3* Way to go Back
Halca.
Dia murid yang dibully di sekolah lamaku, tapi di dunia lain dia adalah Utusan Dewa. Aku pernah melaksanakan ide Kuni, meminta bantuan padanya untuk kembali ke dunia paralel. Tapi itu bukan ide bagus.
Sebelum pindah ke Jepang, aku sempat berpapasan dengannya di selasar kelas, namun dia terlihat aneh. Halca tidak mengerti apa yang kukatakan. Yang mengganjal adalah, dia tidak mengenaliku. Padahal kami bertegur sapa di dunia itu. Belum lagi kepribadiannya berubah jadi penakut seolah aku ingin menyakitinya. Bukankah Halca orangnya riang, ya?
"Aku rasa itu bukan Halca deh." Demikian kata Kuni setelah aku menceritakannya. Kami sedang di kelas. Pelajaran biologi.
"Maksudmu?" Aku mengernyit.
"Coba pikirkan dengan logis, dia seorang utusan dewa sementara di Bumi, Halca berstatus pelajar SMA seperti kita. Tidak mungkin dia mengabaikan kehidupannya yang di sini, kan? Makanya untuk jaga-jaga dia membuat doppelganger. Itulah yang kau temukan. Aku berani bertaruh, itu adalah boneka hidup Halca."
Aku mengerjap beberapa kali, menoleh ke Kuni yang pura-pura mendengarkan penjelasan sensei. Gagasan itu tidak pernah terlintas di otakku.
"Kuni! Kau genius!" Kutabuh punggungnya.
"Kan tidak perlu sampai memukulku!"
"Yishitori! Makaira!" Suara tegas sensei mengagetkan kami berdua. "Sekali lagi kalian bercakap-cakap terlalu kencang, akan saya seret kalian ke ruang BK. Bukannya membenahi diri karena sudah duduk barisan paling depan, kenakalan kalian makin menjadi-jadi. Coba jelaskan apa yang saya katakan barusan."
Semua pasang mata mengarah ke kami, termasuk Yui yang khawatir.
Aku mati kutu. Kuni bersenandung. Tentu dia tahu karena dia genius. Bahkan sebenarnya dia mau saja menggantikan sensei menerangkan materi di depan.
Tapi itu tidak berlaku bagiku. Otakku tidak seencer otak Kuni. Otakku mepet!
Melihat kami berdua tak kunjung membuka mulut, sensei pun dengan kejam berkata, "Berdiri di lorong sampai istirahat!"
Aku melangkah keluar dengan kepala tertunduk malu. Kuni sih bersiul senang. Dia tidak perlu mengikuti pelajaran.
"Kenapa kau begitu sedih? Aku bisa memberi les biologi private jika kau mau," tanya Kuni bersandar di dinding lorong.
"Kau sendiri, apa yang kau lakukan? Kau bisa saja menjawabnya kan."
Kuni menatap langit-langit koridor, tersenyum gentle. "Bukankah teman sejati harus saling berbagi penderitaan?"
Aku terkekeh. "Pandai kau berbicara."
*
Jam pelajaran keempat diisi dengan olahraga. Kelas kami bermain dodgeball.
"Bagaimana? Kau setuju dengan ide mencari Halca kan, Dandi?" Kuni bertanya sembari menghindari bidikan musuh.
"Tapi, sesuai yang kukatakan sebelumnya, sifatnya berubah menjadi rapuh. Aku khawatir alih-alih mau berbicara dengan kita, dia akan kabur duluan."
Kuni mengelus dagu. "Biar kupikirkan..."
"Yishitori-kun, awas!" Yui berseru. Bola melenting cepat ke arah Kuni yang pertahanannya terbuka karena berpikir.
Sadar terlambat untuk menghindar, Kuni justru menarik lenganku, memposisikanku di depannya sebagai pelindung. Duk! Alhasil, bola dodge mencium wajahku.
"Phew! Hampir!" Kuni menghela napas lega, tak peduli wajahku yang memerah.
Tanda jengkel bermunculan di keningku, menatap datar tali sepatu Kuni yang lepas, menyeringai. "Jatuhkan dia."
Kuni pun terbalik, berdebam ke halaman. Dia mendelik. "Hei, itu curang!"
"KAU YANG KURANG AJAR! Bisa-bisanya menjadikan wanita sebagai tameng. Hina!"
"Aku mendukung kesetaraan gender! Lagi pula kenapa kau berada di dekatku? Kan aku jadi refleks menarikmu."
Teman sekelas berhenti bermain demi memandangi kami jambak-jambakan rambut, manyun. "Mereka bertengkar lagi."
"Yishitori-kun dan Makaira-san? Akhir-akhir ini mereka berdua memang suka berkelahi seperti Tom-Jerry."
Aku pergi meninggalkan lapangan dengan kaki yang dihentakkan. Dahiku benjol. Aku butuh air segar untuk mendinginkannya.
Si Kuni sialan itu...! Benar-benar tidak punya belas Kasihan. Aku heran mengapa aku bisa betah berteman dengannya.
Angin sepoi-sepoi menghembus dedaunan pohon di sebelahku. Entah kenapa, amarahku lambat laun mereda. Aku tersenyum tipis. "Angin yang sejuk—"
Byuur! Kuni menyalakan kran, lalu mencipratkannya ke wajahku membuat kepala sampai leherku basah.
"Kenapa galau begitu? Kau rindu Asfalis, kan? Tidak usah sok gengsi deh."
Aku menyambar selang. "Kau habis olehku hari ini, Yishitori Sakuni-kun."
Dan kami pun perang air.
*
Di kantin, pukul dua siang.
Aku berhenti menyuap nasi ketika Kuni duduk di depanku sembari meletakkan baki besi jatah makan siangnya dengan rungutan. "Ada apa denganmu, heh? Bete begitu mukanya," tanyaku.
"Itu tuh, anak di klubku bilang kalau kita pacaran karena pakai kalung rantai yang sama. Bagaimana cara aku menjelaskan kalau aku menaruh sensor pendeteksi di kalungmu jaga-jaga ada penjahat seperti di malam itu waktu itu. Mereka salah paham, asyik menebar rumor."
"Lalu kenapa kau juga pakai kalungnya?"
"Kuanggap ini kalung persahabatan yang bisa melacak posisi masing-masing."
Jus jeruk di mulutku menyembur keluar menyiram wajah dan seragam Kuni. Dia spontan berdiri, melotot kesal. "Yak, Dandi! Kau pikir gampang mencucinya?!"
"Ya, maaf. Kau mengatakan kata 'sahabat' dengan kepribadian yang seperti itu, aku tak bisa untuk tidak menghardik. Itu balas dendamku karena olahraga tadi."
"Apa maksudmu kepribadian seperti itu?" dengus Kuni, melayangkan tatapan jengkel. "Kau ini pendendam banget orangnya, cih. Susah nih bersihinnya."
"Nah, nah, jangan marah-marah begitu dong. Bagaimana kalau kita lanjutin pembicaraan yang tadi terpotong?" Aku tersenyum jahil. Ada cara gampang mengembalikan mood Kuni.
Yaitu dengan membahas Asfalis.
Aku menyeringai. Lihat-lihat, raut wajah kesal Kuni langsung berubah. Dia menoleh ke kiri dan kanan, memastikan tidak ada yang menguping obrolan kami. "Ini sudah setahun 8 bulan sejak kau pulang ke Bumi. Mungkin saja Halca juga sudah kembali ke dunia asalnya."
Otakku loading sejenak. "Tunggu, secara tidak langsung kau memintaku untuk pergi ke tanah kelahiranku. Mana bisa cuy. Orangtuaku takkan mengizinkan. Lalu jarak Indonesia dan Jepang itu sangat jauh. Aku tak pernah terbang sejauh itu."
Kuni pikir aku lemot banget apa? Makanan di mulutku mendadak terasa hambar.
"Kau takkan terbang pakai sayapmu. Kita naik jet pribadi. Kau tidak lupa pekerjaan orangtuaku, kan?" Kuni berkedip nakal. Seringaiannya membuatku waspada. Apa yang tengah dia rencanakan?
"CIEEE! Jadi tipe Yishitori adalah Makaira ya?? Wah! Tidak diduga-duga!"
Muncul. Orang-orang tukang shiper.
Kami berdua langsung jaga jarak, menyambung makan. Aigoo, sudah sengaja datang paling lambat ke kantin, terciduk juga oleh mereka. Memangnya mereka ini kurator?! Demen banget mengawasi kami.
Aku dan Kuni murni berteman. Kuni tidak tertarik dengan kisah romansa, fokus pada penelitiannya. Pun aku, sibuk dengan sekolah supaya lupa dengan Asfalis.
Tapi nyatanya gagal. Aku rindu dunia itu.
"Siapa yang nembak duluan?" tanya mereka menatap kami seperti binatang sirkus yang menggemaskan. "Kuni atau Momo? Ahhh! Aku butuh inspirasi untuk novel romansa terbaruku. Seharusnya ketua klub basket menjadi target inspirasiku, tapi dia sangat dingin seperti kutub utara dan aku hanya bisa memandangi dari jauh. Aku tidak bisa mendekat untuk mewawancarainya!"
Aku dan Kuni menatap gadis itu, melongo melihatnya dramatis plus lebay. Kami pun sama-sama memasang ekspresi mual.
Soal menjulid orang, aku dan Kuni sehati.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top