untuk disatukan kembali. Menjadi satu kesatuan yang utuh.

Bumi di depan sana begitu biru, jernih, enak dipandang mata.

Padahal seingatku ibu bercerita tentang keadaan bumi beribu-ribu tahun yang lalu, ketika udara kota-kota masih penuh polusi, saat kejahatan di dunia politik merajalela, gelandangan menggerang-gerang di tepi jalanan tanpa ada yang peduli. Aku tidak terlalu percaya akan keadaan bumi yang diceritakan pada masa itu.

Ibuku sering berbohong akan banyak hal padaku, tetapi sejarah tak mungkin dapat ibu dustakan, tak mungkin dapat kuabaikan.

Sekarang kota-kota sudah gemerlap. Bebas dari kemiskinan. Bebas dari polusi. Mereka semua menggunakan berbagai teknologi lama yang sudah dikembangkan secara sempurna dengan bijak, memporak-porandakan kekurangan hati manusia yang lemah.

Terkadang aku bertanya-tanya, siapa yang memulai lebih dulu? Apa yang menyebabkan demikian? Kutanya ayah--dan dia menjawab dengan percaya diri bahwa kegigihan dan kemauan untuk berubahlah yang membuat kehidupan di bumi semakin membaik.

Aku lebih percaya ayah daripada ibu. Jadi, sudah dipastikan bahwa aku mencamkan baik-baik perkataan ayah, menggunakannya sebagai tolak ukur cita-citaku. Aku berkerja keras. Setiap harinya bergumul dengan cahaya dari layar hologram. Belajar lebih keras daripada siapapun. Ayah mengemblengku untuk itu. Membantuku ini dan itu, terkadang nenek dari pihak ayah juga. Tetapi beliau lebih banyak mengajariku tentang sastra kuno. Padahal beliau tahu sendiri aku paling tak tertarik akan sehalaman penuh kata-kata cantik--yang katanya penuh makna.

Biarpun begitu, beliau mengatakan jikalau dalam hidup yang lama dan membosankan ini tanpa pernah sekalipun mengecap sastra, maka sudah dapat dipastikan aku belum bisa dibilang bagian dari hidup. Waktu itu aku tak punya jawaban pasti selain menggerung dan menuruti keinginannya, mendorong buku-buku teori ke samping untuk beberapa jam. Baru bertahun-tahun kemudian, sesudah beliau terbaring di ranjang rumah sakit. Beberapa saat saja sebelum tubuhnya dibekukan untuk tidur selama-lamanya.

"Aku masih punya banyak waktu untuk mempelajari segalanya."

Alih-alih menegurku karena mengucapkan kalimat yang sudah pasti dianggapnya sebagai salah satu dosa terbesar manusia, nenek justru tersenyum. Membuatku berpikir keputusan yang telah diambilnya pasti menggeser kesadarannya barang sedikit. "Walaupun kita hidup abadi, Denta. Tak ada yang tahu takdir apa yang menanti di depan sana," dia menepuk punggung tanganku dengan lembut, "semoga tuhan menjagamu."

Semoga tuhan menjaga kita semua.

Aku seharusnya mengucapkan kata-kata itu, tetapi tidak ada yang kupikirkan selain aku merasa menyesal. Sebab satu lagi orang yang paling menyayangiku memutuskan untuk melepas keabadian mereka.

Sekarang sudah sepuluh tahun lamanya sejak nenek membuat keputusan yang tak mampu diganggu gugat. Dua tahun kemudian aku mendapat pekerjaan tetap di NASA, enam bulan bekerja di ISS. Setelah pulang langsung menjalani karantina untuk memulai perjalanan panjang ke Mars selama lima tahun. Setahun lalu ayah menyusul nenek, memutuskan bahwa tugasnya untuk menjagaku sudah selesai. Ayahku pendiam, jarang bicara tapi tegas dan jujur. Dia tidak bilang apa-apa selain menitipkan surat dengan sepenggal kalimat yang menyatakan bahwasannya dia bangga padaku.

Tak lama kemudian ibuku juga melakukan hal yang sama. Semua orang mengatakan Ibuku adalah sosok yang kuat, tak mudah menyerah. Bohong. Kalau benar demikian dia takkan meninggalkan aku menderita sendirian.

Aku menjauhkan tanganku dari dinding kaca, dan hampir seketika kenangan menyedihkan itu hilang secepat datangnya. Kutepuk punggung Surren. "Terima kasih, Surren, sudah--" aku sesaat bingung ingin berterima kasih karena apa. Aku tak mau Surren salah sangka. " Ada baiknya kita kembali bekerja."

Surren menurut dengan enggan. Selama lima tahun aku dan Surren satu tim di karantina, satu-satunya hal yang aku yakini tentangnya adalah bahwa Surren membenci suaranya sendiri. Sebab dia jarang sekali mengeluarkan suara, kalaupun ingin dia pasti hanya bergumam singkat atau ketika penting saja--seperti memberi laporan ke stasiun ISS misalkan. Bukannya aku peduli, aku malah senang rekan kerjaku orang yang tidak suka melontarkan omong kosong di setiap pembicaraan. Surren juga lumayan, dia bekerja cepat dan terampil.

Saat aku kembali ke ruang inti, Aria sudah menunggu. Surren dengan bijak mendahuluiku ke tempat Hide dan Avgustin. Aria tak suka dibuntuti saat bersama denganku.

"Bagaimana?" tanya Aria. Walaupun dia dokter kami dan sebenarnya bukan hal yang tabu jikalau dia menanyakan kabar kami, tapi tetap saja perhatiannya yang berlebihan selalu membuatku tidak enak hati. Terutama karena aku menyadari bahwa Aria hanya bersikap begitu kepadaku. Seakan-akan aku ini orang penyakitan.

Menurutmu bagaimana, Aria? Menurutmu apakah aku penyakitan? Alih-alih berkata demikian, mulutku mengeluarkan kalimat yang berbeda. "Aku baik." Aku bergumam, tanpa kata menggapai pegangan dekat pinggang Aria dan melanjutkan perjalanan menyusul Surren. "Kau seharusnya mengawasi Callum." Aku cepat-cepat menambahkan begitu menyadari Aria terus mengikutiku. Sudah dapat dipastikan dia tidak mempercayai kata-kata pertamaku.

"Dia hanya mengalami syok ringan. Istirahat sebentar dan dia sudah baik-baik saja."

Dan bagaimana denganku? Aku tidak apa-apa, tapi kau bersikeras menempeliku. Aku menggerutu dalam hati, sembari menekan angka kombinasi pintu, di mana yang lain saat ini berada. Namun Aria menghentikan gerakan jemari telunjukku dari menyentuh angka terakhir. Aku berusaha keras untuk tidak menampik tangannya yang menggenggam pergelanganku dengan erat. Mata Aria yang sebiru bumi melotot padaku. "Aku serius, Denta. Kalau kau--"

Pipiku berkedut, menyunggingkan senyum setengah hati, padahal dalam hati aku ingin sekali berbuat lebih--membentak, barangkali. Di Institut dulu, aku bukan dikenal sebagai seorang pria yang halus pada perempuan cerewet dan sok perhatian, tapi Aria berbeda dari gadis-gadis itu. Aria cerdas dan selalu waspada. Setidaknya dua hal itulah yang menahan sikap kasarku agar tetap mendekam pada kurungannya. "Kalaupun aku berniat mati, Aria, aku tahu diri bukan di sinilah tempatnya." Ketusku. "Dan ada baiknya bila kau tidak mengungkit-ngungkit tentang hal ini lagi, Aria. Masih banyak yang mesti kukerjakan saat ini. Sayang sekali salah satunya bukan mati."

Aria berkedut, ikut-ikutan jengkel. "Denta maksudku--"

"Oh aku lupa ...!" Aku melotot garang, "sekadar untuk kau ingat--aku ini 'kan tak bisa mati."

Kupikir Aria bakal tersinggung dengan ucapanku barusan. Aku mau tak mau terkejut saat dia menelengkan kepala, menatapku seperti predator. "Setidaknya tidak dengan cara mudah."


|_YOLO_|

-Your Fav Author, Kahnivore.
Call me Pras, Kahn, Kahni, Karnip, Kahnivore

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top